Setiba di rumah Eyang Waluyo, Malati langsung membongkar peti kayu berisi barang peninggalan ke dua orang tuanya. Malati menyunggingkan senyuman dengan mata yang berembun tatkala menemukan sebuah dompet mendiang ayah dan ibunya yang berisi identitas pribadi seperti KTP dan surat nikah. Jarinya langsung menarik sebuah album foto yang berada di tumpukan paling bawah. Ia mengusap album foto kenangan itu dengan tisu. Barulah ia membuka helai demi helai lembaran foto yang terselip di dalamnya. Ia menatap foto ayah dan ibunya bergantian dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya ia yang bisa merasakannya. Bahagia tak terperi jauh dalam relung sanubari. Selain itu ada beberapa pakaian milik ke dua orang tuanya dan sebuah buku catatan. Sebuah buku berisi laporan keuangan rumah tangga. Tak ada hal yang istimewa ditemukan semisal buku diary yang memberikan sebuah informasi penting. Adapun secarik surat terakhir milik ibunya tersimpan rapi di dalam dompet usang milikny
‘Dasar Erlangga sialan! Kacung kampret! Fuck*ng shit! Brengs*k! Tukang bully! Gue laporin lo ke Komnas Anak dan perempuan!’Malati terus mengumpat sembari menjambak rambut Erlangga sangat kuat hingga membuatnya menangis tersedu-sedan dan mencium kakinya meminta pengampunan.‘Ampun, Putri Melati!’“Woi! Sadako! Lo ngelamun ya?” tanya Reynaldi-kakak tingkat berambut agak ikal dengan menatap sinis Malati.Yang benar saja, baru saja Malati tengah menjambak rambut Erlangga. Sayangnya, itu semua ternyata hanya ilusi. Malati mana punya nyali melawan ke tiga kakak tingkat itu.Tunggu, ada satu orang lagi teman satu kelasnya ikut namun di manakah dirinya? Mengapa ia tidak bergabung?“Kalian udah mulai belum?” Suara cempreng terdengar di telinga Malati hingga membuatnya meringis. Lantas, ia menoleh. Orang yang ia cari akhirnya muncul.“Serena?” gumam Malati.“Hai, Malati! Akhirnya kau mau juga kerja kelompok di sini,” cicitnya sembari menaruh satu kantong kain berisi cemilan untuk menemani wak
“Tumben, Pak mau cepat pulang,” sindir Linda yang ikut hadir dalam seminar dan workshop pendidikan tingkat provinsi yang dihadiri oleh para civitas akademik dan praktisi pendidikan di Sukabumi.“Biasanya jalan ke mall dulu. Eh, saya lupa, Bapak gak bawa Bestie. Bapak cuma ajak ibu guru cantik yang rempong,” lanjutnya dengan tersenyum narsistik dan penuh percaya diri. Masalahnya wakil kepala sekolah Yuda Tarumanegara absen karena ibunya sakit.“Iya kali betah di sini,” jawab Aldino acuh tak acuh. Ia menyambar jaket denim miliknya yang berada di lengan kursi dan langsung mengenakannya. Ia keluar dari ruang seminar lebih dulu dan berjalan menuju pelataran parkir mobil.Linda berjalan tergesa-gesa menyusul Aldino sembari membawakan tas kerja miliknya. Dua orang guru wanita muda nan cantik menyusul mereka dengan berjalan lamban mirip pinguin, mengingat mereka memakai setelan kemeja dan rok span.“Mau beli apa dulu? Oleh-oleh? Di pertigaan ada toko oleh-oleh,” ucap Linda menatap kepala se
Di kafetaria kampus, Malati kini bisa menikmati makan siang dengan normal meskipun ada Erlangga the geng. Telah terjadi perubahan sikap yang cukup signifikan pada mereka terhadap Malati.Rupanya, ada hikmah besar dari tugas mata kuliah yang diberikan oleh Mustafa Ali Basalamah. Semenjak mereka disatukan dalam satu kelompok belajar, mereka menjadi tahu diri dengan siapa gadis yang mereka bully. Malati anak yatim piatu. Mereka takut kualat membully anak yatim seperti Malati. Oleh karena itu mereka tak lagi membullynya. Sebaliknya mereka memberi perhatian pada gadis malang itu.“Kau sakit?” tanya Risa pada Malati yang terlihat seperti wanita yang baru saja kehilangan dompetnya karena dicopet. Mereka baru saja duduk di kafetaria dan akan memesan makanan.Malati masih teringat kejadian beberapa hari yang lalu di mana Aldino ‘mengintipnya’ saat ia berpakaian. Baginya, itu adalah aib. Ia sulit melupakan kejadian memalukan itu.Malati menggeleng.“Apa geng Erlangga membully mu lagi?” desak R
Aldino merasa bersalah telah membuat istri kecilnya menangis tersedu sedan. Jika ada orang yang melihat mereka maka akan terjadi kesalahpahaman. Mereka akan mengira jika Aldino om-om yang tengah berbuat sesuatu yang nakal pada seorang anak perawan. Masalahnya, Malati bertubuh mungil dan berwajah imut macam anak PAUD dari luar.Aldino lupa jika gadis itu seringkali mengalami KDRT oleh tantenya. Mungkin ia masih menyimpan trauma yang dalam di balik sikap mandiri dan tegarnya. Oleh karena itu ia terlihat mudah panik dan syok. Padahal Aldino hanya bercanda-yang keterlaluan juga.Aldino menepikan kendaraannya, bermaksud menenangkan Malati. “Mala, jangan menangis! Tenanglah! Tarik nafas dalam-dalam!” ucap Aldino memutar tubuhnya menghadap Malati yang menelungkupkan wajahnya di balik ke dua telapak tangannya yang mungil. Pundak yang ringkih itu naik turun. Suara rintihan sedih terdengar lirih seperti hymne kematian.Bergidik bulu roma Aldino kala mendengarnya. Suara tangisan Malati terdengar
Malati dan Aldino saling beradu pandang dengan pikiran masing-masing. Aldino yang terlihat berbicara dengan santai sedangkan Malati yang terlihat cukup serius mendengarnya.Eh hem,Aldino berdehem untuk menetralkan suasana.“Dokumen Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Mala. Meskipun aku menikahimu sebatas pernikahan kontrak tetapi aku kepengen kita punya dokumen resmi,” lanjutnya menghela nafas.Njelimet! Malati tak memahaminya. Terlihat dari ke dua alis tipisnya yang menyatu di tengah.“Mala, jangan salah paham! Meskipun pernikahan kita pernikahan kontrak. Sejujurnya aku tak setuju dengan konsep pernikahan siri atau secara agama saja. Karena jelas pernikahan seperti itu tidak melindungi hak-hak wanita. Apalagi anak-anaknya kelak.”Aldino berkata setelah menyeruput es kelapa. Namun alis Malati semakin bertaut.‘Sakarepmu,’Andai Malati memiliki keberanian untuk bersuara.Tangan Aldino terangkat memanggil yang empunya warung. “Bu, kalau restoran ikan bakar terdekat di mana y
Aldino dan Malati duduk lesehan di restoran seafood dekat pantai. Sebuah tempat duduk berbentuk gazebo dengan atap rumbia yang menaunginya menjadi pilihan Aldino.Di depannya ada sebuah kolam teratai dengan air mancur yang indah di bagian tengah. Di samping kolam teratai ada kolam besar berisi ikan-ikan berukuran jumbo. Di belakang mereka ada pemandangan pantai yang bisa dinikmati secara langsung.Sengaja, Aldino memilih tempat duduk di luar, tepatnya di belakang restoran yang agak sepi. Tentunya, agar acara makannya tidak terusik.Aldino langsung memesan makanan; ikan bakar kuwe, sapo tahu, tumis kangkung dan nasi liwet serta jus jeruk sebagai minumannya. Malati hanya memesan menu yang sama dengannya. Sekarep Aldino.Ketika menunggu pesanan siap, Malati terlihat tengah mengamati teratai yang mengambang di atas kolam tanpa suara. Ragu-ragu, Aldino mulai membuka percakapan. “Mala …” panggil Aldino hingga membuat pemilik nama menoleh.“Um, siapa tadi yang menyapamu?” telisik Aldino me
Siang itu Malati mematut di depan cermin dengan agak lama, tak biasanya. Ia menatap pantulan wajah dan tubuhnya dengan banyak syak-wasangka di kepalanya.Pengamatan dimulai dari bagian alis tipis yang melengkung indah, yang membuatnya mengulum senyum. Bentuk alisnya presisi, murni dari lahir tanpa disulam.Lalu, tatapannya turun menatap bentuk matanya. Jika ia tersenyum maka matanya berbentuk garis horizontal tipis, tak kelihatan. Lantas, ia cemberut.Lalu ia mengamati bentuk hidung mancritnya dan bibirnya yang tipis. Fiks, ia menarik kesimpulan. Ia mewarisi kecantikan ibunya. Hanya saja, bentuk mata ibunya agak besar tak seperti dirinya yang sipit sehingga sering dikira keturunan Chindo.Saat melakukan pengamatan, Malati sedang merenung dan memikirkan kata-kata Aldino yang mengatakan bahwa ia ‘cewek gampangan’. Kata-kata Aldino itu tajam mirip sebilah pisau yang menggores kulit. Malati bahkan tak pernah punya pacar. Bagaimana bisa, dikatakan cewek gampangan.Apakah karena pertemuan d