"Ah"
"Ah" "Berhenti!!! Shhhh sakit.." Gadis di bawahnya sana mengerang penuh nikmat, sesekali merasakan sakit di bagian intinya karena sesuatu yang belum pernah di rasakan menembus intinya sana. Keringat membanjiri tubuh keduanya yang sama-sama polos, membuat ruangan itu semakin panas. "Saaakit... Ahhh" "Eghhh." Pria di atasnya membungkam bibir gadis itu, membuat bibir yang akan berbicara lagi itu jadi terdiam, ia hanya mampu pasrah, tanpa tau membalas apa. Karena gadis itu juga sama sekali tidak pandai dalam hal seperti ini. Ini untuk yang pertama kali yang ia rasakan. Dan sialnya pengalaman pertamanya harus di renggut oleh orang yang sama sekali tidak di kenalnya itu. Pria di atasnya terus memompa, memaju mundurkan miliknya yang kokoh, bahkan tidak peduli dengan rengekan serta air mata yang keluar dari mata gadis itu. Yang ia mau hanya sebuah kenikmatan yang baru pertama kali ini ia rasakan. Ya, nikmat, bahkan sebelumnya juga ia tidak pernah merasakan nikmat yang seperti ini. "Ugh." Pria itu terus bergerak liar, bahkan bibir basahnya sudah menjelajahi semua lekuk tubuh yang indah yang nyaris tanpa ada cacat sedikitpun itu. Ia bahkan sangat menyukainya, tidak ada satupun tubuh gadis di bawahnya sini tidak ia jelajahi. "Ahhh, kamu nikmat sekali..." Suara erangan itu nyaris memenuhi kamar yang berukuran besar nan mewah itu, pria tampan itu langsung ambruk di sampingnya setelah menuntaskan semua rasa yang menyiksanya tadi. Sedangkan wanita yang ada di bawahnya, langsung menangis, ia tidak menyangka akan berakhir seperti ini. "Pria brengsek!" Maki gadis itu, tangannya memukul dada pria itu, namun pria itu sama sekali tidak bergeming, karena pria itu sudah tertidur lelap.. * Sebelumnya!!! "Bawa masuk! Sebentar lagi saya akan kesana, saya harus menemui paman saya terlebih dulu" ucap seorang perempuan di seberang telpon sana. "Baik nona" sahut salah satu pria berbadan kekar itu yang tengah memegang earphone di telinganya. Tiiit.. Panggilan itu langsung terputus, salah satunya langsung menatap ke arah temannya yang tadi. "Bawa masuk ke dalam kamar ini!" Ucap salah satu bodyguard itu, tangannya menunjuk ke arah salah satu kamar hotel yang ada di depan mereka. Temannya itu mengangguk, tangannya menyentak pergelangan tangan pria yang ada di dalam pegangan kuatnya. "Lepas!" Pekik pria itu yang sedang di pegang kedua tangannya itu, pria itu sedari tadi terus meronta-ronta meminta di lepaskan, namun sialnya tenaganya tidak sebanding dengan tenaga kedua pria itu. Dan entah kenapa ia malah seperti orang lemah seperti ini. Padahal sebelumnya tidak. Ia bahkan bisa membantai musuhnya lebih dari sepuluh orang. Namun, tampaknya mereka mencampurkan sesuatu pada minumannya tadi, sehingga membuatnya tidak berdaya seperti saat sekarang ini. "Diam! Jangan membantah, nona kami Alana segera datang, jadi jangan banyak omong, kamu cukup turuti, dan kamu akan dapat enaknya juga" seru pria itu. Pria itu menggelengkan kepalanya dengan kencang. "Saya tidak mau! Siapa kalian? Mau mati?" Desis Pria itu, matanya yang sayu menatap kedua pria di sampingnya itu. Rasanya tangannya ingin sekali menghajar wajah-wajah keduanya, namun sialan, ia tidak berdaya. "Lepaskan saya! Saya akan bayar mahal kalian jika kalian mau melepaskan saya." Tidak ada pilihan lain, Arsenio bernegosiasi pada keduanya, berharap kedua pria itu mau melepaskannya. Namun sayang, perkataan Arsenio malah di anggap candaan oleh kedua pria itu. Keduanya malah tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Arsenio. "Kami tidak gila uang. Kami bahkan setia dengan bos kami. Lagian uang yang di kasih bos kami banyak," ucap salah satu dari mereka. Arsen mengeraskan rahangnya. "Lepas! Sialan kalian berdua! Siapa bos kalian? Bilang sama saya, saya bunuh juga dia." Pekik Arsen marah, matanya bahkan menyorot tajam kedua pria yang ada di sampingnya itu. Kedua pria di sampingnya itu agak menciut mendengar ancaman Arsen, namun keduanya masih tetap berusaha tenang, mereka hanya menganggap perkataan pria itu hanyalah sebuah bualan semata. "Halah, jaman sekarang itu banyak ya yang begituan. Jangan munafik kamu, kadang orang yang sudah punya istri saja, tapi pasti masih mau kalau di tawarin dengan perempuan lain. Ck, apalagi orang seperti anda!" Keduanya terkekeh. "Kalian berani tertawa dan mengatakan hal tersebut pada saya! Awas kalian berdua!" Pria itu tidak pernah bermain-main dengan apa yang di ucapkan olehnya, namun mereka sama sekali tidak peduli dengan perkataannya.b Keduanya kembali tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan pria itu.. "Halah, beraninya main ancam saja. Kamu pikir saya takut gitu sama kamu?" Pekik pria itu. Lalu tangannya terangkat menampar pipi Arsen membuat Arsen semakin murka. "Mati kalian!" Pekik Arsen murka. "Kebanyakan bacot, masukin aja ke dalam kamar itu, jangan sampai nona Zihan marah karena tawanannya kabur." Deg Mendengar nama Zihan yang di sebut oleh kedua orang itu, Arsenio mengepalkan kedua telapak tangannya dengan kencang, sungguh tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya, perempuan itu berani sekali menjebaknya seperti ini. Sialan, Zihan sudah berani bermain-main dengannya. Zihan adalah rekan bisnis Arsen. Malam itu, ia datang ke Bandung karena ingin melakukan meeting penting dengan salah satu koleganya. Namun sialnya, malam itu menjadi malam yang sial bagi Arsen, ia harus mengalami kejadian ini gara-gara ulah Zihan yang ikutan bergabung di pesta kecil-kecilan yang di buat oleh temannya. Awalnya Arsen menolak, ia sudah merasa tidak enak hati, namun Fadil temannya terus mengajaknya, mau tak mau Arsen ikut saja. Awas saja, Arsen tidak akan tinggal diam, ia akan menghukum siapapun yang sudah berani berurusan dengannya. Dua orang bodyguard itu membawa masuk Arsenio yang sudah terpengaruh oleh obat perangsang itu, bahkan Arsenio berulang kali mendesis karena merasakan sesuatu yang sudah timbul di dalam dirinya sana. Brugggh Keduanya bahkan langsung melemparkan Arsenio ke atas ranjang sana. "Kita keluar" setelah itu keduanya keluar dari dalam kamar itu, dan meninggalkan Arsenio sendirian di sana. Keduanya juga tidak lupa mengunci pintu kamar itu, namun mereka lupa mencabut kunci itu, tapi mereka langsung pergi dari tempat itu saat sudah memastikan tugas mereka selesai .... Di dalam kamar itu, pria bernama lengkap Arsenio Galvanis Zipper menggeram, ia bahkan merasakan sakit di kepalanya yang terus menerus menderanya. Ia sesekali memejamkan kedua bola matanya, menekan rasa yang muncul itu. "Sialan!" Maki Arsen, ia mengepalkan kedua telapak tangannya dengan kencang. "Mati kau, Zihan. Jalang sepertimu berani sekali membuat aku seperti ini. Sialan kau, setelah ini habis kau di tanganku" ucap Arsen, ia bahkan melepaskan dasi yang melingkar di lehernya, rasanya seperti di cekik. Ia sungguh tidak tahan. AC yang ada di kamar hotel itu benar-benar tidak berfungsi sama sekali, ia bahkan sudah menurunkan suhunya. "Sialan!" Entah sudah berapa kali ia mengumpat, ia benar-benar marah sekali. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju ke kamar mandi yang ada di kamar hotel itu, ia langsung mengisi bathtub itu dengan air dingin. Persetan sudah malam hari, dan udara sekitarnya bahkan dingin, tapi di dalam dirinya merasakan panas yang membara. Arsen langsung masuk ke dalam bathtub itu, lalu merendam tubuhnya. Untuk beberapa saat, ia bangkit dari dalam bathtub, ia langsung berjalan keluar sambil meremas rambutnya yang basah. "Berapa banyak obat yang di taruh di minuman gue?" Ucap Arsen marah, sebab ia sudah merendam tubuhnya, namun sialnya, efeknya sama sekali tidak ada. Ia bahkan masih merasakan panas yang membara di dalam dirinya sana. "Arghhh!!! Brengsek! Brengsek!!" Teriak Arsen sambil memukuli meja yang ada di sana, sampai meja itu hancur berkeping-keping. *Pagi itu, langit tampak pucat. Udara yang masuk melalui celah tirai kamar membawa hawa dingin lembap yang membuat tubuh Kamila menggigil. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis, tapi tubuhnya justru terasa panas luar biasa. Tenggorokannya kering, kepalanya berat, dan pandangan matanya berkunang.Ia mencoba bangun, tapi lututnya lemas. Tubuhnya seolah menolak semua perintah. Napasnya pendek-pendek. Dalam kebisuan kamar besar itu, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar jelas—pelan, teratur, tapi menegangkan.Kamila menunduk, menatap perutnya yang kini semakin besar. Bayi itu menendang pelan, seolah memberi tanda bahwa ia masih ada di sana, hidup, dan menunggu.“Tenang… Mama baik-baik saja…” bisiknya dengan suara serak. Tapi kalimat itu lebih terdengar seperti doa daripada keyakinan.Ia mencoba meraih segelas air di meja nakas, namun tangannya gemetar terlalu hebat. Gelas itu jatuh, pecah di lantai, airnya memercik ke kakinya yang dingin.Kamila menunduk, terengah
Malam itu, hujan sudah berhenti. Langit tampak bersih, tetapi udara dingin yang merambat dari sela jendela tetap menggigit kulit. Kamila duduk di kursi panjang dekat jendela kamar, menggenggam secangkir teh hangat yang sejak tadi sudah tidak lagi mengepul. Matanya sayu, tubuhnya lelah. Sejak menikah paksa dengan Arsen, jam tidurnya berantakan—tidak karena bayi dalam perutnya yang rewel, tetapi karena rasa takut yang perlahan menjadi temannya setiap malam. Pintu kamar terdengar berderit pelan. Arsen masuk tanpa suara, seperti biasanya. Langkahnya ringan namun tegas. Pria itu mengenakan setelan rumah berwarna hitam, rambutnya rapi, wangi aftershave-nya memenuhi ruangan seperti aroma penguasa yang ingin menandai wilayahnya. “Kamila,” panggilnya pelan. Kamila tidak menjawab. Ia pura-pura fokus pada hujan sisa di luar sana, pada gemerlap lampu kota Jakarta yang redup. Arsen mendekat, berhenti tepat di belakang kursinya. Ia menatap punggung Kamila seperti seseorang menatap lukisan maha
Malam itu, langit Jakarta tampak kelabu. Rintik hujan jatuh pelan seperti tirai tipis, meredam suara jalanan dan lampu-lampu kota. Di dalam gedung kecil dan tertutup rapat, di sebuah ruangan berisi hanya empat orang—dua saksi, seorang penghulu, dan dua insan yang berdiri berdampingan—pernikahan itu berlangsung. Tanpa bunga. Tanpa keluarga. Tanpa tawa bahagia. Hanya senyum dingin Arsen… dan wajah pucat Kamila. Dan Kamila sudah di bawa kembali ke kota Jakarta oleh Arsen. “Apakah saudari Kamila bersedia menjadi istri dari saudara Arsen…?” suara penghulu terdengar jelas, menggema di ruangan hening itu. Deg Jantung Kamila berdetak keras. Tangannya dingin, jemari gemetar. Paul, yang berdiri di sudut ruangan, menundukkan pandangannya—ia tidak sanggup menatapnya. Ia tahu ini bukan pernikahan. Ini pengurungan yang sah secara hukum. “…iya.” Suara itu keluar lirih dari bibir Kamila. Bukan karena kerelaan, tapi karena tak ada pilihan."Baik, kita akan memulai pernikahannya." Pak peng
Ruangan itu terasa membeku.Hening, hanya terdengar detik jam di dinding yang seolah menertawakan semua yang terjadi.“...apa yang kamu katakan tadi?” suara Arsen akhirnya pecah. Datar, tapi mengandung tekanan yang membuat dokter muda itu menelan ludah gugup.“Pasien... kemungkinan besar sedang hamil, Pak.”Arsen terdiam. Tubuhnya tegak kaku, rahangnya mengeras, matanya kosong menatap lantai.Paul di belakangnya memandang hati-hati, mencoba membaca perubahan ekspresi itu — tapi tidak ada. Tak ada ledakan marah seperti biasanya, tak ada ancaman, tak ada amarah.Hanya diam. Menakutkan dalam caranya sendiri.Lalu pelan, sebuah senyum kecil muncul di wajah Arsen. Bukan senyum lembut. Bukan senyum bahagia.Senyum itu dingin, tajam, nyaris tak berperasaan.“Pergi,” katanya lirih tapi tegas. “Kamu boleh pergi, Dokter.”Dokter itu tak menunggu dua kali. Ia menunduk cepat dan melangkah keluar, diikuti tatapan khawatir Paul.Begitu dokter itu pergi, Arsen memutar tubuhnya menghadap kaca besar
"Kamila, saya mohon... bangun." Suara Arsen serak, gemetar di antara napasnya yang berat. Tangannya terus menepuk pelan pipi pucat gadis itu—pipi yang dulu selalu memerah setiap kali ia tersenyum. Kini dingin, tanpa reaksi. “Kamila…” bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, hampir seperti doa yang tenggelam di dalam ruang mobil yang sunyi. “Pak Arsen, tolong tenangkan diri bapak dulu,” kata Paul dari kursi kemudi. Suaranya berusaha tenang, meski ia sendiri bisa merasakan ketegangan yang merayap dari bangku belakang. “Saya yakin, nona Kamila baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan.” Arsen tak menjawab. Matanya merah, pandangannya liar penuh penyesalan dan marah pada dirinya sendiri. Ia menggenggam tangan Kamila erat—terlalu erat, seolah takut gadis itu akan benar-benar hilang jika dilepaskan. “Saya sudah bilang sama dia sebelumnya,” gumam Arsen lirih, “jangan pernah pergi. Saya tidak akan berbuat jahat padanya... Tapi dia tetap nekat. Sekarang lihat apa yang terjadi? Kita tidak ta
"Beliau ingin pergi pak." Paul meletakkan sebuah bukti foto yang ia dapat barusan dari anak buahnya. Arsen mengambilnya, ia menatap foto itu lama, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, "kita ke sana" Paul menganggukkan kepalanya patuh. * Kereta malam itu baru saja tiba di stasiun kecil di pinggiran kota. Lampu-lampu redup berkelap-kelip di antara uap dingin yang naik dari rel. Suara roda besi bergesekan dengan logam masih bergema, bercampur dengan suara pengumuman dari pengeras yang serak. Kamila menunduk dalam-dalam, berusaha menutupi wajah dengan masker dan topi hitam yang ia beli di kios dekat terminal sore tadi. Matanya sembab, rambutnya berantakan, dan tas kecil yang menempel di pundaknya tampak lusuh karena tergesa-gesa. Ia hanya ingin naik kereta, pergi sejauh mungkin — ke arah mana pun yang tak dikenal Arsen. Tapi saat ia hendak melangkah ke peron, tangan seseorang menarik pergelangannya dari belakang. Deg Sentuhan itu kuat, dingin. “Pak Arsen?” suaranya