Share

bab 5

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-16 08:30:37

Kamila pulang dari hotel dengan langkah cepat, seolah udara sore bisa menelan dirinya sebelum tatapan itu menyusul. Ia tidak ingat banyak dari perjalanan pulang—hanya suara mesin bus yang monoton, wajah-wajah penumpang yang kabur, dan rasa sesak yang tak mau hilang.

Begitu sampai di kos, ia langsung mengunci pintu. Sandalnya ditinggalkan di depan, seragam hotel langsung dilepas dan dilempar ke kursi. Ia duduk di lantai, punggung bersandar ke dinding, memeluk lutut.

Di matanya, wajah Arsen muncul lagi, tatapannya singkat tapi cukup menusuk.

"Kenapa dia nggak bilang apa-apa? Kenapa cuma lewat? Apa itu ancaman? Atau peringatan?" pikirnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti, membuatnya sulit bernapas.

Ia mencoba menyalakan TV untuk mengusir suara di kepalanya, tapi justru merasa semua suara terlalu keras. Remote ia letakkan lagi, layar tetap gelap.

Tiga hari berikutnya, meski Kamila tetap berangkat kerja, hidupnya seperti terjebak dalam pola yang membeku. Ia datang, mengerjakan tugasnya di lantai-lantai yang aman, menghindari orang tertentu, lalu pulang secepat mungkin.

Sinta sempat mengajaknya makan siang di luar, tapi Kamila menolak dengan alasan sedang diet. Sebenarnya, perutnya memang sering terasa mual, entah karena stres atau karena ia tak pernah benar-benar merasa lapar.

Tidur tetap sulit. Pukul dua atau tiga pagi, ia sering terbangun, menatap bayangan di langit-langit, memastikan tak ada siapa pun di kamarnya. Lampu tidur kecil dibiarkan menyala setiap malam, walau membuat matanya perih.

Di tempat kerja, ia mulai memperhatikan jadwal shift dengan teliti. Jika melihat nama Arsen di hari yang sama, ia mencari cara untuk menukar jadwal atau meminta pindah area kerja. Ia tahu ini bukan solusi permanen, tapi setidaknya memberinya sedikit kendali.

Suatu siang, saat ia sedang melipat handuk di pantry, Sinta duduk di sebelahnya.

“Kamu sama Pak Arsen udah ngobrol lagi belum?” tanya Sinta sambil memegang cangkir kopi.

Pertanyaan itu membuat tangan Kamila berhenti sejenak. “Ngapain ngobrol?” suaranya terdengar datar, tapi jantungnya berdetak cepat.

Sinta mengangkat alis. “Ya, soalnya kemarin aku lihat dia keluar dari lift di lantai 18. Dia sempat nyari kamu kayaknya.”

Kamila berpura-pura sibuk merapikan handuk. “Nggak tahu. Aku nggak ketemu.”

Percakapan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Kamila gelisah seharian. Kalau dia nyari aku… buat apa?

Kamila mulai mengambil kebiasaan baru yang tidak disadarinya.

Ia selalu duduk membelakangi pintu saat istirahat, agar bisa mengontrol siapa yang datang.

Ia membawa ponsel ke mana-mana, bahkan ke kamar mandi, dengan layar terkunci tapi siap dipakai untuk memanggil bantuan.

Ia mulai memperhatikan wajah-wajah asing di hotel, takut jika ada yang dikirim untuk mengawasinya.

Teman-teman kerja mulai menganggapnya lebih pendiam, bahkan dingin. Supervisor sempat menegur karena Kamila jarang menyapa tamu dengan senyum ramah seperti dulu.

Di dalam kepalanya, Kamila terus berdebat dengan dirinya sendiri.

"Kalau aku berhenti kerja, semua ini selesai."

"Tapi kalau aku berhenti, aku nggak punya uang."

"Kalau aku lapor, siapa yang mau percaya?"

"Kalau aku diam, dia bisa melakukan ini ke orang lain."

Kebimbangan ini membuatnya letih. Kadang ia duduk lama di depan meja kecil kosnya, memandangi cangkir teh yang tak pernah ia minum, hanya karena pikirannya melayang-layang ke skenario-skenario yang menakutkan.

Sore itu, Kamila sedang membersihkan kamar di lantai 21 ketika walkie-talkie-nya berbunyi. “Kamila, tolong bantu di lantai 25, kamar 2507,” suara supervisor terdengar.

Darah Kamila langsung dingin. “Bu, saya lagi di tengah bersih-bersih di sini. Bisa yang lain aja?”

“Yang lain lagi sibuk semua. Kamu cepat aja ya.”

Tangannya gemetar saat mematikan alat komunikasi. Ia berdiri mematung di lorong. Otaknya memerintahkan untuk menolak, tapi kakinya tetap bergerak menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia melihat pantulan wajahnya di cermin lift—pucat, mata membesar.

Begitu lift mencapai lantai 23, Kamila menekan tombol darurat berhenti di 24. Ia keluar, pura-pura salah lantai, lalu kembali turun menggunakan tangga darurat. Ia tahu itu akan menimbulkan pertanyaan, tapi ia tak peduli.

Malamnya, sambil duduk di lantai kos, Kamila mulai berpikir serius untuk mencari pekerjaan lain.

Bukan hanya untuk menghindari Arsen, tapi juga untuk mencari kembali rasa aman yang sudah lama hilang.

Ia membuka ponselnya, mencari lowongan kerja online. Setiap kali menemukan yang cocok, ia screenshot dan simpan. Tapi tangannya ragu untuk mengirim lamaran. Bagian dari dirinya merasa meninggalkan hotel berarti kalah.

Dua hari kemudian, Sinta kembali membawa kabar yang membuat Kamila resah.

“Mil, katanya Pak Arsen mau mulai sering keliling ke semua lantai buat inspeksi. Jadi kemungkinan besar kamu bakal ketemu dia,” ucapnya sambil membuka loker.

Kamila hanya terdiam. Dadanya sesak. Kalau dia sengaja melakukan itu? Kalau dia mau memastikan aku tetap di bawah kendalinya?

Tatapan dingin itu kembali terbayang. Kata-kata “Aku akan bertanggung jawab” kini terdengar seperti ancaman terselubung, bukan janji.

Malam itu, hujan turun deras di luar kos. Kamila duduk di tepi ranjang, lampu tidur menyala. Ia memegang ponselnya, jari-jarinya mengetik pesan ke Sinta: “Kalau suatu saat aku nggak kerja di sini lagi… jangan cari aku.”

Pesan itu tak jadi ia kirim. Ia hapus, lalu mematikan ponsel.

Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan besar—tinggal dan melawan, atau pergi dan menghilang.

Dan entah kenapa, dalam gelap yang penuh suara hujan, Kamila merasa bahwa Arsen sedang merencanakan sesuatu yang akan memaksa jawabannya keluar lebih cepat dari yang ia inginkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 12

    Pagi itu, langit tampak pucat. Udara yang masuk melalui celah tirai kamar membawa hawa dingin lembap yang membuat tubuh Kamila menggigil. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis, tapi tubuhnya justru terasa panas luar biasa. Tenggorokannya kering, kepalanya berat, dan pandangan matanya berkunang.Ia mencoba bangun, tapi lututnya lemas. Tubuhnya seolah menolak semua perintah. Napasnya pendek-pendek. Dalam kebisuan kamar besar itu, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar jelas—pelan, teratur, tapi menegangkan.Kamila menunduk, menatap perutnya yang kini semakin besar. Bayi itu menendang pelan, seolah memberi tanda bahwa ia masih ada di sana, hidup, dan menunggu.“Tenang… Mama baik-baik saja…” bisiknya dengan suara serak. Tapi kalimat itu lebih terdengar seperti doa daripada keyakinan.Ia mencoba meraih segelas air di meja nakas, namun tangannya gemetar terlalu hebat. Gelas itu jatuh, pecah di lantai, airnya memercik ke kakinya yang dingin.Kamila menunduk, terengah

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 11

    Malam itu, hujan sudah berhenti. Langit tampak bersih, tetapi udara dingin yang merambat dari sela jendela tetap menggigit kulit. Kamila duduk di kursi panjang dekat jendela kamar, menggenggam secangkir teh hangat yang sejak tadi sudah tidak lagi mengepul. Matanya sayu, tubuhnya lelah. Sejak menikah paksa dengan Arsen, jam tidurnya berantakan—tidak karena bayi dalam perutnya yang rewel, tetapi karena rasa takut yang perlahan menjadi temannya setiap malam. Pintu kamar terdengar berderit pelan. Arsen masuk tanpa suara, seperti biasanya. Langkahnya ringan namun tegas. Pria itu mengenakan setelan rumah berwarna hitam, rambutnya rapi, wangi aftershave-nya memenuhi ruangan seperti aroma penguasa yang ingin menandai wilayahnya. “Kamila,” panggilnya pelan. Kamila tidak menjawab. Ia pura-pura fokus pada hujan sisa di luar sana, pada gemerlap lampu kota Jakarta yang redup. Arsen mendekat, berhenti tepat di belakang kursinya. Ia menatap punggung Kamila seperti seseorang menatap lukisan maha

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 10

    Malam itu, langit Jakarta tampak kelabu. Rintik hujan jatuh pelan seperti tirai tipis, meredam suara jalanan dan lampu-lampu kota. Di dalam gedung kecil dan tertutup rapat, di sebuah ruangan berisi hanya empat orang—dua saksi, seorang penghulu, dan dua insan yang berdiri berdampingan—pernikahan itu berlangsung. Tanpa bunga. Tanpa keluarga. Tanpa tawa bahagia. Hanya senyum dingin Arsen… dan wajah pucat Kamila. Dan Kamila sudah di bawa kembali ke kota Jakarta oleh Arsen. “Apakah saudari Kamila bersedia menjadi istri dari saudara Arsen…?” suara penghulu terdengar jelas, menggema di ruangan hening itu. Deg Jantung Kamila berdetak keras. Tangannya dingin, jemari gemetar. Paul, yang berdiri di sudut ruangan, menundukkan pandangannya—ia tidak sanggup menatapnya. Ia tahu ini bukan pernikahan. Ini pengurungan yang sah secara hukum. “…iya.” Suara itu keluar lirih dari bibir Kamila. Bukan karena kerelaan, tapi karena tak ada pilihan."Baik, kita akan memulai pernikahannya." Pak peng

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 9

    Ruangan itu terasa membeku.Hening, hanya terdengar detik jam di dinding yang seolah menertawakan semua yang terjadi.“...apa yang kamu katakan tadi?” suara Arsen akhirnya pecah. Datar, tapi mengandung tekanan yang membuat dokter muda itu menelan ludah gugup.“Pasien... kemungkinan besar sedang hamil, Pak.”Arsen terdiam. Tubuhnya tegak kaku, rahangnya mengeras, matanya kosong menatap lantai.Paul di belakangnya memandang hati-hati, mencoba membaca perubahan ekspresi itu — tapi tidak ada. Tak ada ledakan marah seperti biasanya, tak ada ancaman, tak ada amarah.Hanya diam. Menakutkan dalam caranya sendiri.Lalu pelan, sebuah senyum kecil muncul di wajah Arsen. Bukan senyum lembut. Bukan senyum bahagia.Senyum itu dingin, tajam, nyaris tak berperasaan.“Pergi,” katanya lirih tapi tegas. “Kamu boleh pergi, Dokter.”Dokter itu tak menunggu dua kali. Ia menunduk cepat dan melangkah keluar, diikuti tatapan khawatir Paul.Begitu dokter itu pergi, Arsen memutar tubuhnya menghadap kaca besar

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 8

    "Kamila, saya mohon... bangun." Suara Arsen serak, gemetar di antara napasnya yang berat. Tangannya terus menepuk pelan pipi pucat gadis itu—pipi yang dulu selalu memerah setiap kali ia tersenyum. Kini dingin, tanpa reaksi. “Kamila…” bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, hampir seperti doa yang tenggelam di dalam ruang mobil yang sunyi. “Pak Arsen, tolong tenangkan diri bapak dulu,” kata Paul dari kursi kemudi. Suaranya berusaha tenang, meski ia sendiri bisa merasakan ketegangan yang merayap dari bangku belakang. “Saya yakin, nona Kamila baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan.” Arsen tak menjawab. Matanya merah, pandangannya liar penuh penyesalan dan marah pada dirinya sendiri. Ia menggenggam tangan Kamila erat—terlalu erat, seolah takut gadis itu akan benar-benar hilang jika dilepaskan. “Saya sudah bilang sama dia sebelumnya,” gumam Arsen lirih, “jangan pernah pergi. Saya tidak akan berbuat jahat padanya... Tapi dia tetap nekat. Sekarang lihat apa yang terjadi? Kita tidak ta

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 7

    "Beliau ingin pergi pak." Paul meletakkan sebuah bukti foto yang ia dapat barusan dari anak buahnya. Arsen mengambilnya, ia menatap foto itu lama, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, "kita ke sana" Paul menganggukkan kepalanya patuh. * Kereta malam itu baru saja tiba di stasiun kecil di pinggiran kota. Lampu-lampu redup berkelap-kelip di antara uap dingin yang naik dari rel. Suara roda besi bergesekan dengan logam masih bergema, bercampur dengan suara pengumuman dari pengeras yang serak. Kamila menunduk dalam-dalam, berusaha menutupi wajah dengan masker dan topi hitam yang ia beli di kios dekat terminal sore tadi. Matanya sembab, rambutnya berantakan, dan tas kecil yang menempel di pundaknya tampak lusuh karena tergesa-gesa. Ia hanya ingin naik kereta, pergi sejauh mungkin — ke arah mana pun yang tak dikenal Arsen. Tapi saat ia hendak melangkah ke peron, tangan seseorang menarik pergelangannya dari belakang. Deg Sentuhan itu kuat, dingin. “Pak Arsen?” suaranya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status