Share

bab 6

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 21:50:58

Hujan belum juga reda sampai tengah malam. Suara rintiknya memantul di dinding kos Kamila yang lembap, menimbulkan gema lembut namun menyesakkan. Udara dingin merambat ke dalam kamar kecil itu, membuat tubuhnya menggigil meski sudah dibalut selimut tipis.

Kamila menatap langit-langit dengan mata lelah. Ia tak tahu sudah berapa lama terjaga. Di luar, suara motor sesekali melintas, dan tetesan air dari talang yang bocor menambah suasana muram.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi pikirannya tetap berlari liar.

Kata-kata Sinta tentang Arsen yang akan keliling ke semua lantai membuatnya tak bisa tenang.

“Inspeksi,” gumamnya pelan. “Atau… alasan untuk mengawasi aku?”

Bayangan Arsen terlintas lagi di benaknya: cara pria itu menatapnya di lift, bagaimana bibirnya menegang tapi matanya tetap tenang, nyaris tanpa emosi. Ada sesuatu yang menakutkan dari ketenangan itu — sesuatu yang membuat darah Kamila selalu dingin setiap kali mengingatnya.

Ia menarik selimut ke atas, tapi tak juga merasa hangat. Rasa aman yang dulu sederhana kini terasa mustahil.

Jam di dinding menunjukkan pukul dua lewat tiga belas menit ketika Kamila akhirnya bangun. Ia menuju dapur kecil di pojok kamar, membuat teh hangat, lalu duduk di dekat jendela yang berembun. Dari situ, ia bisa melihat cahaya lampu jalan yang buram oleh hujan.

Ponselnya bergetar di meja. Satu pesan masuk.

Nomor tak dikenal,

“Besok datang kerja lebih pagi. Kita perlu bicara.”

Kamila membeku. Ia mengenali cara bicara itu — singkat, tanpa tanda tangan, tanpa salam. Arsen.

Tenggorokannya terasa kering. Ia menatap layar lama sekali, jantungnya berdetak cepat. Jari-jarinya hampir menekan tombol “hapus”, tapi rasa penasaran bercampur takut membuatnya justru menyimpan pesan itu.

“Apa maksudnya?” bisiknya.

Tidur malam itu tak pernah datang.

Pagi berikutnya, Kamila datang ke hotel lebih awal seperti biasa. Langit masih abu-abu, aroma lantai yang baru dipel dari lobi menyengat. Ia mencoba bersikap seperti tak terjadi apa-apa.

Namun langkah-langkahnya terasa berat.

Di ruang staf, hanya ada suara mesin dispenser dan dengung AC. Kamila mengganti seragam, lalu mengecek papan jadwal. Namanya tertulis di kolom lantai 25 — sama seperti pesan semalam.

Jantungnya terasa berhenti sesaat. Ia berdiri mematung di depan papan itu, mencoba menenangkan diri.

Sinta masuk sambil membawa roti. “Mil, kamu pagi banget. Belum sarapan?”

Kamila menelan ludah. “Nggak, tadi udah di kos.”

“Lantai 25 ya?” Sinta menunjuk papan. “Wah, itu lantai khusus tamu VIP. Hati-hati, ya. Jangan sampai salah bersih-bersih, soalnya kemarin ada tamu ngeluh, Pak Arsen marah banget.”

Nama itu membuat tengkuk Kamila kembali tegang. “Oh…” hanya itu jawabannya.

Setelah Sinta pergi, Kamila berlama-lama menatap refleksinya di kaca kecil loker. Wajahnya pucat, mata di bawah kelopak sudah berbayang. Ia menarik napas panjang, lalu mengambil alat kebersihan.

Lift menuju lantai 25 terasa seperti ruang penyiksaan. Musik lembut di dalamnya tak membantu sama sekali. Pintu lift terbuka perlahan, menampilkan lorong sepi dengan karpet merah tua dan lampu temaram. Tak ada suara apa pun kecuali dengung pendingin ruangan.

Kamila mulai bekerja, memungut handuk kotor, mengganti seprai, memastikan minibar lengkap. Ia bergerak cepat, berharap selesai sebelum siapa pun muncul.

Namun ketika hendak keluar dari kamar 2506, langkah seseorang terdengar di ujung lorong.

Suara sepatu kulit memantul perlahan — mantap, berirama, familiar.

Kamila menegakkan tubuhnya, napasnya tercekat. Dalam detik-detik itu, ia tahu pasti siapa yang datang bahkan sebelum sosoknya terlihat.

Arsen berjalan mendekat, mengenakan kemeja putih dan jas abu-abu muda. Wajahnya seperti biasa: tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tapi tatapan matanya tajam seperti bilah logam yang disembunyikan di balik senyum tipis.

“Kamila,” katanya pelan, berhenti beberapa langkah di depannya.

Suara itu — datar, tapi dalam — membuat jantung Kamila seolah diperas.

“Selamat pagi, Pak,” jawabnya pelan, menunduk.

“Saya lihat kamu menghindar beberapa hari ini.”

Kamila membeku. “Saya cuma… sibuk di area lain, Pak.”

Arsen mengangkat sebelah alis. “Sibuk, atau sengaja?”

Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada teriakan. Kamila tak bisa menjawab. Ia hanya menatap lantai, berusaha menjaga agar tangannya tidak terlihat gemetar.

“Kalau kamu takut, kamu bisa bilang langsung,” ujar Arsen lagi, suaranya terdengar nyaris lembut — tapi entah kenapa, justru lebih mengerikan. “Saya cuma ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Itu saja.”

Kamila mengangguk tanpa suara.

Arsen berjalan mendekat sedikit, berhenti cukup dekat untuk membuat tubuh Kamila kaku. Aroma parfum maskulin yang tajam menyentuh hidungnya, membuatnya ingin mundur, tapi kaki terasa terpaku di lantai.

“Saya harap kamu nggak salah paham dengan semua yang terjadi waktu itu,” katanya, pelan tapi terukur. “Saya tetap akan bertanggung jawab.”

Ucapan itu lagi. Kalimat yang dulu sempat membuat Kamila bingung — kini terasa seperti jerat.

“Tidak perlu, Pak,” suara Kamila akhirnya keluar, serak. “Saya cuma mau kerja seperti biasa. Tolong jangan ganggu saya lagi.”

Arsen menatapnya beberapa detik lama. Mata itu tak menunjukkan marah, tapi juga tak menunjukkan pengertian. Lalu ia tersenyum tipis.

“Baik. Tapi jangan menyesal kalau saya memutuskan hal lain.”

Setelah berkata begitu, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kamila berdiri mematung dengan jantung yang berdetak liar.

Sepanjang hari, tubuh Kamila bekerja, tapi pikirannya melayang. Ia tak tahu apa maksud kalimat terakhir Arsen — tapi ia tahu itu bukan sekadar ucapan.

Malamnya, setelah pulang, ia menemukan sebuah amplop di depan pintu kosnya. Tak ada nama pengirim.

Tangannya gemetar saat membukanya. Di dalamnya hanya ada selembar kertas berisi tulisan singkat,

“Jangan pergi sebelum saya izinkan.”

Kamila membeku. Matanya langsung menatap ke luar jendela, tapi lorong kos gelap, hanya diterangi cahaya lampu dari kamar sebelah. Ia menutup pintu cepat-cepat, lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding.

Rasa takut menelan seluruh kesadarannya.

Ia ingin menelepon seseorang — polisi, teman, siapa pun — tapi kepada siapa ia bisa menjelaskan? Ia bahkan tak punya bukti kalau Arsen mengirim surat itu. Semua bisa menganggapnya berlebihan.

Tangannya mencengkeram kertas itu begitu kuat hingga nyaris robek. Air matanya jatuh tanpa suara.

“Aku nggak mau hidup kayak gini,” bisiknya pelan. “Aku harus keluar dari sini.”

Malam itu, Kamila mulai merencanakan sesuatu.

Selama dua hari berikutnya, ia berpura-pura bekerja seperti biasa. Ia tersenyum seadanya, berbicara seperlunya, tapi diam-diam ia mulai menyiapkan pelarian.

Ia menjual beberapa barang kecil miliknya secara online — tas, sepatu, jam tangan. Uangnya ia kumpulkan di amplop, disembunyikan di bawah kasur.

Setiap malam ia mencari lowongan di luar kota, bahkan luar pulau. Ia ingin pergi sejauh mungkin, di mana Arsen tak bisa menemukannya.

Namun setiap kali ia merasa hampir siap, sesuatu terjadi yang membuatnya ragu.

Seperti sore itu, saat ia melihat bayangan seseorang berdiri lama di depan kosnya dari balik tirai jendela. Saat ia memberanikan diri mengintip lagi, sosok itu sudah hilang. Tapi di hatinya, rasa takut makin nyata.

Hari Jumat datang, dan Kamila tahu itu mungkin hari terakhirnya di hotel.

Ia sudah menulis surat pengunduran diri. Surat itu ia lipat rapi dan simpan di tas, berniat menyerahkannya sore nanti.

Namun takdir seperti tak ingin memudahkan langkahnya.

Ketika ia sedang di pantry, supervisor datang dengan wajah tegang. “Kamila, tolong bantu di 2507 ya. Tamu minta housekeeping langsung.”

Kamila mematung. Nomor kamar itu lagi.

“Bu, bisa orang lain aja? Saya…”

“Dia nyebut nama kamu langsung, Kamila. Katanya cuma mau kamu yang masuk.”

Jantungnya nyaris berhenti. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan “tamu” itu.

Ia mencoba menolak, tapi supervisor sudah berlalu sebelum ia sempat bicara.

Lorong menuju kamar 2507 terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah seperti gema dalam kepalanya sendiri. Ia membawa troli pelan-pelan, berusaha menahan getaran di tangannya.

Pintu kamar itu sedikit terbuka. Dari dalam, terdengar suara AC dan detak jam dinding.

Kamila mengetuk pelan. “Housekeeping.”

Tak ada jawaban.

Ia mendorong pintu perlahan, kepalanya menoleh ke dalam. Kamar itu kosong — tapi lampu menyala, dan di meja kerja dekat jendela, ada secangkir kopi yang masih mengepul.

Ia mundur selangkah, perasaannya tak enak.

Lalu suara pintu tertutup di belakangnya.

Kamila berbalik cepat. Arsen berdiri di sana.

“Pak…” suaranya tercekat.

Arsen menatapnya lama, lalu berjalan perlahan ke arah meja. “Saya cuma mau bicara, Kamila.”

“Bicara apa?” suaranya bergetar.

“Kenapa kamu mau pergi diam-diam?”

Darah Kamila serasa berhenti mengalir. “Dari mana Bapak tahu—”

“Hotel kecil seperti ini, semua tahu. Kamu jual barang-barangmu, kamu cari kerja di luar kota. Apa kamu kira saya nggak tahu?”

Kamila melangkah mundur. “Saya cuma mau hidup tenang. Saya nggak mau masalah apa pun.”

Arsen menatapnya tanpa emosi. “Kamu pikir kamu bisa kabur begitu saja setelah semua yang terjadi?”

“Saya nggak melakukan apa pun!” suara Kamila pecah.

Arsen mendekat. “Kamu pikir dunia di luar sana akan percaya padamu? Atau kamu mau saya tunjukkan siapa yang berkuasa di sini?”

Tangan Kamila meremas pegangan troli sampai bunyi logam berderit. Ia tahu tak ada gunanya berdebat. Matanya mencari jalan keluar, tapi Arsen berdiri tepat di antara dirinya dan pintu.

Udara di kamar itu terasa menekan, seperti dindingnya ikut menyempit.

“Aku nggak mau bahas ini lagi,” katanya akhirnya, pelan tapi tegas. “Tolong biarkan aku pergi.”

Arsen menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Kamu benar-benar berani sekarang ya.”

Kamila tak menjawab. Ia melangkah ke samping, mencoba melewati, tapi Arsen menahan pergelangan tangannya.

“Lepas!” teriaknya, berusaha menarik diri.

Namun sebelum sesuatu terjadi, suara pintu diketuk keras dari luar. “Housekeeping, ada yang panggil saya ke kamar ini juga!” suara Sinta.

Arsen langsung melepaskannya. Dalam sepersekian detik, Kamila mengambil kesempatan itu untuk keluar. Ia membuka pintu dan hampir berlari melewati Sinta tanpa bicara.

“Mil? Kamu kenapa?” Sinta memanggil, tapi Kamila tak menjawab.

Ia berlari menuju tangga darurat, turun sampai ke lantai 10 sebelum akhirnya berhenti, terengah-engah dan menangis terisak tanpa suara.

Malam itu, Kamila tak kembali ke kos. Ia menumpang di rumah teman lama, dan keesokan harinya, ia benar-benar pergi dari kota itu.

Namun, baru sampai di perjalanan, seseorang menarik tangannya membuat Kamila tersentak.

Kamila menoleh. "Pak Arsen?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 12

    Pagi itu, langit tampak pucat. Udara yang masuk melalui celah tirai kamar membawa hawa dingin lembap yang membuat tubuh Kamila menggigil. Ia terbangun dengan keringat dingin membasahi pelipis, tapi tubuhnya justru terasa panas luar biasa. Tenggorokannya kering, kepalanya berat, dan pandangan matanya berkunang.Ia mencoba bangun, tapi lututnya lemas. Tubuhnya seolah menolak semua perintah. Napasnya pendek-pendek. Dalam kebisuan kamar besar itu, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar jelas—pelan, teratur, tapi menegangkan.Kamila menunduk, menatap perutnya yang kini semakin besar. Bayi itu menendang pelan, seolah memberi tanda bahwa ia masih ada di sana, hidup, dan menunggu.“Tenang… Mama baik-baik saja…” bisiknya dengan suara serak. Tapi kalimat itu lebih terdengar seperti doa daripada keyakinan.Ia mencoba meraih segelas air di meja nakas, namun tangannya gemetar terlalu hebat. Gelas itu jatuh, pecah di lantai, airnya memercik ke kakinya yang dingin.Kamila menunduk, terengah

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 11

    Malam itu, hujan sudah berhenti. Langit tampak bersih, tetapi udara dingin yang merambat dari sela jendela tetap menggigit kulit. Kamila duduk di kursi panjang dekat jendela kamar, menggenggam secangkir teh hangat yang sejak tadi sudah tidak lagi mengepul. Matanya sayu, tubuhnya lelah. Sejak menikah paksa dengan Arsen, jam tidurnya berantakan—tidak karena bayi dalam perutnya yang rewel, tetapi karena rasa takut yang perlahan menjadi temannya setiap malam. Pintu kamar terdengar berderit pelan. Arsen masuk tanpa suara, seperti biasanya. Langkahnya ringan namun tegas. Pria itu mengenakan setelan rumah berwarna hitam, rambutnya rapi, wangi aftershave-nya memenuhi ruangan seperti aroma penguasa yang ingin menandai wilayahnya. “Kamila,” panggilnya pelan. Kamila tidak menjawab. Ia pura-pura fokus pada hujan sisa di luar sana, pada gemerlap lampu kota Jakarta yang redup. Arsen mendekat, berhenti tepat di belakang kursinya. Ia menatap punggung Kamila seperti seseorang menatap lukisan maha

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 10

    Malam itu, langit Jakarta tampak kelabu. Rintik hujan jatuh pelan seperti tirai tipis, meredam suara jalanan dan lampu-lampu kota. Di dalam gedung kecil dan tertutup rapat, di sebuah ruangan berisi hanya empat orang—dua saksi, seorang penghulu, dan dua insan yang berdiri berdampingan—pernikahan itu berlangsung. Tanpa bunga. Tanpa keluarga. Tanpa tawa bahagia. Hanya senyum dingin Arsen… dan wajah pucat Kamila. Dan Kamila sudah di bawa kembali ke kota Jakarta oleh Arsen. “Apakah saudari Kamila bersedia menjadi istri dari saudara Arsen…?” suara penghulu terdengar jelas, menggema di ruangan hening itu. Deg Jantung Kamila berdetak keras. Tangannya dingin, jemari gemetar. Paul, yang berdiri di sudut ruangan, menundukkan pandangannya—ia tidak sanggup menatapnya. Ia tahu ini bukan pernikahan. Ini pengurungan yang sah secara hukum. “…iya.” Suara itu keluar lirih dari bibir Kamila. Bukan karena kerelaan, tapi karena tak ada pilihan."Baik, kita akan memulai pernikahannya." Pak peng

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 9

    Ruangan itu terasa membeku.Hening, hanya terdengar detik jam di dinding yang seolah menertawakan semua yang terjadi.“...apa yang kamu katakan tadi?” suara Arsen akhirnya pecah. Datar, tapi mengandung tekanan yang membuat dokter muda itu menelan ludah gugup.“Pasien... kemungkinan besar sedang hamil, Pak.”Arsen terdiam. Tubuhnya tegak kaku, rahangnya mengeras, matanya kosong menatap lantai.Paul di belakangnya memandang hati-hati, mencoba membaca perubahan ekspresi itu — tapi tidak ada. Tak ada ledakan marah seperti biasanya, tak ada ancaman, tak ada amarah.Hanya diam. Menakutkan dalam caranya sendiri.Lalu pelan, sebuah senyum kecil muncul di wajah Arsen. Bukan senyum lembut. Bukan senyum bahagia.Senyum itu dingin, tajam, nyaris tak berperasaan.“Pergi,” katanya lirih tapi tegas. “Kamu boleh pergi, Dokter.”Dokter itu tak menunggu dua kali. Ia menunduk cepat dan melangkah keluar, diikuti tatapan khawatir Paul.Begitu dokter itu pergi, Arsen memutar tubuhnya menghadap kaca besar

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 8

    "Kamila, saya mohon... bangun." Suara Arsen serak, gemetar di antara napasnya yang berat. Tangannya terus menepuk pelan pipi pucat gadis itu—pipi yang dulu selalu memerah setiap kali ia tersenyum. Kini dingin, tanpa reaksi. “Kamila…” bisiknya lagi, kali ini lebih lirih, hampir seperti doa yang tenggelam di dalam ruang mobil yang sunyi. “Pak Arsen, tolong tenangkan diri bapak dulu,” kata Paul dari kursi kemudi. Suaranya berusaha tenang, meski ia sendiri bisa merasakan ketegangan yang merayap dari bangku belakang. “Saya yakin, nona Kamila baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan.” Arsen tak menjawab. Matanya merah, pandangannya liar penuh penyesalan dan marah pada dirinya sendiri. Ia menggenggam tangan Kamila erat—terlalu erat, seolah takut gadis itu akan benar-benar hilang jika dilepaskan. “Saya sudah bilang sama dia sebelumnya,” gumam Arsen lirih, “jangan pernah pergi. Saya tidak akan berbuat jahat padanya... Tapi dia tetap nekat. Sekarang lihat apa yang terjadi? Kita tidak ta

  • Istri Rahasia Sang CEO    bab 7

    "Beliau ingin pergi pak." Paul meletakkan sebuah bukti foto yang ia dapat barusan dari anak buahnya. Arsen mengambilnya, ia menatap foto itu lama, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, "kita ke sana" Paul menganggukkan kepalanya patuh. * Kereta malam itu baru saja tiba di stasiun kecil di pinggiran kota. Lampu-lampu redup berkelap-kelip di antara uap dingin yang naik dari rel. Suara roda besi bergesekan dengan logam masih bergema, bercampur dengan suara pengumuman dari pengeras yang serak. Kamila menunduk dalam-dalam, berusaha menutupi wajah dengan masker dan topi hitam yang ia beli di kios dekat terminal sore tadi. Matanya sembab, rambutnya berantakan, dan tas kecil yang menempel di pundaknya tampak lusuh karena tergesa-gesa. Ia hanya ingin naik kereta, pergi sejauh mungkin — ke arah mana pun yang tak dikenal Arsen. Tapi saat ia hendak melangkah ke peron, tangan seseorang menarik pergelangannya dari belakang. Deg Sentuhan itu kuat, dingin. “Pak Arsen?” suaranya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status