Zuri merinding, bulu kuduknya berdiri. Bercinta lagi?
“Berbalik dan lihat aku,” perintah Axel, nadanya lebih tajam.
Zuri menurut, berbalik perlahan. Wajah Axel tampan meski rambutnya berantakan—ulahnya semalam, menjambak dan mengacak-ngacak selagi menahan serangan Axel. Mereka saling menatap, hawa dingin pagi terasa dari tatapan pria itu.
“Kau tidak mendengarku?” tanya Axel, suaranya nyaris kasar.
“Aku mendengarmu,” jawab Zuri hati-hati, mengangguk. Axel suaminya, jadi dia harus menjalani ini dengan benar.
“Karena aku yang menginginkannya lagi, apa itu artinya aku juga yang harus memulainya?” tanya Axel sinis.
Zuri menelan ludah. “Kau suka aku memulainya dengan cara seperti apa?” balasnya pelan, langsung menyesal bertanya.
“Kau minta diajari lagi?” Axel menyeringai, alisnya bertaut. Zuri mengangguk, tidak tahu harus jawab apa. Jujur, ini sungguh pengalaman pertamanya.
“Coba mulai dengan menggodaku,” perintah Axel.
Zuri mengerjap bingung, lalu bangkit duduk. Selimutnya merosot, memperlihatkan tubuh telanjangnya. Dia melirik Axel—pria itu menatap tanpa berkedip, berbaring miring menghadapnya.
“Apa yang coba kau tutupi?” tanya Axel, nada menghina.
“Tidak ada,” jawab Zuri, tersenyum canggung. Mereka sudah telanjang semalaman—tidak ada yang disembunyikan. Benar, apa dia masih harus merasa malu?
“Mendekatlah dan coba lakukan,” perintah Axel.
Zuri merangkak mendekat, tubuh telanjangnya terpampang jelas. Wajah Axel datar, tapi tatapan itu memacu sesuatu dalam diri Zuri. Dia duduk di depan suaminya. Membuka kedua kaki lebar-lebar, sengaja memperlihatkan area sensitifnya. Sementara Axel hanya mengamati, tidak bereaksi.
Zuri melanjutkan, mengarahkan kaki ke wajah Axel. Ibu jari kakinya menggesek rahang pria itu, turun ke jakun, menggosok perlahan. Sensasi mendebarkan menyelinap, kewanitaannya berkedut, basah lagi. Dia membasahi bibirnya dengan lidah, menatap Axel yang ekspresinya mengerut tipis.
Kakinya turun lebih jauh, mengelus dada Axel, menjepit putingnya dengan jari-jari kaki. Axel menggeram pelan, matanya menyala hasrat. Zuri meluncur ke perut sang suami, menelusuri otot-otot tegang, lalu ke kejantanannya yang mengeras. Dia menggesek intens, dan Axel menarik kedua kaki dengan cepat.
“Lumayan,” lirih Axel parau, lalu menindih Zuri, melakukan penyatuan dalam satu hentakan ganas sampai ujung.
Zuri mengaduh ngilu, tubuhnya bergetar. Axel tidak mencium bibirnya—hanya menatap, menjilat leher, dan menghisap payudaranya keras. Lidah si suami menari di putingnya, membuat Zuri mendesah tak terkendali.
“Jangan mendahuluiku,” bisik Axel mengancam. “Tahan.”
Zuri berusaha, menjepit kaki, tapi Axel membukanya lebar-lebar, menaikkan ke pundak pria itu. Punggung Zuri terangkat, dan Axel menyelinapkan bantal di bawahnya—mempermudah posisi.
“Ukh! Akh!” Axel bergetar, gerakannya makin cepat, keringatnya menetes ke perut Zuri.
“Aku tidak tahan,” rintih Zuri pelan, takut ditegur. Tapi mereka keluar bersamaan—benih Axel membanjiri lagi. Axel tidak marah, hanya diam, napas mereka perlahan tenang.
Saat terbangun, Zuri dalam dekapan Axel. Mereka tertidur lagi. Dia malu mengingat caranya menggoda tadi, tapi tidak bisa bohong—dia menikmatinya.
Karena perutnya keroncongan, Zuri merosot pelan dari pelukan Axel yang tampak lelah. Jam sembilan pagi—mereka melewatkan sarapan.
Zuri berjinjit ke kamar mandi. Bergegas mandi dengan cepat, dan keluar. Axel tidak ada di ranjang. Dia berpakaian terburu-buru, khawatir Axel menunggunya di meja makan. Rambutnya masih basah saat dia keluar kamar, lalu melihat Axel sepuluh meter dari pintu, berbicara di telepon.
“Bisakah kau tenang dan bersabar menungguku? Aku akan bermalam di tempatmu, jangan khawatir,” kata Axel, suaranya lembut—bukan nada bicara yang biasanya digunakan untuk Zuri.
Zuri mengerutkan kening. Siapa itu? Ah, ya. Bukan urusannya, meski dia istrinya. Axel tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.
“Zuri, sedang apa di situ?” tanya Axel, nadanya kembali dingin.
“Aku akan menyiapkan sarapan,” jawab Zuri, gugup meski tak terkejut.
“Tidak perlu. Masuk dan istirahatlah,” perintah Axel, mengusir dengan isyarat tangan.
Zuri kembali ke kamar, mengeringkan rambut, dan memeriksa ponselnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan di rumah ini selain tugas yang Axel izinkan—persiapan kehamilan, sarapan, makan malam, kebutuhan Axel sebelum ke kantor. Di luar itu, dilarang.
Dia setuju demi satu tujuan, cepat hamil maka cepat selesai. Axel menjanjikan rumah, mobil, dan tabungan setelah cerai—jumlah sama dengan yang dicuri Elysia.
“Kau beruntung, bukan? Di mana lagi kau dapat keuntungan seperti ini?” kata Axel sehari sebelum pernikahan. “Aku hargai kau sebagai ibu dari putraku, jadi kuberikan tunjangan. Tiga atau empat kali sebulan, kau boleh bertemu dia di akhir pekan, tapi dia ikut denganku, jadi penggantiku kelak di perusahaan. Setuju?”
Zuri menyetujui. Tidak ada pilihan lain. Keluarganya tinggal dirinya sendiri—orang tua dan bibi Isolde meninggal, Elysia tidak tahu ada di mana sekarang. Dia hanya punya dirinya untuk dipercaya, hidupnya bergantung pada keputusannya sendiri.
***
Axel duduk di sofa rumah Aurelia Storm—teman lama, wanita yang tempo hari bertemu dengannya di rumah ibunya. Sedang mendengarkan keluhan wanita itu dengan ekspresi datar.
“Aku sudah bercerai dua bulan yang lalu,” kata Aurelia, suaranya penuh tekanan.
Axel merutuk dalam hati. Dia sudah tahu soal itu.
“Tapi dia masih terus mengganggu hidupku dan Alina,” lanjut Aurelia, nada mengeluhnya semakin terdengar.
Axel tetap diam. Dia juga tahu itu, tapi tidak mau berkomentar. Bukan urusannya. “Lalu apa kali ini?” Bertanya akhirnya, nadanya dingin dan langsung.
Aurelia menghela napas. “Ronan memaksaku untuk kembali bersamanya.” Wajahnya menunjukkan kelelahan selagi menjawab.
Axel memandang Aurelia sekilas, tidak tergerak. Terlalu banyak mengeluh tidak akan membantu, pikirnya. Dia mengalihkan pandangan ke ambang pintu. Di sana, Alina Donovan—putri kecil Aurelia, berdiri memeluk boneka panda, menatap Axel dengan sorot mata takut-takut.
“Mama,” panggil Alina, suaranya serak dan lemah.
Aurelia segera berbalik, bergegas menghampiri si bocah. Gadis kecil berusia sekitar lima atau enam tahun itu langsung dipeluknya.
Aurelia menggendong Alina dan kembali mendekati Axel, wajahnya penuh kecemasan. “Alina sedang flu dan batuk. Dia jadi sulit tidur. Maaf,” jelasnya sambil mengusap kepala putrinya yang mirip sekali dengan Ronan Donovan.
“Seharusnya kau membantunya tidur,” balas Axel, nadanya tidak berubah.
Aurelia mengerjap, seolah mencari simpati. Axel tidak mudah memberikannya, tapi melihat Alina yang terus mengeluarkan ingus dan batuk pelan membuatnya sedikit melunak.
“Maukah kau menunggu sebentar?” tanya Aurelia.
“Baiklah.” Axel mengiyakan, singkat.
Aurelia tersenyum hangat, meski ada kesedihan di matanya. Dia berjalan pergi bersama Alina. “Ayo, Sayang. Kita tidur, ya? Besok Mama akan membawamu ke taman bermain karena hari ini kita batal ke sana. Bagaimana?”
Axel memandang punggung Aurelia yang menjauh. Dulu, saat mereka sekelas selama setahun di sekolah menengah, dia pernah mengagumi wanita itu—model majalah remaja yang bersinar. Dia baru tahu kemudian bahwa ibunya Aurelia adalah teman lama ibunya, meski jarang bergabung karena sibuk dengan butik yang mulai terkenal berkat popularitas Aurelia. Namun, alasan Aurelia tiba-tiba dibawa ke luar negeri oleh keluarganya tetap misteri baginya—dan dia tidak pernah peduli, apalagi mencari tahu.
“Ya. Kau … dan bayi kita.”Mereka tertawa pelan, serentak.“Axel?”“Hm?”“Aku tidak pernah menyangka … bisa tertawa bebas tanpa beban di hadapanmu seperti ini. Padahal dulu aku pikir aku harus lari darimu selamanya setelah perjanjian kita berakhir.”Axel diam sejenak. “Aku pun dulu berpikir aku harus memilikimu dengan cara apa pun. Tapi ternyata … aku baru benar-benar memilikimu ketika kau memilih sendiri untuk tetap tinggal.”Zuri memejamkan mata, bersandar sepenuhnya pada dada Axel.***Hujan gerimis turun pagi itu. Aroma antiseptik, suara langkah kaki tergesa, dan detak jantung Zuri yang tidak karuan memenuhi ruang bersalin. Tangannya mencengkeram kuat jari-jari Axel yang kini pucat karena terlalu erat digenggam.“Axel ...” Suaranya lemah, namun matanya penuh keberanian. “Jika sesuatu terjadi padaku ... jaga dia baik-baik.”Axel menggeleng cepat, menunduk mencium kening Zuri yang basah oleh keringat. “Jangan berkata seperti itu. Kau akan baik-baik saja, Sayang. Aku bersamamu. Selal
Axel membantu Zuri duduk tegak kembali, sementara dia perlahan berlutut di hadapan si istri.“Karena aku ingin kau memilihku. Dengan sadar. Walau setelah semua yang kulakukan, mungkin aku tidak pantas. Tapi kalau kau tanya kenapa aku pertemukan kalian sekarang, kenapa aku membawamu kemari dengan menampilkan sesuatu yang lain, karena aku ingin kau tahu semuanya. Dan kalau kau pergi setelah ini ... aku tidak akan menghalangimu.”Suara Axel tak lagi tegas. Seakan terasa retak. Nyaris putus.“Kau bebas pergi, Zuri. Semua utang Elysia padaku, kuanggap lunas. Aku akan selesaikan semuanya. Kau tak perlu mengganti rugi, tak perlu melahirkan pewaris untukku, akan kuhancurkan semua perjanjian di antara kita, dan kau juga tidak perlu lagi tinggal bersamaku. Tapi kalau kau tetap memilih di sini … aku akan memperbaiki segalanya. Aku akan berhenti jadi pria gila yang mencoba mengikatmu dengan cara terkutuk. Aku akan belajar jadi suami yang layak.”Keheningan kemudian begitu menyiksa bagi Axel. Sang
Hadapi!Zuri menangkap bahwa maksud ucapan Axel adalah tentang Thalia dan Jaxon, tapi kenapa … kenapa Elysia ada di sini sekarang? Kenapa kakaknya itu kini tergesa menghampirinya?“E-Elysia—”“Zuri!” Bukannya memeluk, Elysia mencengkeram kedua pundak adiknya dengan raut wajah pucat. “Jangan percaya apa pun. Jangan percaya padanya.”Dengan raut kebingungan, Zuri menatap ke arah pintu kamar yang terbuka. Axel di sana, baru saja mendorong pintu agar terbuka lebar.Elysia panik saat menyadari kehadiran Axel, namun langsung melepas cengkeramannya pada Zuri, berjalan cepat menuju ke arah pria itu berada.Mencengkeram jas Axel sambil mengguncangnya kuat, walau hampir tidak memberi pengaruh apa pun pada pria itu. Axel memilih menatap Zuri yang bingung, shock dan jelas gemetar.“Kau … lepaskan kami! Aku tahu kau sengaja menjebakku untuk mencuri semua uang dan perhiasan ibumu, agar aku kacau dan melarikan diri entah ke mana!” teriak Elysia. “Dan kau memaksa adikku untuk menikah denganmu? Menang
Zuri menahan napas, sentuhan Axel datang begitu cepat. “Tidak,” jawabnya singkat, berusaha tegas.“Kau yakin?” Axel mengecup pundak kanan Zuri, suaranya menggoda, membuat tubuh wanita itu menegang.Zuri mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri. Jaxon bertingkah di luar kebiasaan mungkin karena Zuri mengecewakan pria itu, melukai begitu dalam.Mereka bersama hampir dua tahun, Zuri mengenal keluarga Jaxon, yang menerimanya meski ia yatim piatu tanpa harta. Rumah peninggalan orang tua Zuri dan Elysia telah disumbangkan untuk dapur darurat saat wabah menyerang Village. Kebun stroberi kecil milik orang tua mereka juga musnah saat itu.“Apa jawabanmu selalu semahal itu?” tanya Axel, suaranya tiba-tiba tegas, menarik Zuri dari lamunan.Zuri tersentak, belum mampu menjawab, masih terlena oleh belaian Axel.“Jangan biarkan aku menunggu jawabanmu sampai kau tertidur, Zuri,” lanjut Axel, nadanya bukan peringatan santai, melainkan perintah.Zuri bergidik, buru-buru menjawab, “Aku … aku yakin
Zuri mengerang, nyaris kenapasan napas. Tangannya mencengkeram pundak Axel lebih erat, kewanitaannya berdenyut.Axel mempercepat gerakan, air memercik ke lantai marmer, lilin-lilin berkedip karena hembusan udara.“Bergerak lebih cepat, Zuri,” gumam Axel, nadanya tegas. “Aku mau kau patuh. Tunjukkan kalau kau milikku.” Ia mengubah posisi, menarik Zuri kembali ke dalam air, memutar tubuh Zuri hingga si istri membelakanginya.Tangan Zuri mencengkeram tepi bak. Axel masuk lagi dari belakang, dorongannya lebih dalam, air hangat memperkuat gesekan kejantanannya di kewanitaan sang istri.“A-aku … Axel—oh, aku … hampir,” desah Zuri, serak dengan tubuh yang menegang, orgasme keduanya mendekat.“Tahan sedikit lagi, Zuri. Akan kuberitahu saat aku mendapatkannya lebih dulu,” bisik Axel, tak lupa menjilati sisi samping wajah wanitanya.Dorongan semakin cepat, air beriak keras. “Oke. Kau boleh keluar sekarang.” Seketika Zuri menjerit, orgasmenya meledak, cairan kenikmatannya membasahi kejantanan A
Zuri menatap telapak tangan Axel yang besar dan hangat, teringat sentuhannya.“Atau mau kugendong hingga ke kamar mandi?” tambah Axel, nadanya menggoda.Zuri mengangguk segera, percuma saja merasa malu. Axel akan tetap seperti ini setiap hari, bahkan sering memakaikan pakaian untuknya saat ada waktu luang.Axel berjongkok, memunggungi Zuri. “Naiklah. Kita harus mencoba banyak hal,” katanya.Zuri naik ke punggung Axel, merasa suaminya itu baik hati dengan niat tertentu. Dalam suasana nyaman ini, ia yakin siapa pun istrinya Axel akan dengan senang hati mengandung berkali-kali.Jadi, ya nikmati saja. Zuri pikir begitu. Tidak ada yang dirugikan, semua setimpal.“Bagaimana hubunganmu dengan Jaxon Holt?” tanya Axel tiba-tiba.Zuri tersentak. Ia pikir Axel menikmati saat menghancurkan harga diri Jaxon dulu, mungkin masih teringat tindakan heroiknya itu saat di kafe pertama kali mereka bertemu.“Seperti yang kau lihat. Sekarang kami asing satu sama lain,” jawab Zuri. Dari balik punggung Axel,