Share

Beban Pikiran

Pesta pernikahan Mistia-anak dari Om Egi dan tante Diana berhasil mengumpulkan anggota keluarga Byantara yang terpencar di seluruh penjuru Negri maupun yang berdomisili di luar Negri kecuali Eyang Prita yang sudah sepuh dan gampang lelah kalau bepergian jauh.

Reyshaka bertemu banyak sepupu, mereka berkumpul di area meja keluarga.

Dia memandang wajah semua sepupunya yang kebanyakan adalah perempuan lalu seolah diingatkan kembali oleh Namira dan nasib tragis yang dialaminya.

“Mas! Ngelamun aja … bukannya cari jodoh … sepupu dari suaminya Mistia cantik-cantik lho!” tegur Dandi-sepupu jauh Reyshaka sebelum akhirnya pria itu menghempaskan bokong di kursi kosong di sampingnya.

Hembusan napas panjang Reyshaka keluarkan dengan raut wajah yang seperti sedang menanggung beban berat.

Dandi hanya memandangi wajah sang sepupu yang menurutnya sudah tua tapi belum juga menikah padahal memiliki paras tampan dan sudah mapan dari segi finansial.

Reyshaka menoleh pada Dandi, melihat tatapan Dandi yang yang seolah bertanya, “Ada masalah apa?” Membuat Reyshaka akhirnya membuka suara.

“Kalau lo jadi saksi tindak kejahatan seksual yang dilakuin sahabat lo sendiri sama karyawan lo di kantor, apa yang akan lo lakukan?”

Pertanyaan Reyshaka membuat Dandi berpikir tapi bukan karena untuk menjawab pertanyaan tersebut melainkan benaknya berpikir kenapa Reyshaka bertanya hal tersebut.

“Seharusnya gue laporin donk tapi dia sahabat gue … tapi kalau gue enggak laporin, gue dapet karma enggak ya?” celetukan Dandi itu malah membuat Reyshaka semakin frustrasi.

“Memangnya kenapa?” Dandi bertanya penasaran.

“Kalau taruhannya perusahaan bokap lo gimana? Maksud gue, anggap lo takut karma tapi kalau lo buat laporan kekepolisian terus akan mengancam keberlangsungan perusahaan bokap lo, gimana?” Reyshaka bertanya lagi.

“Itu yang berat, jangankan karena perusahaan … karena ikatan persahabatan aja gue bingung.” Dandi tidak bisa diandalkan untuk memberikan solusi.

Reyshaka harus berpikir sendiri bagaimana menyelesaikan masalah ini karena hatinya tidak tenang jika dia tidak mengambil tindakan.

Keesokan harinya yaitu hari Senin, Reyshaka tidak menemukan ketiga sahabatnya menyambut seperti biasa.

Mungkin mereka malu atas kelakuan mereka sendiri.

“Yang lain mana?” Reyshaka bertanya kepada Raina.

“Pak Doni sama pak Surya lagi ngerjain sesuatu kayanya ada di ruangannya tapi kalau pak Rivan belum datang, Pak.” Raina memberitahu.

“Oke … kita kerjain apa dulu sekarang?”

Dan selanjutnya Raina membacakan jadwal Reyshaka hari ini.

Sementara itu, Namira harus membuang rasa trauma, takut dan menebalkan rasa malu untuk masuk kantor setelah apa yang dilakukan tiga oknum pimpinan padanya.

Dia terus menunduk saat masuk ke dalam gedung, tidak ada lagi rona bahagia seperti minggu kemarin.

Namira tidak bisa resign setelah meyakinkan ayah kalau dia akan baik-baik saja bekerja di perusahaan ini.

Jangan sampai ayah mengetahui apa yang telah dia alami karena kondisinya pasti akan memburuk.

Namira tidak mau sampai itu terjadi, dia hanya memiliki ayah di dunia ini.

Namira memang sedikit terlambat jadi suasana kantor cukup lengang, tidak ada kerumunan di depan lift.

Dan ketika pintu lift terbuka, matanya terbelalak saat melihat Rivan di dalam sana.

Pria itu juga tampak terkejut lantas menderapkan langkah keluar dari lift.

Rivan tidak percaya kalau Namira masih bisa masuk kerja hari ini.

Namira sontak mundur beberapa langkah namun langkah Rivan memburunya lantas mencekal tangan Namira dan membawanya masuk melewati pintu tangga darurat tanpa bisa Namira melawan.

Dia sudah janji kepada Reyshaka tidak akan melaporkan tindak pelecehan seksual yang dilakukan Rivan dan dua pimpinan lain jadi Namira tidak bisa berteriak karena akan mengambil perhatian banyak orang lalu bertanya-tanya yang bisa jadi mengungkap kasusnya ini.

Demi agar bisa tetap bekerja di sini, Namira rela membiarkan ketiga pimpinannya itu terbebas dari tanggung jawab atas perbuatan keji yang telah mereka lakukan.

Setelah melewati pintu tangga darurat, Namira merasakan punggungnya membentur dinding sangat kencang beruntung dia bersiap dengan menahan kepalanya tetap menunduk sehingga tidak menghantam dinding yang keras itu.

“Lo masih berani datang ke sini? Gue udah bilang kalau lo harus menghilang atau mau gue hilangin nyawa lo di sini?”

Rivan mengancam sembari mencekik leher Namira.

“P-Pak … s-saya butuh uang … un-tuk hidup … sa-ya … ha-rus beker-ja … sa-ya, eng ….” Kalimat Namira terhenti karena kehabisan napas membuat Rivan melonggarkan cekikan di leher Namira.

Ternyata dia juga masih berpikir dua kali untuk membunuh Namira di sini.

“Saya … enggak akan lapor ke mana pun, Pak … uhuk … uhuk … uhuk!”

“Gue enggak peduli, lo harus resign … atau gue umpanin lo sama sekuriti atau OB di sini!”

Namira menatap lekat mata Rivan dan dia bisa melihat kalau ancaman pria itu sepertinya sungguhan.

Akhirnya kepala Namira mengangguk bersama derai air mata.

Rivan melepaskan Namira, tidak tersentuh sedikit pun hatinya pada Namira yang telah dia hancurkan hidupnya.

Dia harus menyingkirkan Namira sebelum perempuan itu memiliki kekuatan untuk melawannya.

Dengan langkah gontai, Namira keluar dari gedung kantor Mars Byantara Group.

Matanya menatap kosong ke depan, kaki Namira terus melangkah mengabaikan pegal di kaki yang terbalut heels tujuh centi meter.

Tidak mudah mencari pekerjaan di kota besar, dia mungkin tidak akan mendapat posisi seperti yang dia dapatkan sebelumnya.

Entah sudah seberapa jauh Namira melangkah sampai akhirnya kepalanya tiba-tiba menoleh ke samping.

Sebuah pengumuman lowongan pekerjaan terpampang di sebuah dinding kaca sebuah ruko usaha Laundry.

Kakinya melangkah ke sana, membaca dengan seksama setiap kata yang tertulis di pengumuman tersebut.

“Baru dipecat ya? Lagi butuh pekerjaan?” Seorang wanita paruh baya bertanya dari ambang pintu.

Namira menganggukan kepala dengan sorot mata sendu.

“Ayo, masuk.” Wanita itu menggiring Namira masuk ke dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status