Share

4.Mertua Matrealistis

Sejak kepergian Amel dan kedua anaknya yang secara diam-diam, tentu membuat riuh suasana di kediaman orang tua Candra, tempat dimana selama 3 tahun terakhir ini Amel dan anak-anaknya tinggal.

"Udah, biarin aja Amel pergi. Itu sudah keputusannya dia. Nggak perlu kamu cari lagi," tukas ibunya Candra.

"Tapi Amel bawa anak-anakku mak! biar gimana pun, aku tetap akan mencari mereka!" sahut Candra pada ibunya.

Ibunya mendengus kesal atas jawaban Candra.

Tahun ke tiga pernikahan Amel dan Candra, sang ibu pernah meminta Candra untuk meninggalkan Amel. Dengan alasan Amel tidak bisa menempatkan diri sebagai menantu di keluarga besar Candra. Namun itu hanyalah alasan sang ibu semata. Fakta yang terjadi tidak lain adalah masalah keuangan yang seluruhnya di kendalikan oleh Amel sebagai istri.

"Kalau aja kamu belum punya anak, emak sudah minta kamu ninggalin Amel!" ketus bu Yati pada Candra sang putra.

Candra tidak sedikit pun melakukan pembelaan terhadap Amel, ia hanya diam bag kerbau yang di tusuk hidungnya.

"Masa sama ibu mertua perhitungan banget!" imbuh bu Yati seolah hendak membakar emosi Candra.

Meski pada kenyataannya hal yang di ucapkan bu Yati tidaklah benar, tapi Candra tidak bisa membantah ucapan sang ibu.

****

"Mel, ibu mau bicara sebentar sama kamu!" tukas bu Yati saat Amel baru saja selesai memandikan kedua anaknya.

"Iya bu, ada apa?"

"Kamu ada pegang uang nggak? Ibu mau pinjam, buat modal dagang," ujar bu Yati tanpa basa-basi.

"Duh, yang kemarin-kemarin saja belum di balikin kok udah mau minjem lagi sih!" gerutu Amel dalam hati.

"Lha kok malah diem? ada nggak?" seru bu Yati.

"Memangnya ibu mau pinjem berapa? kalau banyak Amel nggak punya bu, akhir-akhir ini service-an elektronik lagi sepi bu," tutur Amel jujur.

"Ibu belum ngomong jumlahnya, kamu udah ngeluh ini dan itu!"

"Ibu mau pinjem 2 juta saja, kemarin dagangan ibu di sita sama polisi. Jadi ibu butuh modal awal lagi," tukas bu Yati tanpa beban.

"2 juta?" Amel membeo.

"Kok kaget dengan angka segitu aja!" pekik bu Yati.

"Ibu tau kok kalau penghasilan Candra cukup besar, dibanding penghasilan saudaranya yang lain!" imbuh bu Yati.

"Tapi bu, Amel nggak punya uang sebanyak itu. Ibu juga pasti lihat beberapa hari ini mas Candra tidak pergi bekerja karena memang tidak ada customer yang memanggilnya," jawab Amel.

"Kamu kok pelit sih Mel! ingat ya, Candra itu anakku! apa pun yang menjadi milik anakku, aku juga punya hak di dalamnya!" ketus bu Yati.

"Maaf bu, tapi Amel benar-benar nggak punya uang sebanyak itu saat ini," balas Amel jujur.

"Agh sudahlah! percuma minta sama kamu, cuma bikin emosi saja!"

"Candra dimana?" tanya bu Yati menanyakan putranya.

"Masih tidur bu, apa perlu Amel bangunkan?" tanya Amel masih berusaha sabar menghadapi sikap mertuanya itu.

"Sudah siang begini masih tidur! pantes aja rejekinya seret!" umpat bu Yati.

"Bangunkan Candra, ibu tunggu di teras," titah bu Yati.

Amel pun bergegas menuju kamar dan membangunkan Candra.

Beberapa menit kemudian, Candra menemui ibunya yang sudah menunggu di teras rumah.

"Ada apa mak?" tanya Candra yang masih terlihat mengantuk.

"Emak mau pinjem uang kamu 2 juta, buat modal dagangan," tukas bu Yati.

Candra terperanjat.

"2 juta? aku nggak punya uang sebanyak itu mak, sudah lebih dari satu minggu aku diem di rumah. Bahkan aku belum kasih uang belanja buat Amel," imbuh Candra.

"Kamu dan Amel sama aja! sama-sama pelit!"

"Emak bilang aku pelit? apa aku nggak salah dengar?" bantah Candra tidak terima disebut pelit.

"Apa emak udah lupa, sewaktu aku dan Amel masih di Medan dulu, emak pinjem uang ke Amel 3 juta tanpa seijinku? apa aku pernah mengungkitnya? bahkan aku memarahi Amel karena dia mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa sepengetahuanku!"

"Oh jadi kamu nyesal udah meminjamkan uang sama emak yang udah mengandung dan melahirkanmu!" bentak bu Yati.

"Aku nggak pernah menyesal membantu orang tua selagi aku mampu untuk membantu, tapi jangan bilang aku pelit, mak!"

"Diantara anak-anak emak yang lain, apa ada yang seroyal aku? bahkan dari masa aku belum menikah?"

Bu Yati tidak menyahut, sebab apa yang di katakan Candra memang telah ia rasakan.

"Emak nggak tau lagi harus minta tolong pada siapa, le...." lirih bu Yati menurunkan suaranya.

"Emak sudah janda dan kamu juga punya adik yang masih harus emak penuhi kebutuhan hidupnya. Meski mereka berdua bukan adik kandungmu," imbuh bu Yati memasang wajah sendu.

"Cuma kamu anak emak yang bisa emak harapkan, masa kamu tega sama emak?" tutur bu Yati.

"Sebelumnya aku udah pernah mengingatkan emak, jangan mencari rejeki dengan cara berdagang minuman keras. Banyak cara untuk mendapatkan rejeki yang tidak melanggar hukum agama maupun hukum pemerintah."

"Berapa kali aku sudah memberikan emak modal untuk berdagang, hasilnya apa? cuma disita sama polisi kan?" tukas Candra.

"Dan satu hal lagi mak, tolong berhenti meminjam uang ke rentenir maupun ke orang lain, kalau emak nggak yakin bisa melunasinya."

"Kamu jangan cuma bisa menasehati emak kalau tidak mau membantu!" bentak bu Yati.

"Kalau aku tidak pernah membantu emak sama sekali, emak boleh memarahiku bahkan boleh menyumpahiku. Sudah berapa kali aku membayar hutang emak pada rentenir dan orang-orang yang datang menagih hutang emak?"

"Aku cuma minta, jangan memaksakan diri untuk tetap berdagang kalau hanya mendapat kerugian," ucap Candra menurunkan suaranya.

"Sudah-sudah, emak cuma butuh uang sekarang bukan ceramah!" pekik bu Yati tanpa rasa bersalah.

Kejadian seperti pagi ini, bukan hal yang mengejutkan untuk Amel. Sejak ia menikah dengan Candra, bu Yati kerap berulah mengenai masalah uang dan uang.

Amel yang mendengar perdebatan antara anak dan ibu itu, hanya bisa menahan emosinya.

Amel selalu mengingat apa yang pernah Candra katakan mengenai sisi negative sang ibu. Bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan sang ibu, Candra hanya ingin Amel lebih mempertimbangkan jika sang ibu meminjam uang dengan jumlah besar.

"Meski dia orang yang melahirkanku, aku mau kamu tetap meminta ijin terlebih dulu kalau mau memberi pinjaman uang pada emak."

"Aku sudah punya kamu dan dua orang anak, yang harus aku pikirkan masa depannya."

"Aku lebih mengenalnya dibanding kamu, Mel," tutur Candra beberapa hari setelah perdebatannya dengan sang ibu.

Bagai memakan buah simalakama, Amel tidak tau harus berbuat apa. Sebab terkadang Candra juga akan memarahi Amel kala sang ibu meminjam uang namun Amel menolak.

Sifat Candra yang kerap berubah-ubah, membuat posisi Amel sebagai menantu pun semakin tersudutkan.

Terakhir kali bu Yati mencoba meminjam uang lagi pada Amel, namun kali ini dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Amel yang jenuh di persalahkan oleh Candra dan ibunya, akhirnya memberikan pinjaman itu tanpa memberitahukan terlebih dulu pada Candra. Bukan bermaksud tidak mematuhi Candra, namun Amel tak ingin menimbulkan pertengkaran lagi dengan Candra.

"Mas, tadi ibu datang," ucap Amel saat Candra baru saja terjaga dari tidurnya.

"Hem...." sahut Candra singkat.

"Tadi ibu pinjem uang lagi, 300 ribu," ucap Amel jujur.

"Kamu kasih nggak?" tanya Candra.

"Iya mas, kata ibu buat beli obat dan makanan," balas Amel.

"Kok kamu nggak ijin aku lagi sih Mel! kan aku udah pernah ingetin kamu, kalau emak pinjem uang ke kamu, kamu ijin aku dulu! kamu benar-benar bukan istri yang patuh sama suami!" bentak Candra.

Amel menghela nafasnya dengan kasar, ia tidak menyangka kalau Candra akan memarahinya kembali.

"Aku tuh kok selalu salah ya di rumah ini! kemarin waktu aku menolak, kamu marah dan mencaci maki aku!"

"Sekarang, aku turuti kemauan ibumu, kamu marah juga!"

"Sebenarnya kalian itu maunya gimana! seolah-olah kalian sengaja memperlakukan aku seperti ini," pekik Amel yang sudah habis kesabaran.

"Hey! kamu ngomong sama siapa! aku ini kepala rumah tanggamu! kamu nggak pantas membentak-bentakku!"

"Kalau kamu nggak terima dengan caraku, silahkan kamu cari laki-laki lain yang mau kamu bentak-bentak!" umpat Candra.

Amel terhenyak mendengar perkataan Candra yang teramat menyakitkan hatinya. Niat baik yang ia lakukan, ternyata tetap di anggap salah oleh Candra. Amel pun meninggalkan Candra yang masih emosi. Tiap kali Candra menghujaninya dengan kata-kata kasar, Amel hanya bisa memendam dan meluapkannya lewat air matanya.

Amel mengurung diri di dalam kamar mandi, sebab hanya ruangan itu saja yang bisa ia pakai untuk menangis agar tidak terlihat siapa pun.

"Kenapa aku begitu bodoh menerima semua perlakuan buruk mereka!" jerit Amel merutuki dirinya sendiri.

"Apa saja yang kulakukan tetap salah di mata mereka!"

Air mata Amel bercucuran di wajahnya, tiba-tiba ia teringat akan kedua orang tuanya yang telah tiada.

"Apa mungkin karena aku tidak lagi memiliki orang tua, jadi mereka berbuat seenaknya padaku!" umpat Amel dalam isak tangisnya.

Sejak berumah tangga, tak sekali pun Amel mau bercerita tentang apa yang telah ia alami kepada keluarga besarnya. Bahkan hingga Candra berselingkuh, Amel tetap bungkam.

"Dia laki-laki yang kupilih menjadi pendamping hidupku, seperti apa pun perbuatannya itulah resiko yang harus aku terima," kata-kata itu yang sudah terpatri di lubuk hati terdalam Amel. Terbongkarnya perselingkuhan Candra pada keluarga Amel, justru yang memberitahukannya adalah Candra sendiri. Sebab Amel pergi membawa kedua anak mereka.

****

Lebih dari satu pekan, bu Yati belum mengetahui perbuatan anaknya yang telah berselingkuh. Baik Candra maupun Amel tidak ada yang membuka suara pada bu Yati. Sampai pada suatu hari, adik kandung Candra memberitahukan kalau sang kakak dan istrinya kerap bertengkar mulai terbitnya matahari hingga tenggelam di ufuk Barat.

"Amel, ibu mau bicara sama kamu," tukas bu Yati setelah mengetahui pertikaian antara Candra dan Amel.

Amel duduk tanpa menjawab.

"Apa benar berita yang ibu dengar?" tanya bu Yati.

Amel sudah bisa menebak arah pembicaraan sang mertua.

Amel mengangguk.

"Lalu bagaimana kelanjutannya?" tanya bu Yati lagi.

"Amel nggak tau bu, apa yang sudah di lakukan mas Candra bukan hanya menyakiti Amel sendiri tapi juga hati kedua anak-anak Amel," jawab Amel menatap lantai ubin.

"Apa Candra sudah mengakuinya?"

"Sudah bu...."

Bu Yati menghela nafasnya, ia tidak menyangka jika anak lelakinya itu mengulang kesalahan yang sama seperti yang pernah kakaknya lakukan beberapa tahun silam. Bahkan hingga saat ini, sang kakak masih kerap bergonta-ganti pasangan meski ia sudah memiliki anak dan istri.

"Apa kamu mengijinkan Candra seperti itu?" tanya bu Yati.

"Tentu tidak bu! istri mana yang mau di madu? kalau memang dia sudah tidak mau melanjutkan pernikahan ini, seharusnya dia mengembalikanku pada keluarga besarku di Medan, sama seperti waktu dia memintaku menjadi istrinya 8 tahun yang lalu!" ucap Amel sudah tak lagi menjaga tutur katanya.

Bu Yati bergeming, ia tak tau harus mengatakan apa lagi. Sebab saat ini anaknya lah yang bersalah.

"Amel sudah putuskan, Amel akan meminta cerai dari dia," ucap Amel dengan tegas.

"Pikirkan baik-baik sebelum kamu mengambil keputusan. Kalian sudah di karuniai dua orang anak. Anak-anak kalian masih kecil, bagaimana dengan nasib mereka nanti?"

"Apa hanya Amel yang ibu minta untuk memikirkan nasib anak-anak?"

"Apa Candra memikirkan bagaimana nasib anak-anak sewaktu dia memilih untuk berselingkuh!" Amel benar-benar tak lagi merasa sungkan untuk berkata lantang di depan bu Yati.

"Ibu tau kalau yang bersalah saat ini adalah anak ibu, tapi tolong kamu pertimbangkan lagi keputusanmu untuk bercerai dari Candra," tutur bu Yati.

"Bukannya dari dulu, hal ini yang kamu mau!" bisik hati Amel, yang kembali teringat akan permintaan bu Yati pada Candra.

"Ibu berharap, kamu bisa memaafkan kesalahan Candra dan bersabar untuk menjalani cobaan ini," nasehat bu Yati.

"Cara satu-satunya untuk bisa memaafkannya hanya dengan perpisahan bu," jawab Amel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status