Share

3.Pelakor Yang Keji

"Kapan kita akan jadi orang kaya, kalau kamu tidak mengijinkanku untuk menikah lagi?" tukas Candra tanpa rasa malu.

"Astagfirullah...." gumam Amel, menatap lekat pada kedua netra Candra.

"Kamu tau kan, di agama kita laki-laki di perbolehkan menikah lebih dari satu kali, selama dia mampu?" imbuh Candra mencari pembenaran atas perbuatan dzolim-nya.

"Apa kamu sudah merasa mampu?" tanya Amel ketus.

"Ya, aku memang yakin mampu," jawab Candra dengan entengnya.

"Candra! Lihat aku!" titah Amel.

"Kamu lihat saat ini aku dan anak-anakmu tidur dimana?" tukas Amel penuh penekanan.

Candra tidak menjawab.

"Kenapa diam!"

"Apa kamu malu dengan ucapan kamu yang tadi, yang mengaku sudah mampu?"

"Aku dan kedua anakku saja, masih tidur di rumah ibumu!"

"Dimana aku harus banyak bersabar dengan sifat ibumu yang juga kerap membuat masalah! karena aku dan anak-anakku masih menumpang di rumahnya!" tutur Amel tanpa jeda.

"Tapi kamu juga harus tau satu hal lagi Amel, di agama yang kita anut, juga memperbolehkan seorang laki-laki menikah kembali jika ia merasa belum mampu untuk menjadi sukses," ujar Candra.

"Hal bodoh apa lagi yang kamu mainkan untuk membohongiku Candra!" ketus Amel.

"Meskipun aku seorang mualaf, tapi sedikit banyaknya aku mengerti tentang syarat mutlak poligami!" jawab Amel dengan lantang.

"Kamu nggak percaya? Oke, akan aku tunjukan bukti ucapanku," ujar Candra lalu membuka sebuah aplikasi di ponselnya mengenai persyaratan untuk seseorang yang akan berpoligami.

"Kamu baca ini," titah Candra.

Amel tak berminat untuk membaca, Candra pun menjabarkan apa yang tertera di layar ponselnya.

"Dengarkan baik-baik," titah Candra.

"Apabila kamu merasa belum mampu untuk meraih kesuksesanmu, maka menikahlah," ucap Candra membacakan isi dari artikel tersebut.

"Itu di khususkan bagi yang belum menikah! Tapi bagi yang sudah, di perbolehkan dengan syarat mampu!" jawab Amel dengan lantang.

Atas dasar isi artikel itu, Candra bersikeras bahwa ia bisa menikah lagi meski dirinya belum di kategorikan mampu. Ia menjadikan itu salah satu senjata, untuk memperkuat alasannya menikah lagi.

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tangga kita selama 8 tahun ini, tapi kalau memang kamu tetap bersikeras dengan kemauanmu, aku tidak akan melarangmu lagi. Tapi sebelumnya aku mohon dengan sangat, tolong ceraikan aku dulu," ucap Amel memohon dengan suara tertahan.

Candra tidak menyahuti, ia beranjak dan keluar dari dalam kamar lalu duduk di sofa ruang tamu. Tidak sedikit pun raut penyesalan dari wajah Candra. Justru ia semakin menjadi-jadi tatkala ia meminta ijin pada Amel untuk menginap di rumah wanita itu, beberapa hari setelah perdebatan mereka.

"Nanti malam, aku keluar sebentar ya bunda?" ucap Candra pada Amel sesaat mereka menyelesaikan makan siang.

Hati Amel bag tertusuk belati mendengar permintaan Candra tuk pertama kalinya, pasca terbongkarnya perselingkuhan dirinya dengan wanita panti pijat tersebut.

"Apa kamu masih membutuhkan ijin dari aku? Bukannya selama ini keberadaanku disini hanya untuk merawat anak-anak saja?" balas Amel tanpa menatap lawan bicaranya.

"Jangan ngomong gitu dong bunda, kamu itu istriku," ujar Candra mengelus puncak rambut Amel namun dengan cepat di tepis oleh Amel.

"Aku bukan istrimu lagi, saat ini alasan satu-satunya aku masih disini itu cuma kedua anakku."

"Kalau kamu mau pergi, bahkan kalau kamu minta untuk tinggal bersama wanita itu, silahkan."

"Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal apa pun saat ini, selain kedua anakku!" ucap Amel lalu masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Candra yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya.

Amel seakan sudah mati rasa pada Candra, sebab Candra benar-benar tidak lagi menghargai keberadaannya di rumah itu. Candra yang kerap berkirim pesan dengan wanita itu pada saat di rumah, bahkan terkadang Candra tidak menghiraukan saat Galang mau pun Ruby menyapanya. Ia terlalu fokus menjaga hubungannya dengan wanita itu, hingga ia lupa untuk memperbaiki hubungannya yang hancur dengan Amel dan juga kedua anaknya.

Hari berganti hari, kondisi rumah tangga Amel dan Candra semakin tidak sehat lagi. Amel yang tidak mau bertegur sapa lagi dengan Candra, membuat Candra terkadang emosi.

"Kamu itu kenapa sih? Tiap di tanya, nggak mau jawab!" pekik Candra suatu ketika.

Amel tak menoleh dan tetap diam bag lantai ubin.

"Kalau kamu begini terus, gimana aku bisa betah di rumah!" bentak Candra.

"Apa keperluanmu tidak aku sediakan?"

"Apa aku tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri?"

"Apa aku tidak melayanimu dengan baik?"

Kata-kata itu akhirnya Amel lontarkan dengan wajah tanpa ekspresi.

"Jadi menurutmu, mendiamkan suami itu baik!" seru Candra.

"Apa kamu masih butuh mendengar suaraku?" sarkas Amel tersenyum sinis lalu meninggalkan Candra.

Jantung Amel berdetak kencang, telapak tangannya mendadak dingin setelah ia berkata demikian pada Candra. Segala kemurkaan di hatinya, ia pendam.

Dua bulan setelah terungkapnya perbuatan Candra, Amel sudah memantapkan hatinya. Ia akan pergi sejauh mungkin dari Candra, ia akan membawa kedua malaikat kecilnya. Bermodalkan keyakinan bahwa ia pasti mampu membesarkan kedua anaknya, meski tanpa laki-laki itu lagi. Selama dua bulan itu, Amel masih berharap kalau Candra akan meninggalkan wanita itu ternyata harapan tinggal harapan. Candra dan wanita itu justru mengelabui Amel dengan membuat surat nikah siri palsu atas saran dari wanita itu. Wanita itu mengurus surat nikah siri palsu, agar Amel tidak lagi melarang Candra untuk menginap di kediamannya.

Amel yang awalnya percaya, mau tidak mau membiarkan Candra pergi ke rumah wanita itu di kala kedua anaknya sudah tidur pulas. Hati Amel tercabik-cabik atas perbuatan mereka berdua. Sampai pada suatu hari, sahabat Candra yang juga mengenal baik Amel tanpa sengaja mengatakan jika surat nikah siri yang Candra jadikan bukti itu adalah palsu. Pengakuan itu keluar dari mulut Candra sendiri pada sahabatnya yang bernama Imam.

"Serius mas? Surat nikah siri itu akal-akalan mereka?" tanya Amel terperangah saat Amel sudah berhasil minggat bersama kedua anaknya.

"Iya mbak, Candra mengakuinya sendiri. Dan yang mengurus surat palsu itu, perempuan itu juga," tutur Imam melalui sambungan telepon pada Amel.

Kemarahan Amel kembali memuncak, namun ia tak ingin Imam mengetahuinya. Sebab Amel masih harus mencari beberapa informasi, yang nantinya mungkin ia butuhkan kalau ia berniat menggugat Candra.

-Flashback off-

"Bunda, tadi bu guru di sekolah nanyain Galang mengenai pekerjaan orang tua," tukas Galang saat ia baru saja tiba di rumah.

"Terus, Galang jawab apa nak?" tanya Amel mendengarkan dengan serius.

"Galang bilang ke ibu guru, kalau bapak sudah meninggal dan bunda kerja sebagai penulis," jawab Galang apa adanya.

"Astagfirullah, kenapa Galang bilang bapak udah meninggal nak?" tanya Amel mengerutkan keningnya.

"Bagi Galang, dia memang sudah mati."

"Gara-gara dia, Galang sering di bully di sekolah."

"Gara-gara dia, Galang harus berpikir dewasa sebelum waktunya," tutur Galang setengah meninggikan suaranya.

"Tapi nggak boleh gitu juga nak, seperti apa pun perbuatannya pada kita, dia tetap bapakmu," ujar Amel menasehati.

"Nggak!"

"Bahkan kalau dia mati pun, Galang nggak akan mau mengangkat jenazahnya dan nggak bakal mau mendoakannya!" pekik Galang lalu tak lama ia menangis tersedu-sedu.

"Jangan gitu nak, kalau kamu seperti itu, kamu yang dosa lho. Biarkan dia menanggung dosanya sendiri, kamu cukup jadi anak yang berbakti pada kedua orang tua. Karena itulah tugas seorang anak," nasehat Amel, sembari memeluk putra sulungnya yang sudah menginjak usia 7 tahun itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status