Calia menatap Lukas lebih dalam sebelum memastikan pria itu mendengarkan dengan seksama jawaban yang akan diucapkannya. “Kau tahu jawabannya, Lukas.”Kekecewaan melintasi wajah Lukas akan keyakinan di kedua mata Calia. “Lucius bisa saja memalsukan data mereka untuk membalas kita berdua. Ck, kau pasti tak terkejut dengan keposesifannya, kan. Dia bahkan tidak menceraikanmu hanya karena tak ingin kau menjadi milik pria lain. Tak sudi untuk menyentuhmu tapi juga tak ingin membuangmu.”Calia lebih dari tahu untum yang satu itu. Tapi ia bahkan tak keberatan, setidaknya baginya semua hukuman itu sebagai bentuk rasa bersalahnya terhadap apa yang sudah mereka lakukan di belakang Lucius. “Ya, mungkin saja Lucius bisa melakukan itu.”Ujung bibir Lukas menyeringai.“Ketika mengetahui diriku hamil. Aku sempat merasa ragu apakah anak ini miliknya atau bukan. Aku tertekan oleh rasa bersalahku untuk kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku.” Calia menatap lurus kedua mata Lukas. Memasti
Setelah menyiapkan pakaian ganti untuk Lucius, Calia gegas pergi ke kamar si kembar untuk memastikan kedua buah hatinya tersebut sudah bangun dan bersiap ke sekolah. Rupanya dua pengasuh yang dipekerjakan oleh Lucius melakukan tugasnya dengan baik. Membangunkan Zsazsa dan Zaiden dan saat ia muncul, kedua anaknya sudah rapi dengan seragam baru mereka. Begitu pun dengan peralatan sekolah mereka. Mulao dari sepatu, tas, dan semua kebutuhan keduanya.Zsazsa menyambutnya dengan riang dan memeluknya. Sedangkan Zaiden terlihat tenang seperti biasa. Memegang tangan sang mama dan ketiganya pun turun untuk bergabung di meja makan. Kecuali Lucius, semua orang di rumah ini sudah duduk di kursi masing-masing. Termasuk Divya dan adik perempuan Lucius, Leana. Keduanya tampak kompak menatap kemunculannya dengan raut tak suka. Ya, Leana dan Divya memang berteman sejak kecil. Alasan yang bagus bagi Leana untuk tidak menyukainya.Sejenak pandangannya bertemu dengan Rhea dan Lukas yang duduk di samping C
“Kau kembali?” Calia terheran melihat Lucius yang kembali ke kamar perawatan Zayn. Ia pikir pria itu akan langsung ke kantor setelah mendapatkan hasil tesnya dari dokter yang tak akan mengubah apa pun. Seberapa pun keras kepalanya Lucius, dokter jelas tak akan membahayakan nyawa pasiennya.Lucius mengangguk, menyandarkan tubuhnya di ranjang dengan kedua tangan bersilang dada dan menatap sang putra lama kemudian beralih pada Calia.Calia yang tak tahan dengan tatapan lekat Lucius akhirnya memilih bersuara lebih dulu. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”“Kau berpikir aku tak sanggup menyelamatkan nyawanya?”“Aku tak pernah meragukan usahamu, Lucius.”Ujung bibir Lucius tersenyum. “Aku sudah bicara dengan dokter.”Kedua alis Calia menyatu. Ya, pria itu pergi sudah satu jam yang lalu. Jika tidak pergi ke kantor, pasti ada banyak pembahasan yang Lucius bicarakan. “Mengenai kemoterapi Zayn besok?”Lucius mengangguk. “Salah satunya.”Calia tak mengatakan apa pun. Jika sebelumnya ialah yang s
Setelah menyuapi dan membacakan cerita untuk Zayn, putranya itu akhirnya kembali terlelap ketika jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 2 siang. Caleb mengirim pesan akan menjemput Zsazsa dan Zaiden jadi memintanya untuk menghubungi sopir yang diutus Lucius dan membiarkan kedua anaknya ikut bersama sang paman untuk makan siang dan akan membawa mereka ke rumah sakit. Ia tengah melamun dengan tangan menggenggam tangan Zayn yang ditempeli jarum infus ketika pintu ruangan diketuk dari luar. Calia memutar kepalanya dan menatap lubang kaca di tengah pintu. Sepertinya seorang pria melihat setelan jas berwarna biru gelap yang dikenakan orang itu. Lucius tak mungkin mengetuk pintu dan Caleb sedang bersama si kembar.Wajah Calia segera memucat menyadari siapa yang tengah berdiri di balik pintu tersebut. Ia sudah bangkit berdiri, mencegah pria itu masuk. Namun terlambat, pintu sudah digeser terbuka dan Lukas melangkah masuk.“Apa yang kau lakukan di sini, Lukas?” Calia menghadang
“Aku sama sekali tak memiliki masalah dengannya, Lucius.”Wajah Lucius mengeras. “Kalian bertemu di rumah sakit.”“Caleb memintaku untuk memberikan berkas padanya.”“Dan dia datang ke sini untuk mengambilnya?” sinis Lucius dengan kekesalan yang semakin menumpuk.“Dia sedang ada urusan di sekitar sini.”“Kau pikir ini sebuah kebetulan?”Calia mendesah pelan. “Aku tak peduli ini sebuah kebetulan atau tidak, Lucius. Tapi kau tahu ini hal yang berbeda. Tidak bisakah kau memisahkan hal ini?”“Kau istriku, Calia.”“Ya. Dan pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita.”“Apa?” Mulut Lucius menganga tak percaya dengan pernyataan tersebut.“Aku mendapatkan pekerjaan ini untuk bertahan hidup dan aku menyukai pekerjaanku. Tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu milik Alex Morgan atau fakta bahwa kalian saling bermusuhan. Apakah alasan itu tidak cukup bagimu membiarkan hal ini?”Lucius bergeming, menatap lurus ke kedua mata sang istri.“Delapan tahun, Lucius. Aku berusaha memperta
Lucius menoleh ke samping, menatap sisi wajah Calia yang dipucati kecemasan. Kedua tangan wanita itu saling meremas di pangkuan, tak berhenti menatap pintu putih di depan mereka sambil menggigit bibir bagian dalam. Ia pun tak kalah cemasnya dengan Calia, membuatnya mau tak mau membayangkan ketika wanita itu menghadapi semua ini seorang diri.Calia tersentak pelan ketika tangan Lucius menyentuhnya. Membawa kedua tangannya dalam genggaman pria itu. Kepalanya berputar perlahan, menatap Lucius yang juga menatapnya.“Kau bilang dia anak yang kuat, kan?” gumam Lucius rendah. Menambah tekanan dalam genggamannya dan ujung bibir yang tersenyum. “Dia pasti bisa melewatinya kali ini.”Kata-kata Lucius perlahan menguatkan hatinya. Ia mengangguk pelan dan merasakan dukungan yang besar merangkulnya. Salah satu tangan pria itu bergerak merangkul pundaknya. Membawa tubuhnya bersandar pada pria itu. “Ya. Dia terlihat rapuh dan lemah tetapi selalu berhasil menguatkanku.”“Dia selalu menguatkan kami se
"Kau hanya pamannya, Caleb. Aku ayah kandungnya. Hakmu tak akan lebih besar atasku. Bahkan untuk delapan tahun penuh kebohongan kalian.""Kau tak menjawab pertanyaanku." Caleb lalu mendengus mengejek. "Jangan gunakan alasan ini hanya untuk mengikat Calia dengan pernikahan kalian yang seperti cangkang kosong."Lucius sama sekali tak terpengaruh dengan ejekan tersebut. Lebih karena genggaman tangan Calia di lengannya yang semakin menguat. "Kau tak akan mendapatkan jawaban yang kau inginkan dariku, Caleb. Kau hanya perlu tahu Zayn akan menjadi tanggung jawabku dan keinginanku agar dia sembuh, tak akan melebihi keinginanmu.""Dia sudah seperti anakku.""Aku bisa melihatnya. Tapi … kau bukan ayah kandungnya, kan?"Wajah Caleb mengeras. Pandangannya menajam dan kedua tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuh. Jika tak ingat mereka tengah berada di ruang perawatan Zayn, bisa ia pastikan tubuhnya sudah melayang ke arah Lucius dan mendaratkan satu tinjunya tepat di hidung sang ipar."Caleb?"
"Apa kau juga tak akan memberitahuku apa yang coba direncanakan oleh Lucius?" tanya Caleb begitu Lucius keluar karena mendapatkan panggilan dari seseorang. Sesaat ia yakin pria itu mendapatkan panggilan yang mencurigakan melihat ketegangan yang sempat muncul di wajah sang ipar, tapi ada satu hal yang masih mengganggunya yang harus ia dapatkan dari Calia."Aku percaya padanya, Caleb. Dia tidak akan membahayakan anak kami." Calia memastikan suaranya terdengar normal."Ck," decak Caleb akan kata sang adik yang menggunakan kata 'anak kami'. "Sepertinya hubunganmu sudah membaik dengannya, kan?"Calia menghela napas rendah. "Apakah itu buruk?""Kau seharusnya tak semudah itu memaafkannya, Calia.""Dialah yang memberiku kesempatan, Caleb. Kau tahu apa yang sudah kulakukan padanya."Caleb terdiam, meski sorot matanya tetap tak terima dengan Calia yang selalu lebih membela Lucius. "Tetap saja ...""Aku mengkhianatinya. Akulah yang menghancurkan pernikahan kami.""Tapi kau tetap tak berhak deng