Melihat secarik kertas yang melayang ke arahnya, Angkasa menunduk dan mengambil secarik kertas itu, setelah melihatnya dia mengerutkan keningnya. "Kamu …" ekspresi terkejut terlihat dari tatapan mata Angkasa. "Apakah ini milikmu? Kamu hamil?"
"Hahaha …" Tasya yang mendengar pertanyaan konyol itu kemudian tertawa, air mata yang mengalir tak terasa dari sudut matanya membasahi pipi manisnya. "Apa kamu buta? Lima tahun lalu aku telah menjelaskannya padamu, tapi kamu tetap tidak percaya padaku!" Suara bergetar seakan menahan rasa sakit di hatinya. "Tidak peduli bagaimana aku berusaha merebut hatimu, kamu tidak pernah melihatnya. Bahkan, sekarang cinta pertamamu akan memberimu seorang anak," ujarnya dengan senyuman yang menyakitkan tersungging di bibirnya.Melihat ekspresi wajah Angkasa yang datar, Tasya kembali berkata dengan gemetar. "Angkasa, aku memang mencintaimu, tapi aku juga punya harga diri! Aku akan menggugurkan anak ini. Hubungan di antara kita sudah berakhir," timpalnya yang kemudian membalikkan badan dan berlari meninggalkan tempat itu.Mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Tasya, tatapan mata Angkasa berubah menjadi gelap. Pria itu melangkah dengan cepat ke arah Tasya dan menahannya. Dia memeluk Tasya. "Tasya, kamu kira siapa dirimu?" Sudut bibir Angkasa berdekatan dengan telinga Tasya. "Yang memaksaku menikahimu itu kamu, sekarang yang mengatakan tidak ingin anak itu juga kamu. Kamu kira aku ini tidak punya perasaan?" Suaranya yang mendominasi membuat tubuh Tasya bergetar. "Seorang lelaki, dipermainkan seperti ini olehmu? Aku tegaskan, kehidupan anak ini, aku yang menentukan!""Angkasa, lepaskan aku!" Tasya berontak dengan kuat mencoba melepaskan diri. "Ini adalah anakku, tidak ada hubungannya denganmu!" timpalnya seraya memegang lengan Angkasa, namun dia tetap tidak bisa melepaskan diri dari pelukan Angkasa. "Lepaskan!"Mendengar ucapan itu, Angkasa tersenyum. "Anakmu? Tentu tidak!" ujarnya memegang perut Tasya. "Ada aku disini, bagaimana itu bisa menjadi anakmu seorang? Tasya, sebaiknya kamu jangan memancingku!" Mata Angkasa yang indah itu menyipit, aura dinginnya menyelubungi sekelilingnya, membuat Tasya merasa tertekan. "Atau aku …"Kring~~ Kring~~Tiba-tiba bunyi telepon Angkasa berdering.Angkasa mendengus pelan, dia melepaskan satu lengannya untuk mengambil ponsel dari sakunya. Dan, tangan satunya memegang Tasya dengan kuat.Merasakan genggaman tangan Angkasa yang kuat, Tasya berontak sembari meringis kesakitan. Sebagai seorang wanita dan calon ibu, dia merasakan Angkasa masih sedikit memperhatikannya.Tatapan wajah Angkasa mendadak menegang. "Apa katamu? Angelina ingin bunuh diri? Awasi dia, aku segera ke sana!"Mendengar suara Angkasa, pikiran Tasya yang sedikit hangat itu perlahan mulai dingin kembali.Angkasa menatap wajah Tasya dengan datar. "Tasya, kamu pulang dulu, aku akan jelaskan padamu nanti," pria itu melepaskan genggamannya dan mematikan teleponnya. "Ada hal penting yang harus aku lakukan."Kening Angkasa berkerut dengan kuat, tatapan matanya jelas menyiratkan kekhawatiran, kepanikan dan emosi, namun semua itu bukan ditujukan untuk Tasya.Tasya mendorongnya dengan kuat, dia menatap erat ke arah mata Angkasa yang indah itu. "Urus saja urusanmu, lagipula dia memang lebih penting bagimu!" suaranya begitu dingin. "Tidak perlu memperdulikanku dan anak ini!"Angkasa masih ingin berkata sesuatu, namun akhirnya dia tidak mengatakannya. Dengan cepat Angkasa berjalan ke luar rumah sakit dan memanggil sebuah taksi.Melihat kepergian Angkasa, Tasya hanya bisa tertawa pahit. 'Di saat seperti ini, dia malah memikirkan wanita lain? Pernikahan seperti ini, haruskah aku pertahankan?'***Setelah sampai di rumah, Tasya berjalan dengan hati yang remuk menuju kamarnya."Selamat datang, Nona," pembantunya menyambut Tasya, namun dia berlalu tanpa menoleh sedikitpun.Saat Tasya sampai di depan pintu kamar, dia memandangi pintu itu cukup lama, kemudian membuka kamar yang selama lima tahun ini dia idamkan. Kamar itu berwarna cream dengan corak yang sangat indah, dimana dia tidak pernah bisa menempati kamar itu. Tiba-tiba, dia merasa keberadaannya seperti orang bodoh yang terlalu berharap. Sementara itu, pernikahannya terasa seperti adegan yang kompleks, yang sampai saat ini harus disudahi.Tasya memutuskan untuk menunggu Angkasa semalaman. Selama menunggu, dia tidak sekalipun mencoba untuk meneleponnya. Sikap dingin semacam ini terus menghujam hati Tasya."Anakku, maaf, Mama tidak bisa memberikanmu keluarga yang utuh," Tasya mengusap perutnya yang sudah beranjak tiga bulan itu. "Tapi, kamu tenang saja, Mama akan berkali-kali lipat menyayangimu," Tasya tersenyum penuh dengan kehangatan. "Mama akan menggantikan kasih sayang Papa yang akan menghilang," Wajah Tasya bersimbah air mata.Tasya mengambil tasnya yang terletak di atas kasur, dia mengeluarkan secarik kertas dan mengambil sebuah pulpen. Tinta hitam itu menari di atas kertas putih dengan rasa sakit yang tercampur di hatinya. Sebuah nama terpampang dengan jelas di atas kertas putih itu, Tasya Ziudith.Tasya telah menandatangani surat cerai yang baru saja selesai dibuat.Setiap huruf terasa seperti menggores hatinya, mengalirkan darah segar di atas kertas berlumurkan tinta itu. Tasya telah menandatanganinya, lalu dia melepaskan cincin kawin yang diberikan Angkasa padanya, diletakkannya di atas surat cerai itu. Cincin yang pernah dia anggap sebagai barang berharga miliknya.Selama lima tahun ini, cincin itu telah meninggalkan bekas pada jemarinya. Sampai ketika dilepaskan saat ini, bekas itu masih ada, sama seperti cintanya pada Angkasa, menyisakan bekas yang mungkin tidak bisa dihapuskan olehnya.Tasya yang takut dia berubah pikiran, takut hatinya kembali melembut, wanita itu pun membulatkan tekad untuk segera pergi meninggalkan rumah itu."Nona, kondisi kesehatan Nona Angelina sedang buruk, Tuan Angkasa akan selalu menemaninya," ucap seorang pria berpakaian hitam yang tiba-tiba datang menghampirinya. "Tuan Angkasa memerintahkan kami untuk mengantar Nona ke luar negeri, kita harus berangkat sekarang."Mendengar itu, Tasya melirik ke arah pengawal Angkasa yang tiba-tiba datang ke dalam kamar. "Atas dasar apa menyuruhku ke luar negeri? Aku tidak mau!""Maaf, Nona, Tuan Angkasa telah mengatakannya, ini bukan pilihan Anda," tatapan pengawal itu menjadi dingin.BUK!Tiba-tiba, pengawal itu mendekat dan memukul Tasya hingga pingsan, pengawal itu kemudian menggendong tasya ke dalam mobil.Di sebuah rumah pinggiran kota.Daerah ini sangat sepi, jarang sekali orang-orang melewati jalan ini. Tasya yang sedang dalam keadaan pingsan di bawa ke dalam kamar di rumah itu. Saat sedang tak sadarkan diri, pakaian Tasya dilepas, seorang pria berbaring di sebelah tubuhnya dengan telanjang dada.Sebuah benda yang terlihat mencolok terus menyala, setiap gerakan tak senonoh itu terekam satu persatu."Nona Angelina, semua sudah dilakukan dengan baik," begitu selesai melakukannya, pria itu langsung menelepon Angelina."Hahaha …" Angelina menjawab sambil tertawa dingin. "Bagus!" Suaranya terdengar sangat puas. "Setelah ini sebarkan ke internet, dan aku percaya Angkasa tak akan mau lagi mempunyai istri yang mencoreng namanya. Hilangkan segala bukti!""Baik," setelah pria itu menutup telepon, dia segera menyiramkan bensin ke sekeliling gudang itu dan melemparkan sebuah korek gas.Dalam sekejap, api menjalar dan mulai melahap seisi bangunan, kepulan asap terlihat membumbung tinggi.Ketika Tasya baru sadar dari pingsannya, sekelilingnya sudah menjadi lautan api. Asap yang tebal membuatnya tak bisa membuka mulutnya, api semakin menjalar dan menjilat-jilat ke arahnya."Tolong! Tolong!" Tasya tidak memedulikan tubuhnya, dia segera meraih sebatang kayu yang patah di sampingnya untuk memukul-mukul pintu rumah itu, namun yang terdengar justru adalah suara sang penjaga."Nona, maaf, ini adalah perintah dari Tuan Angkasa," sebuah senyuman picik termpampang jelas di wajah pria itu. "Pergilah dengan tenang, Tuan Angkasa akan membuatkanmu sebuah nisan yang indah."Mendengar suara itu, Tasya terdiam gemetar. 'Angkasa ingin aku mati? Mengapa?' Rentetan pertanyaan mulai membanjiri seisi kepalanya. 'Apa karena aku dan Angel sama-sama hamil? Atau dia ingin memberikan nama Nyonya Angkasa pada Angelina, sehingga anak mereka dapat lahir tanpa masalah?'"Angkasa, pria brengsek!"'Bahkan kamu tak memikirkan darah dagingmu sendiri?' Tanpa disadari, air matanya membasahi seluruh pipi manisnya.Di tengah kesedihan, Tasya tiba-tiba berteriak. "Angkasa, aku benci kamu! Seumur hidup aku telah buta, mencintai pria sekejam dirimu. Kalau ada kehidupan berikutnya, aku akan membuatmu merasakan dibunuh oleh orang yang kamu cintai sendiri!"Api yang berkobar menelan suaranya, diahanya merasakan sesak yang hebat, matanya memerah. Wanita itu tak sanggup lagi bertahan, dia hanya bisa terduduk dengan lesu. Membiarkan api melalap raganya …Enam tahun kemudian ...."Tuan Angkasa, ini adalah dokumen yang kita terima dari Star Company, Prancis. Dan, kebetulan orangnya telah sampai di Bandung," Ethan menatap Angkasa yang sedang menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong. "Tuan, apakah kita mau menyuruh orang untuk menjemputnya?"Seorang pria duduk di atas kursi kerjanya dengan tatapan kosong memandangi ke arah jendela luar kantor. Dari belakangnya, seorang pria berjalan menghampiri dengan membawa beberapa dokumen di tangannya. Ethan Daniel, asistennya memberikan sebuah dokumen berisi data pribadi seseorang kepada Angkasa.Angkasa sama sekali tidak menghiraukan Ethan. Melihat tuannya yang terdiam tanpa jawaban, Ethan kembali berkata dengan raut wajah yang bingung. "Kudengar, desainer ini sangat terkenal di luar negeri, hasil rancangan fashionnya sangat sulit didapatkan. Kalau bukan karena mereka bekerjasama dengan Star Company kali ini, mereka pasti tidak akan meminta desainer itu ke tempat kita untuk mengadakan pelatihan
Dalam hati Tasya tertawa dingin. Saat ini wajahnya dengan yang dulu jauh berbeda. Dia masih ingat rasa sakit yang tak tertahankan ketika api membakar kulitnya, masih ingat bagaimana dia harus menahan sakit selama sembilan bulan demi menjaga anak dalam kandungannya, dan setelah melahirkannya barulah dia menjalankan operasi plastik.Siang dan malam, dia selalu dihantui mimpi buruk, dan setiap mengungat itu, air matanya membasahi bantalnya. Saat ini dalang dari kecelakaan yang menimpanya ada di depan matanya. Wanita itu tak tahan lagi ingin mencabik-cabik wajahnya, merobek hatinya dan melihat sebenarnya apa isi hatinya itu, dan yang lebih ingin dia tanyakan adalah, apakah dia punya hati?Tangan Tasya menggenggam ponsel sambil sedikit gemetar. Dia menatap raut wajah Angkasa yang dingin, berkata sambil tersenyum. "Maaf, barusan aku sungguh tidak melihatmu," Tasya sedikit menundukkan kepalanya. "Jas milikmu jadi kotor karena minuman yang aku bawa. Lebih baik aku ganti yang baru, bisakah aku
Mata Zayn bersinar kegirangan, namun dia tetap berkata sambil berpura-pura menangis. "P-paman, aku akan keluar, tapi jangan pukul aku ya?" suaranya bergetar seakan-akan dia ketakutan. "Anggap saja kamu sedang dipipisi oleh anakmu sendiri. Aku benar-benar tidak sengaja. Juga jangan beritahu Mama, ya? Dia akan menghajarku!" Zayn terus berkata sambil mengeluarkan nada tangis pura-puranya itu.Angkasa kembali terdiam membeku dan menghentikan apa yang sedang dilakukannya. 'A-anak sendiri?''Jika Tasya tidak meninggal, mungkin anakku juga sebesar ini sekarang?' Angkasa menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.Pria itu tidak pernah terlihat begitu menyedihkan, rambutnya basah dan menempel di dahinya, kedua matanya yang menekuk ke atas memancarkan kemarahan.'Mata bocah itu ….' Mendadak Angkasa sadar bahwa anak itu juga memiliki sepasang lipatan mata yang sama persis dengan miliknya.Pantas saja, dia merasa anak itu tidak asing, ternyata karena kedua matanya. Di seluruh Bandung, orang yang
'A-Apa maksudnya ini?'Mata indah Zayn memerah, ingin rasanya dia membakar wajah Angkasa yang muncul di layar komputer itu.Tampaknya, dia memberi pelajaran terlalu kecil di bandara tadi. Zayn mengeluarkan sebuah kamera dari saku bajunya, lalu memasukan SDCard ke komputer. Anak kecil itu segera mengupload video berisi Angkasa yang dipipisi olehnya tadi.Setelah selesai, Zayn tersenyum, dia kembali menyelidiki sejenak tentang David, didapatinya ternyata dia bersekolah di TK Semesta."Sepertinya Taman Kanak-kanak di Bandung cukup bagus."Zayn tersenyum getir, setelah dia menghapus jejak di komputer itu dengan bersih, anak kecil itu mematikan komputer lalu bangkit berdiri dan mulai membantu Tasya membereskan kopernya. Tubuh yang kecil itu membuatnya sedikit kesulitan untuk menggantungkan baju di lemari.Zayn melihat kaki kecilnya itu dengan kesal. "Aku akan makan yang banyak! Dan segera tumbuh besar, dengan begitu aku bisa melindungi Momy," dengusnya menggerutu.Sadar dirinya kesusahan,
Tasya dan Adelia mengobrol tanpa henti melepas rindu mereka sambil memasak bersama di dapur."Tasya, coba lihat ini!" sahut Adelia menyodorkan ponsel miliknya sambil tertawa. "Ini lucu sekali! Memang, orang jahat harus mendapatkan balasan yang setimpal!"Zayn yang mendengar suara tawa itu mengerutkan keningnya. "Tante, kenapa tawamu begitu cempreng?" ujarnya dengan nada kesal. "Pantas saja kamu masih melajang setua itu!"Mendengar itu Adelia terkejut bukan main. "Hei bocah, apa katamu? Sekali lagi bilang, aku akan menciumu tanpa henti."Zayn menatapnya dengan nyinyir dan segera berjalan ke tempat Tasya, namun raut mukanya berubah dalam sekejap. "Mama, biar aku saja yang bereskan, kamu duduk dan istirahat saja di ruang tamu."Melihat Zayn yang begitu lugu dan juga baik terhadap ibunya, emosi Adelia mereda. "Bocah, untung saja kamu sangat baik terhadap ibumu, jika tidak, aku akan mencabik mulutmu!""Berisik!" gerutu Zayn dengan kesal. "Wanita tua yang bahkan tidak mengerti bagaimana mem
Tasya menarik napas dalam-dalam, lalu berkata datar. "Zayn bukan anak yang akan membiarkan dirinya ditindas, tenang saja.""Ya, untuk satu hal ini aku mengakuinya." Adelia dan Tasya terus mengobrol tanpa henti.Sementara Angkasa, pria itu sedang mengamuk hebat di dalam kantornya."Siapa yang menyebarkannya di internet?!""Apakah orang-orang yang dibayar untuk menjaga privasi terhadap publik itu hanya makan gaji buta, tidak bisa melakukan apa-apa? Video seperti ini bisa beredar di internet, apa yang mereka lakukan?" Angkasa melemparkan ponsel di hadapannya itu ke arah Ethan.Ethan berkeringat dingin.Dia juga baru menemukan video itu, ketika ingin menghapusnya, video itu sudah terlanjur menyebar. "Tuan Angkasa, kami juga sedang berusaha membereskannya, tapi sepertinya pihak yang menyebarkan itu menambahkan virus di dalamnya. Sehingga komputer kami terjangkit virus, saat ini teknisi IT sedang memperbaikinya," jawab Ethan dengan gemetar.Melihat Angkasa yang hanya terdiam, Ethan kembali
Sudah begitu lama Angkasa tidak semarah itu, bahkan sudah lama dia tidak turun tangan untuk membereskan masalah seperti ini. Mau tak mau dia mengakui, ahli IT di pihak sana sangat hebat, namun dia dapat melihatnya, pihak lawannya ini kurang berpengalaman.Melihat dirinya tidak bisa bergerak lagi di layar, Zayn tahu dirinya sudah dikunci. "Kacau!" dengusnya sembari terus menerus mengetik di laptop yang dia gunakan.Zayn ingin keluar dari database milik Wijaya Company, saat ini layarnya tidak bisa dikontrol olehnya sendiri. 'Bagaimana ini?' kebingungan terpancar di wajah Zayn.'Ini berbahaya! Pria bajingan itu bisa mengetahui posisiku!' Zayn segera bergerak, secepat kilat menghubungkan alat lain ke komputer.Tiba-tiba laptop di hadapan Zayn berkedip tanpa henti, layar biru bergaris hitam memenuhi laptop itu. Virus itu telah didobrak semuanya, dan mereka telah berhasil mengunci alamat IP nya.Angkasa semakin bingung melihat alamat IP yang tertera di depan matanya. "Ethan!"Mendengar Angk
Keesokan harinya ….Ketika Tasya bangun di pagi hari, dia melihat Zayn baru dari luar membelikannya sarapan, dan meletakkannya di atas meja."Morning, Mom," Zayn tersenyum lebar pada Tasya.Meskipun raut wajahnya mirip dengan Angkasa, tapi Angkasa tidak pernah tersenyum seperti itu padanya. Sementara itu Zayn adalah malaikat baginya, malaikatnya seorang."Morning too, baby …." Tasya mengusap kepalanya dengan senang.Adelia yang mendengar suara itu segera keluar dari kamar, ketika dilihatnya sarapan yang tertata di atas meja, dia segera berkata dengan gembira, "Tasya, kamu benar-benar pengertian!" Ucapnya dengan wajah penuh kegembiraan. "Kamu bahkan telah membelikan sarapan! Hebat sekali, akhirnya hari ini aku kembali sarapan sebelum ke sekolah.""Zayn yang membelinya, aku juga baru bangun," Tasya merasa sikap Adelia telah kembali seperti biasa, tapi Zayn justru membuatnya pusing."Mama, apa aku benar-benar harus ikut Tante Adelia pergi ke sekolah?" suaranya terdengar malas.Seketika A