Share

Bab 2

Melihat secarik kertas yang melayang ke arahnya, Angkasa menunduk dan mengambil secarik kertas itu, setelah melihatnya dia mengerutkan keningnya. "Kamu …" ekspresi terkejut terlihat dari tatapan mata Angkasa. "Apakah ini milikmu? Kamu hamil?"

"Hahaha …" Tasya yang mendengar pertanyaan konyol itu kemudian tertawa, air mata yang mengalir tak terasa dari sudut matanya membasahi pipi manisnya. "Apa kamu buta? Lima tahun lalu aku telah menjelaskannya padamu, tapi kamu tetap tidak percaya padaku!" Suara bergetar seakan menahan rasa sakit di hatinya. "Tidak peduli bagaimana aku berusaha merebut hatimu, kamu tidak pernah melihatnya. Bahkan, sekarang cinta pertamamu akan memberimu seorang anak," ujarnya dengan senyuman yang menyakitkan tersungging di bibirnya.

Melihat ekspresi wajah Angkasa yang datar, Tasya kembali berkata dengan gemetar. "Angkasa, aku memang mencintaimu, tapi aku juga punya harga diri! Aku akan menggugurkan anak ini. Hubungan di antara kita sudah berakhir," timpalnya yang kemudian membalikkan badan dan berlari meninggalkan tempat itu.

Mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Tasya, tatapan mata Angkasa berubah menjadi gelap. Pria itu melangkah dengan cepat ke arah Tasya dan menahannya. Dia memeluk Tasya. "Tasya, kamu kira siapa dirimu?" Sudut bibir Angkasa berdekatan dengan telinga Tasya. "Yang memaksaku menikahimu itu kamu, sekarang yang mengatakan tidak ingin anak itu juga kamu. Kamu kira aku ini tidak punya perasaan?" Suaranya yang mendominasi membuat tubuh Tasya bergetar. "Seorang lelaki, dipermainkan seperti ini olehmu? Aku tegaskan, kehidupan anak ini, aku yang menentukan!"

"Angkasa, lepaskan aku!" Tasya berontak dengan kuat mencoba melepaskan diri. "Ini adalah anakku, tidak ada hubungannya denganmu!" timpalnya seraya memegang lengan Angkasa, namun dia tetap tidak bisa melepaskan diri dari pelukan Angkasa. "Lepaskan!"

Mendengar ucapan itu, Angkasa tersenyum. "Anakmu? Tentu tidak!" ujarnya memegang perut Tasya. "Ada aku disini, bagaimana itu bisa menjadi anakmu seorang? Tasya, sebaiknya kamu jangan memancingku!" Mata Angkasa yang indah itu menyipit, aura dinginnya menyelubungi sekelilingnya, membuat Tasya merasa tertekan. "Atau aku …"

Kring~~ Kring~~

Tiba-tiba bunyi telepon Angkasa berdering.

Angkasa mendengus pelan, dia melepaskan satu lengannya untuk mengambil ponsel dari sakunya. Dan, tangan satunya memegang Tasya dengan kuat.

Merasakan genggaman tangan Angkasa yang kuat, Tasya berontak sembari meringis kesakitan. Sebagai seorang wanita dan calon ibu, dia merasakan Angkasa masih sedikit memperhatikannya.

Tatapan wajah Angkasa mendadak menegang. "Apa katamu? Angelina ingin bunuh diri? Awasi dia, aku segera ke sana!"

Mendengar suara Angkasa, pikiran Tasya yang sedikit hangat itu perlahan mulai dingin kembali.

Angkasa menatap wajah Tasya dengan datar. "Tasya, kamu pulang dulu, aku akan jelaskan padamu nanti," pria itu melepaskan genggamannya dan mematikan teleponnya. "Ada hal penting yang harus aku lakukan."

Kening Angkasa berkerut dengan kuat, tatapan matanya jelas menyiratkan kekhawatiran, kepanikan dan emosi, namun semua itu bukan ditujukan untuk Tasya.

Tasya mendorongnya dengan kuat, dia menatap erat ke arah mata Angkasa yang indah itu. "Urus saja urusanmu, lagipula dia memang lebih penting bagimu!" suaranya begitu dingin. "Tidak perlu memperdulikanku dan anak ini!"

Angkasa masih ingin berkata sesuatu, namun akhirnya dia tidak mengatakannya. Dengan cepat Angkasa berjalan ke luar rumah sakit dan memanggil sebuah taksi.

Melihat kepergian Angkasa, Tasya hanya bisa tertawa pahit. 'Di saat seperti ini, dia malah memikirkan wanita lain? Pernikahan seperti ini, haruskah aku pertahankan?'

***

Setelah sampai di rumah, Tasya berjalan dengan hati yang remuk menuju kamarnya.

"Selamat datang, Nona," pembantunya menyambut Tasya, namun dia berlalu tanpa menoleh sedikitpun.

Saat Tasya sampai di depan pintu kamar, dia memandangi pintu itu cukup lama, kemudian membuka kamar yang selama lima tahun ini dia idamkan. Kamar itu berwarna cream dengan corak yang sangat indah, dimana dia tidak pernah bisa menempati kamar itu. Tiba-tiba, dia merasa keberadaannya seperti orang bodoh yang terlalu berharap. Sementara itu, pernikahannya terasa seperti adegan yang kompleks, yang sampai saat ini harus disudahi.

Tasya memutuskan untuk menunggu Angkasa semalaman. Selama menunggu, dia tidak sekalipun mencoba untuk meneleponnya. Sikap dingin semacam ini terus menghujam hati Tasya.

"Anakku, maaf, Mama tidak bisa memberikanmu keluarga yang utuh," Tasya mengusap perutnya yang sudah beranjak tiga bulan itu. "Tapi, kamu tenang saja, Mama akan berkali-kali lipat menyayangimu," Tasya tersenyum penuh dengan kehangatan. "Mama akan menggantikan kasih sayang Papa yang akan menghilang," Wajah Tasya bersimbah air mata.

Tasya mengambil tasnya yang terletak di atas kasur, dia mengeluarkan secarik kertas dan mengambil sebuah pulpen. Tinta hitam itu menari di atas kertas putih dengan rasa sakit yang tercampur di hatinya. Sebuah nama terpampang dengan jelas di atas kertas putih itu, Tasya Ziudith.

Tasya telah menandatangani surat cerai yang baru saja selesai dibuat.

Setiap huruf terasa seperti menggores hatinya, mengalirkan darah segar di atas kertas berlumurkan tinta itu. Tasya telah menandatanganinya, lalu dia melepaskan cincin kawin yang diberikan Angkasa padanya, diletakkannya di atas surat cerai itu. Cincin yang pernah dia anggap sebagai barang berharga miliknya.

Selama lima tahun ini, cincin itu telah meninggalkan bekas pada jemarinya. Sampai ketika dilepaskan saat ini, bekas itu masih ada, sama seperti cintanya pada Angkasa, menyisakan bekas yang mungkin tidak bisa dihapuskan olehnya.

Tasya yang takut dia berubah pikiran, takut hatinya kembali melembut, wanita itu pun membulatkan tekad untuk segera pergi meninggalkan rumah itu.

"Nona, kondisi kesehatan Nona Angelina sedang buruk, Tuan Angkasa akan selalu menemaninya," ucap seorang pria berpakaian hitam yang tiba-tiba datang menghampirinya. "Tuan Angkasa memerintahkan kami untuk mengantar Nona ke luar negeri, kita harus berangkat sekarang."

Mendengar itu, Tasya melirik ke arah pengawal Angkasa yang tiba-tiba datang ke dalam kamar. "Atas dasar apa menyuruhku ke luar negeri? Aku tidak mau!"

"Maaf, Nona, Tuan Angkasa telah mengatakannya, ini bukan pilihan Anda," tatapan pengawal itu menjadi dingin.

BUK!

Tiba-tiba, pengawal itu mendekat dan memukul Tasya hingga pingsan, pengawal itu kemudian menggendong tasya ke dalam mobil.

Di sebuah rumah pinggiran kota.

Daerah ini sangat sepi, jarang sekali orang-orang melewati jalan ini. Tasya yang sedang dalam keadaan pingsan di bawa ke dalam kamar di rumah itu. Saat sedang tak sadarkan diri, pakaian Tasya dilepas, seorang pria berbaring di sebelah tubuhnya dengan telanjang dada.

Sebuah benda yang terlihat mencolok terus menyala, setiap gerakan tak senonoh itu terekam satu persatu.

"Nona Angelina, semua sudah dilakukan dengan baik," begitu selesai melakukannya, pria itu langsung menelepon Angelina.

"Hahaha …" Angelina menjawab sambil tertawa dingin. "Bagus!" Suaranya terdengar sangat puas. "Setelah ini sebarkan ke internet, dan aku percaya Angkasa tak akan mau lagi mempunyai istri yang mencoreng namanya. Hilangkan segala bukti!"

"Baik," setelah pria itu menutup telepon, dia segera menyiramkan bensin ke sekeliling gudang itu dan melemparkan sebuah korek gas.

Dalam sekejap, api menjalar dan mulai melahap seisi bangunan, kepulan asap terlihat membumbung tinggi.

Ketika Tasya baru sadar dari pingsannya, sekelilingnya sudah menjadi lautan api. Asap yang tebal membuatnya tak bisa membuka mulutnya, api semakin menjalar dan menjilat-jilat ke arahnya.

"Tolong! Tolong!" Tasya tidak memedulikan tubuhnya, dia segera meraih sebatang kayu yang patah di sampingnya untuk memukul-mukul pintu rumah itu, namun yang terdengar justru adalah suara sang penjaga.

"Nona, maaf, ini adalah perintah dari Tuan Angkasa," sebuah senyuman picik termpampang jelas di wajah pria itu. "Pergilah dengan tenang, Tuan Angkasa akan membuatkanmu sebuah nisan yang indah."

Mendengar suara itu, Tasya terdiam gemetar. 'Angkasa ingin aku mati? Mengapa?' Rentetan pertanyaan mulai membanjiri seisi kepalanya. 'Apa karena aku dan Angel sama-sama hamil? Atau dia ingin memberikan nama Nyonya Angkasa pada Angelina, sehingga anak mereka dapat lahir tanpa masalah?'

"Angkasa, pria brengsek!"

'Bahkan kamu tak memikirkan darah dagingmu sendiri?' Tanpa disadari, air matanya membasahi seluruh pipi manisnya.

Di tengah kesedihan, Tasya tiba-tiba berteriak. "Angkasa, aku benci kamu! Seumur hidup aku telah buta, mencintai pria sekejam dirimu. Kalau ada kehidupan berikutnya, aku akan membuatmu merasakan dibunuh oleh orang yang kamu cintai sendiri!"

Api yang berkobar menelan suaranya, dia

hanya merasakan sesak yang hebat, matanya memerah. Wanita itu tak sanggup lagi bertahan, dia hanya bisa terduduk dengan lesu. Membiarkan api melalap raganya …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status