“Kau bisa membawa ini bersamamu.” Aksa meletakkan beberapa dokumen dan barang penting di depan mata Gugun. Gugun masih tergugu, memandangi kertas yang terkembang di genggaman tangannya. Perlahan dia mulai melipat kertas itu. Dia juga melipat amplop itu menjadi lipatan kecil, lalu memasukkan ke kantong pada bagian dalam jas yang dikenakannya. Dengan jari-jari yang masih gemetar, dia menarik tanda pengenal dari dalam dompetnya. Dia juga merogoh saku. Mengeluarkan sebuah ponsel dari sana. “Ini nomor pribadiku,” ujarnya saat meletakkan gawai itu di atas meja. Aksa dan Agnes serentak menghela napas lega. Begitu pula Seth. “Pilihan yang sangat bijak, Bro!” puji Seth seraya menepuk pundak Gugun. Agnes sudah melangkah ke pintu. Gugun mengiringinya dengan perasaan berkecamuk tak menentu. Langkah Gugun terhenti kala dia merasakan tangan Aksa menahan pundaknya. Dia menoleh, lalu memeluk saudara kembarnya itu selama beberapa waktu. “Apa kau ingin aku membelikan sesuatu untuk istri dan anak
Refleks tangan gemetar Gugun mengusap kepala Kyra penuh kasih. Setelah cukup lama membiarkan Kyra melepas rindu, Gugun berjongkok. Bibirnya mengukir senyum. “Apa sekarang tante cantik sudah sembuh?” tanya Kyra. “Kata mama, papa tidak pulang karena harus merawat tante cantik.” Kepolosan Kyra membuat hati Gugun terenyuh. Dia benar-benar bersalah. Dia telah menelantarkan istri dan anaknya dalam jangka waktu yang lama. “Mulai sekarang, papa akan selalu pulang.” Getar rindu memicu gerak tangan Gugun untuk mendekap erat putrinya. Tanpa dapat dicegah, dua bulir bening menggelinding jatuh dari sudut matanya. Memandang takjub dari tempatnya berdiri, Ainun ikut menyeka air mata. Hatinya berkata penuh damba. 'Ah, andai Mas Gugun yang kembali ….' Dia masih belum tahu bahwa lelaki yang saat ini memeluk putrinya adalah suami yang selama ini sangat dirindukannya. Gugun mengangkat tubuh mungil Kyra dalam gendongannya. Berjalan mendekati Ainun. Rasa hatinya tak menentu saat itu. “Kau lebih ringa
Senyuman di wajah Aileen sirna dalam sekejap. “Ini tidak mungkin!” gumamnya. Tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Isi paket yang baru dibukanya itu sungguh tidak sesuai dengan apa yang dibayangkannya. Tidak ada kotak perhiasan besar seperti yang dilihatnya di pameran. Hanya amplop berwarna cokelat dan lembaran koran. Aileen mengacak-acak isi kotak itu dengan kedua tangannya. Mencari-cari benda yang diinginkannya. Matanya terbelalak tatkala menemukan sebuah kotak kecil berwarna merah. Itu kotak berisi cincin. Dia masih mengingat dengan sangat jelas ketika menyematkan cincin pertunangan ke jari manis Gugun. Detak jantungnya tiba-tiba saja berpacu cepat. Gugun mencintainya. Lelaki itu tidak mungkin memutuskan pertunangan setelah membeli kalung idamannya, bukan? Dia melihat langsung lelaki itu menyodorkan kartu untuk membayar harga pembelian kalung tersebut. Di saat Aileen masih termangu dan hanyut dalam pemikirannya tentang Gugun, Nyonya Alberto ikut memeriksa isi paket tersebut
Agnes duduk di depan meja rias. Menatap sayu pada pantulan dirinya di dalam cermin. Polesan make-up tipis telah menyamarkan rona pucat wajahnya. Membuatnya tampak lebih bercahaya. Agnes membuang napas. Mencermati penampilannya yang tak lagi memiliki rambut di kepala. Konon rambut merupakan mahkota wanita. Dia telah kehilangan mahkota terindah itu. Yang tersisa hanyalah kepala plontos. Menyedihkan sekali! Agnes tersenyum miris. “Seperti apa pun penampilanmu, kau tetap terlihat cantik di mataku.” Aksa melangkah santai menghampiri Agnes. Dia baru saja selesai berpakaian. Dikecupnya puncak kepala Agnes yang terlihat licin. “Kamu hanya ingin menghiburku, kan?” “Aku mengatakan yang sebenarnya.” Aksa meremas lembut pundak Agnes. Pandangan mereka bertemu di dalam cermin. Aksa menarik naik kedua sudut bibirnya. “Kecantikan yang sesungguhnya dari seorang wanita tidak terletak pada wajah dan penampilannya, melainkan pada hatinya,” komentar Aksa. “Semakin bersih dan baik hati seorang wanita
“Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man
Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d
Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb
Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu