Share

7. Awal Sebuah Rasa

Mentari baru saja terbit di ufuk timur, sinarnya yang hangat menerangi indahnya langit biru.

Sari tampak menyaksikan semua itu dari balik jendela kamarnya. Ia pun berandai jika punya sayap seperti burung. Pasti dirinya bisa pergi dari tempat ini dan tidak akan kembali lagi. Seketika hembusan angin segar menerpa wajah cantik Sari. Membuyarkan angannya yang tidak mungkin terwujud.

Tiba-tiba Sari merasa lapar. Ia segera keluar dari kamar tanpa menunggu Bi Euis datang mengantarkan sarapan. Sari melihat Bi Euis sedang memasak dan segera membantu seperti biasa.

“Bi Euis, masak apa?” tanya Sari sambil menghampiri.

“Masak bubur untuk Tuan yang sedang tidak enak badan,” jawab Bi Euis.

“Apa? Tuan sakit?” tanya Sari dengan terkejut karena semalam Tuan Adam tampak sehat-sehat saja.

“Sepertinya begitu,” jawab Bi Euis sambil mengaduk bubur di panci. Tiba-tiba wanita itu merasa kepalanya pusing.

Melihat Bi Euis yang gontai Sari segera memegang wanita itu seraya bertanya, “Bi Euis kenapa?”

“Tidak apa-apa Neng, Biasa masuk angin,” jawab Bi Euis dengan wajah pucat.

"Maafkan saya, pasti gara-gara semalam menemani Sari, Bibi jadi masuk angin," ucap Sari jadi tidak enak hati.

"Nggak juga, sudah dari kemarin bibi merasa tidak enak badan," sergah Bi Euis kemudian, "Apakah tubuh Neng masih sakit?" tanyanya dengan perhatian.

"Sedikit," jawab Sari sambil membawa Bi Euis untuk duduk dan berseru, “Bibi istirahat saja! Biar saya yang melanjutkan bikin buburnya.”

"Neng, bisa masak bubur?" tanya Bi Euis sambil memijit kepalanya.

Sari mengangguk dan menjawab, "Bisa."

Sari segera meracik bubur itu sampai matang dan siap untuk dihidangkan. Ia kemudian membagi ke dalam dua buah mangkuk.

“Bibi sarapan dulu ya, habis itu minum obat!” seru Sari sambil meletakkan semangkuk bubur di hadapan Bi Euis.

Bi Euis jadi haru karena belum pernah diperhatikan seperti ini oleh istri Tuan Adam sebelumnya. Sambil menahan kepalanya yang masih berputar Bi Euis pun berucap, “Terima kasih ya Neng, bibi jadi merepotkan saja.”

“Tidak apa-apa,” jawab Sari sambil tersenyum, “Oh ya, Bibi punya obat untuk demam?” tanyanya kemudian.

Sambil mengangguk Bi Euis pun menjawab, “Ada.”

Kemudian Sari membuat segelas susu untuk mengganjal perutnya. Setelah itu ia bertanya apa saja yang dibawa untuk Tuan Adam, "Selain bubur apa yang harus saya antarkan untuk Tuan, Bi?"

"Segelas air putih hangat, dan air jahe panas Neng," jawab Bi Euis memberitahu.

Sari pun segera mempersiapkan semuanya. Kemudian ia pun berpesan,

“Kalau Bibi masih pusing istirahat saja di kamar! Sari mau mengantar bubur ini untuk Tuan.”

Bi Euis mengangguk dan memandangi Sari yang berlalu dari hadapannya.

Ketika sampai di depan kamar Tuan Adam, Sari tampak menghela nafas panjang. Ia sedang mengumpulkan keberanian karena tidak tahu apakah Tuan Adam marah atau tidak melihat dirinya yang datang.

"Bismillah ...," ucap Sari sambil melangkahkan kakinya.

Ketika sampai di dalam kamar, Sari melihat Tuan Adam sedang berbaring di atas ranjang dengan wajah yang pucat.

“Selamat pagi Tuan,” ucap Sari sambil tertunduk.

Tuan Adam menatap Sari dengan heran dan bertanya, “Kenapa kamu yang datang?”

“Bi Euis sakit Tuan,” jawab Sari yang mulai terlihat takut.

Tuan Adam lalu menarik tubuhnya dan bersandar pada kepala ranjang lalu seraya berseru, “Berikan bubur itu!”

Sari segera menghanpiri Tuan Adam dan duduk di sampingnya kemudian ia bertanya dengan lembut, “ Boleh saya suapin?” Mata indah Sari menatap netra Tuan Adam yang sayu untuk menunggu jawaban.

“Kenapa?” tanya Tuan Adam dengan suara yang lemah.

“Karena saya adalah seorang istri dan berkewajiban untuk merawat suaminya yang sedang sakit,” jawab Sari sambil tertunduk.

Tuan Adam tersenyum mendengar jawaban itu, tentu disaat Sari tidak melihatnya. Lalu ia pun berkata, “Silahkan!”

Sari segera menyuapi Tuan Adam dengan perlahan dan sabar. Seketika pandangan mereka pun bertemu, tetapi keduanya idak berani saling menatap lebih lama.

Entah mengapa Tuan Adam merasa lemah sekali. Padahal semalam ia merasa sangat kuat dan perkasa saat menggempur Sari sampai beberapa kali. Namun, ketika akan salat subuh tubuhnya terasa lemas seolah tak bertulang.

"Cukup!" seru Tuan Adam ketika bubur itu baru habis separuh.

Sari kemudian menaruh mangkuk itu dan mengambil air putih.

Setelah makan bubur dan minum beberapa teguk, Tuan Adam merasa mengantuk. Ia kemudian berseru, "Kamu boleh pergi!"

"Baik Tuan," jawab Sari sambil undur diri.

Sari kemudian keluar dari kamar Tuan Adam dengan lega. Wanita itu segera kembali ke dapur untuk melihat keadaan Bi Euis. Namun, perempuan paruh baya itu sedang menunggunya.

"Kenapa Neng lama di kamar Tuan, apakah kena marah?" Bi Euis balik bertanya sambil memegang kedua tangan Sari dengan cemas.

Sambil menggeleng Sari menjawab, "Tuan tidak marah Bi, tadi aku lama karena menyuapinya dahulu."

Bi Euis tampak terkejut mendengar jawaban Sari karena setahunya, belum pernah ada perempuan yang bisa melakukan itu.

***

Mentari kian meninggi, Sari dan Bi Euis masih sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang.

"Untuk hari ini, biar Sari saja yang memasak, Bi!" seru Sari ketika melihat Bi Euis masih lemas.

Bi Euis merasa kagum dan berharap nasib Sari lebih baik dari para mantan istri Tuan Adam yang terdahulu.

Tidak lama kemudian tercium bau aroma sop ayam yang harum. Selain cantik, baik, pintar masak lagi. Sungguh beruntung sekali jika Tuan Adam menyadari telah memiliki wanita itu.

"Wah lezat sekali sop ini, Neng. Seperti masakan restorant," puji Bi Euis ketika diminta mencicipi.

"Ah, masa sih Bi?" tanya Sari sambil tersipu.

"Iya bener, bisa nambah terus yang makan sop ini," ujar Bi Euis yang membuat Sari tersenyum senang.

"Kalau begitu Bibi makan yang banyak!" seru Sari sambil tersenyum senang.

Sambil mengangguk Bi Euis pun berkata, "Kita makan bareng ya, Neng!"

"Nanti ya Bi, setelah Sari antarkan makan siang buat Tuan," sahut Sari yang dijawab anggukan oleh Bi Euis.

Sari kembali datang ke kamar Tuan Adam. Ia melihat suaminya jauh lebih baik, meskipun masih terlihat sedikit pucat. Wanita itu kemudian hendak menyuapi suaminya kembali, tetapi Tuan Adam segera memegang tangan Sari.

Seketika Sari merasakan ada debaran aneh yang belum pernah ia alami. Begitu lembut dan pasti mulai menjalar melalui urat nadinya.

"Saya bisa sendiri, kamu boleh pergi!" seru Tuan Adam sambil membuang pandangan ketika tatapan mereka bertemu.

"Baik Tuan," sahut Sari sambil menarik tangannya kembali.

Sari kemudian meletakkan makan siang di samping Tuan Adam. Lalu ia berlalu keluar dari kamar itu, setelah sejenak menatapnya kembali.

Adam memperhatikan semua gerakan Sari tanpa wanita itu sadari.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status