Begitu sampai di rumah sakit, Alenta dan juga Edward bergegas menuju ke ruangan di mana Julia berada bersama dengan Herin dan juga Ayahnya Alenta. "Edwar?" Herin tersenyum saat mendapati Edward tiba, namun senyum itu memudar saat dia melihat putri keduanya juga ikut. "Alenta, kenapa kau datang ke sini?" tanyanya tak senang. Alenta terdiam saat melihat ekspresi wajah ibunya yang terlihat kecewa, ingin menjawab tadinya tapi tiba-tiba saja dia memutuskan untuk diam saja. Padahal, dia hanya ingin melihat keadaan kakaknya secara langsung tetapi kenapa ibunya berekspresi seperti itu seolah-olah Alenta tidak memiliki hak untuk mengetahui keadaan Kakaknya sendiri. "Alenta juga ingin melihat keadaan kakaknya, itu bukan sesuatu yang salah, kan?" ujar Edward berharap tak ada perdebatan apapun. Ayahnya Alenta yang bernama Wilhem itu hanya bisa menghela nafas. Herin mengatakan kepada dirinya, sengaja melarang Alenta datang karena takut kecerobohan Alenta dapat membuat kondisi Julia semakin b
"Kalau saja kau tidak membuat kakakmu terjatuh dari tangga, kekacauan ini tidak akan pernah terjadi, Alenta." Alenta menggigit bibir bawahnya, walaupun memang benar kenyataannya seperti itu tetap saja Alenta merasa bosan mendengar kalimat yang sama keluar dari mulut ibunya. Tidak perlu terus diingatkan, nyatanya Alenta juga masih terus bisa mengingatnya dengan sangat baik sampai tidur pun tidak pernah bisa dia merasa nyenyak. "Aku tidak pernah memiliki niat untuk membuat kakak jatuh dari tangga, apalagi sampai seperti ini, Ibu." Alenta berkata dengan ekspresi wajahnya yang terlihat putus asa. Dia juga ingin mengatakan apa yang ingin dia katakan kepada ibunya, setidaknya agar ibunya tak terus-menerus mengulangi kalimat yang sama Padahal sudah tahu bahwa kalimat itu pasti akan sangat menyakiti Alenta. Herin mengalihkan pandangannya, enggan terlalu lama melihat wajah Alenta. Ada perasaan tidak tega terhadap Putri keduanya, namun juga ke
Selama di dalam perjalanan kembali dari rumah sakit, Alenta terus saja berpikir dengan amat rumit. Bagaimana bisa kakak iparnya itu tidak memiliki minat untuk menemani Julia di rumah sakit? Untuk ukuran seorang suami, Edward tentu saja kurang menunjukkan perasaan cintanya dan juga perhatiannya kepada Julia. Satu atau dua bulan setelah Julia dinyatakan koma, Edward memang hampir setiap hari berada di rumah sakit dan perusahaan. Selama 2 bulan itu pula, Edward hampir tak pernah menghabiskan waktu untuk bersama Elea. Tapi, perasaan Edward terlalu mudah berubah bukan?Menyadari jika sejak tadi Alenta terus melamun, terlihat memikirkan sesuatu, Edward yang penasaran pada akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Alenta. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Alenta tersentak kaget, dia melihat ke arah Edward yang masih fokus untuk mengemudi."Tidak ada," bohongnya. Edward tak ingin memaksakan orang yang tidak ingin memberitahun
Alenta menggigit bibir bawahnya menahan suaranya agar tak lepas saat Edward menghentak tubuhnya. Mereka sedang melakukan hubungan suami istri, namun waktunya benar-benar sangat kurang tepat bagi Alenta. Padahal, tadi Alenta sudah bersiap dan hanya tinggal berangkat saja ke cafe. Tapi, tiba-tiba saja Edward keluar dari kamar mandi dan menarik Alenta menuju ke tempat tidur. Alenta ingin menolaknya, tapi dia tidak terlalu berani. Dia pikir, hanya butuh waktu 15 sampai 30 menit saja. Nyatanya, sudah hampir satu jam Edward juga masih belum berhenti. Apa dia manusia? Alenta benar-benar tidak berkonsentrasi pada awalnya, entah mengapa dia merasa begitu malu padahal sudah beberapa melakukan hubungan intim seperti itu dengan Edward. Jika Alenta tidak merasakan apapun pada awalnya karena perasaan terhina dan bersalah, lantas kenapa dia baru mulai merasakan malu sekarang?Apakah ada yang berubah dengan perasaannya?"
Edward menatap Michael dengan tatapan serius. "Menurutmu, seberapa besar kemungkinan untuk Julia bisa bangun?"Michael mengangkat kedua bahunya, tentu saja dia tidak tahu karena dia bukanlah dokter. "Kau bisa menanyakan langsung saat bertemu dengan dokter itu. Tapi, setahuku juga dokter itu perlu memeriksa terlebih dahulu keadaan istrimu, dan menerima laporan kesehatan terakhir milik istrimu itu," jawab Michael. Edward menghela nafasnya, matanya menatap, menerawang mencoba untuk menimbang hal itu dengan sangat matang. Dia tidak ingin membuang-buang waktu jika memang benar dokter itu memiliki keahlian seperti yang diucapkan oleh Michael. Michael mengerutkan dahinya, netranya yang sejak tadi tertuju kepada Edward menjadi mulai menyelidiki mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Edward dengan ekspresi wajahnya yang tidak terbaca sama sekali. "Kau benar-benar tidak terlihat seperti suami yang sangat mencintai istrinya, kau seharusnya langsung bersemangat dan menghubungi
"Alenta!"Alenta dan juga Michael tersentak kaget mendengar Edward berteriak menyebut namanya. Mungkin, lebih tepatnya lagi Edward membentak Alenta. Dengan segera Alenta berjalan mendekati Edward. "Ada apa, kak?'' tanya Alenta gugup. Alenta tak berani melihat wajah Edward, tentu saja karena dia takut. Edward mengeraskan rahangnya menahan kekesalan. Melihat Alenta yang tadi sempat terlihat sangat manis dengan tersenyum kepada Michael, lalu tiba-tiba Alenta langsung berjalan mendekat ke arahnya begitu dia memanggil nama Alenta namun ekspresi wajah Alenta benar-benar berbanding terbalik dari wajah yang dia tunjukkan kepada Michael. Alenta nampak tertekan, ketakutan. Sungguh, Edward sangat tidak menyukai hal itu. Seharusnya, Alenta hanya menunjukkan ekspresi wajah seperti tadi di hadapannya saja bukan?"Masuk ke kamarmu, segera!" Titahnya tak terbantahkan. Alenta menganggukkan kepalanya, bergegas menjalankan kakinya menuju kamarnya. Setelah Alenta pergi, Edward menatap Michael yang
Alenta benar-benar tidak bisa lagi, dia sudah tidak kuat untuk melayani nafsu Edward yang tidak ada habisnya. Tubuhnya sudah sangat lemas, dia tidak mampu lagi bertahan. Entah kapan kegiatan itu berhenti, Alenta sama sekali tidak tahu. Mungkin, Alenta bisa disebut pingsan karena kelelahan ketimbang tertidur. Besok paginya, Alenta benar-benar merasai tubuhnya yang sakit dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Saat dia bangkit menuju kamar mandi saja, dia seperti tidak kuat karena tubuhnya yang lemas dan gemetar. Untungnya, Alenta bisa menyelesaikan kegiatan itu. Alenta hanya bisa menghela nafas melihat tubuhnya yang di buat seperti macam tutul oleh Edward. Tidak tahu lah, intinya Alenta hanya bisa menahan diri saja saat Edward menuntutnya untuk melakukan ini dan itu. Sebelum Edward bangun, Alenta bergegas menyiapkan pakaian untuk bekerja nanti, berikut dasi, jam tangan, sepatu serta kaus kaki, pakaian dalam juga. "Sepertinya sudah semua, tinggal dokumen saja di ruang kerja," uja
Alenta memutuskan untuk berpura-pura saja tidak mendengar apapun. Sakit sebenarnya hati saat mendengar apa yang diucapkan oleh Karina. Namun, entah benar atau tidaknya memang apa bedanya? Alenta terlalu lelah untuk berpura-pura, dia juga lelah untuk bersabar saat setiap rasa sakit harus dia rasakan setiap harinya. Karina sendiri nampak tak perduli, dia cuek seolah hati Alenta tidak begitu penting. Dia terus melirik sinis, sekali berdecih dengan ekspresi wajah kesal kepada Alenta. Padahal, tak ada satupun perbuatan Alenta yang salah. Alenta tengah memakaikan Elea baju, dia tidak ingin memikirkan hal lain. "Kalau kau sudah tidak sibuk, kita bicara sebentar ya?" ajak Edward kepada Alenta. Alenta menoleh, menatap Edward lalu menganggukkan kepalanya. Setelah selesai menggunakan pakaian untuk Elea, Alenta menitipkan Elea kepada pelayan rumah untuk pergi menemui Edward. Tok tok tokAlenta membentuk pintu ruang kerja Edward sebelum dia masuk ke dalam sana. "Masuk!" ucap Edward memer