Share

Kecewa

Bab 3. Kecewa

Alana menatap dirinya di cermin sepeninggal Zain. Alana merasa sangat malu pada dirinya sendiri yang sudah begitu percaya diri jika Zain juga akan mencintainya.

Air mata itu akhirnya keluar juga setelah melihat Zain sudah tidak ada di kamar. Isak tangis Alana terdengar memenuhi ruang kamar. Alana sekuat mungkin mencoba menjadi wanita yang kuat.

"Kamu pikir, kamu siapa Zain?" isak tangis Alana dalam kesendiriannya. "oh Tuhan, kuatkan aku." Alana menatap dirinya lewat pantulan cermin.

Hingga pada akhirnya, Alana selesai berganti, Alana pun bersiap untuk menemui keluarga besar Zain.

***

"Zain, mana Alana, Nak?" tanya Ibu Sinta.

"Sementara berganti, Bu." Senyum Zain.

"Alana baik-baik saja, kan?" Tanya Ibu santi khawatir.

"Ibu, apa Zain terlihat begitu menyeramkan?" tanya Zain begitu pintar menyembunyikan semuanya.

Selang beberapa waktu, Alana pun tiba dengan gaun yang dikenakan begitu cocok dengan tubuh rampingnya yang sebelumnya diberikan oleh Zain. Terlihat Alana berbeda dari sebelumnya.

"Subhanallah ... cantiknya menantu Ibu," Puji Ibu Santi yang mengundang semua mata keluarga menatap Alana dengan senyum.

"Zain, istrimu sangat cantik, Nak," timpal nenek Fatima.

Zain menoleh dan melihat kedatangan Alana. Namun, namanya Zain, dia tidak peduli. Baginya Alana tetap Alana yang telah merusak kebahagiannya. Tidak ada yang istimewa.

Zain pun menyambut kedatangan Alana dengan kepura-puraan. Zain langsung mengecup kening Alana di depan semua keluarga yang membuat Alana terperanjat.

"Jangan terlalu pede dengan apa yang aku lakukan sekarang. Kau harus selalu bisa mengontrol perasaanmu, ingat kau hanya istri di depan keluargaku,' bisik Zain.

"Tidak perlu kau ingatkan saya. Saya tahu diri, bahwa saya hanya istri separuh masa olehmu." Balas Alana berisik di telinga Zain.

Zain meraih tangan Alana dan Menggandengnya. Alana memperhatikan tangan koko itu. Sakit yang tak nampak cinta bertepuk sebelah tangan.

'Alana jangan terbawa suasana. Mana harga dirimu sebagai seorang wanita,' batin Alana.

Alana pun diperkenalkan oleh keluarga besar Zain. Hingga pada akhirnya malam makin larut. Alana di minta untuk beristirahat karena esok harinya Alana akan dibawah oleh Zain pindah rumah.

"Masuklah kamarmu beristirahat. Besok Zain akan membawamu pindah rumah," Ujar Ibu Santi pada Alana.

Alana pun tanpa Zain menuju kamar. Alana tidak tahu kemana Zain sekarang. Namun, begitu langkah kaki Alana menuju kamar, mata Alana tidak sengaja menangkap sosok Zain berada di pinggir kolam taman belakang sedang bertelepon ria dengan seseorang yang tidak lain adalah kekasih Zain sendiri.

"Iya Sayang, aku tidak akan pernah menyentuhnya. Aku tidak mencintainya. Dia hanya istriku bila di depan keluarga. Kamu tenang saja ya."

Kata itu mampu membuat Alana kembali hancur untuk sekian kalinya. Alana mundur dan tidak sengaja tubuhnya menyentuh sebuah kursi sehingga menimbulkan suara.

Zain menoleh dan tidak melihat sesuatu. Zain terus mencari sosok, akan tetapi Nihil. Zain tidak peduli dan mengakhiri percakapannya menuju kamar mereka.

Masuk kamar, Zain tidak menemukan Alana. Zain kembali tidak peduli kemana pun Alana. Yang Zain pikirkan sekarang bagaimana caranya Agar hubungannya dengan kekasih hati tetap berjalan meski dirinya sudah mendua.

Zain menuju balkon kamar dan duduk di sana menyesali perjodohan itu. "Mengapa perjodohan ini harus terjadi? Andai saja bukan karena ayah, aku tidak pernah mau melakukan ini."

Lagi-lagi Zain kembali mengingat saat dirinya menentang perjodohan itu.

"Zain, kau menikahi Alana, Ayahnya dulu begitu banyak membantu ayah. Jika bukan karena ayah Alana, Ayah bukan siapa-siapa. Kau dengar, Zain?! Bentak Tuan Danu pada putranya.

"Ayah, tapi aku mencintai wanita lain. Aku akan menikah, akan tetapi bukan dengan Alana, Ayah." Ungkap Zain menolak perjodohan hari itu.

"Kau mencintai wanita itu? Jika iya, bersiaplah ke luar dari daftar keluarga ini!" ungkap Tuan Danu dengan sangat geram.

"Ayah, aku putramu satu-satunya. Bagaimana Ayah bersikap tidak adil padaku. Apakah karena wanita pilihan ayah?" tebak Zain tidak percaya keinginan ayahnya hari itu yang begitu tegas dan yakin akan perjodohan tanpa cinta itu.

"Seiring berjalannya waktu, kau bisa mencintai Alana. Alana wanita tepat untuk mendampingi dirimu. Bukan wanita itu! Kau dengar Zain! Mana baktimu pada orang tuamu." Kembali Tuan Danu mengeluarkan suara baritonnya.

Mendengar kata BAKTI, Zain tidak mampu lagi berujar selain pasrah. Apa pun alasannya hari itu, Tuan Danu tidak pernah merestui hubungannya dengan sang kekasih.

"Ok! Demi ayah dan Ibu perjodohan ini akan aku terima," Pasrah Zain hari itu.

Mengingat hal itu, Zain kembali frustasi. "Maafkan aku, Sayang. Hari itu aku begitu lemah di depan ayah dan tidak bisa menolak keinginannya," Lirih Zain kembali menatap Foto sang kekasih hati.

Begitu Zain melangkah masuk kamar, mata Zain tidak sengaja menangkap sodok istri separuh masanya, Alana. Zain tersenyum meledek melihat penampilan Alana yang masih setia dengan penutup kepalanya.

Alana memang cantik, tapi bagi Zain sang kekasih lebih modis. Sang kekasih lebih menarik. Sejurus kemudian Zain kembali tidak peduli begitu Alana melangkah menuju tempat tidur.

Menegur sapa Alana pun tidak, yang membuat Alana kembali seakan terkapar dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada Zain. 'Akan aku tepis rasa itu walau menyakitkan'

Kembali Alana mengutuk dirinya menjadi wanita yang di lemahkan dengan cinta dan merutuki dirinya menjadi wanita bodoh telah salah menempatkan hatinya pada pria yang sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Menghargainya pun tidak.

Zain keluar dari kamar mandi dan melihat Alana sibuk sendiri merawat dirinya. Alana berdiri setelah menghias diri dan berkata, "Tenang saja, aku akan tidur di sofa. Aku tidak akan menyentuh kasurmu," ujar Alana.

"Ya, harusnya memang kau tahu diri." Kata Zain melihat Alana mulai merebahkan tubuhnya di atas Sofa yang cukup untuk tubuh Alana. Zain berharap selamanya tidak pernah tidur satu ranjang dengan Alana.

Zain sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa tidak akan menaruh hati pada Alana demi cintanya pada Marina, sang kekasih. "Bagaimana mungkin juga aku menyentuhnya, rasa cinta pun tidak ada." Pikir Zain dan melihat Alana menuju sofa.

Zain kembali teringat pada Marina untuk tidak akan pernah menyentuh Alana sebagai istrinya. Mustahil bagi Zain menyentuh Alana. Pernikahan keduanya terjadi semua kerena keinginan orang tua. Mengingat hal itu, Zain seakan ingin berteriak.

Alana melangkah menuju sofa. Lalu, merebahkan tubuhnya yang terasa remuk.

"Apa kau pernah punya pacar?" tanya Zain yang melihat Alana belum memejamkan matanya.

"Tidak ada urusan kau menanyakan itu padaku."

"Aku hanya ingin tahu. Jika kau punya pacar silahkan berhubungan dengan nya, asalkan kau bisa menjaga rahasia ini. Kuharap kau dan aku selalu kerja sama," ucap Zain.

"Tenang saja. Aku akan menjaga rahasia ini." Kata Alana yang sesungguhnya hatinya begitu sakit mendengar hal itu.

"Jangan pernah ikut campur dalam urusanku, dan aku pun tidak akan pernah ikut campur dengan urusanmu. Aku memberimu kebebasan."

"Terimakasih," Kata Alana berbalik membelakangi Zain yang sudah merebahkan pula tubuhnya di atas kasur.

Terdengar suara hembusan Zain begitu berat. Hingga ruangan itu hening tidak ada percakapan lagi.

Alana diam-diam mengusap air matanya sambil membatin. 'Ibu, ayah, andai kalian masih ada nasibku mungkin tidak sesedih ini.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status