Share

7. Hal Tak Terduga

"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu."

Arkan berkata dengan santai.

Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu.

Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur.

Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura.

“Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam.

Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi.

Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing.

Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan.

"Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.

***

"Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil.

Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada."

“Ini mah kecil,” ucapnya lagi.

Arkan mengangguk. Dia tau bagaimana orang tua serta kakaknya sendiri memperlakukan Naura dengan tidak baik.

"Jadi, kamu mau kuliah di mana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Aku masih ingin melanjutkan kuliahku di kampus yang lama."

"Oke, besok aku akan datang ke kampusmu."

Naura seketika menoleh ke arah Arkan. "Om serius?"

"Aku serius, besok aku akan datang ke kampus dan menjadi walimu. Mereka akan menghubungiku kalau ada apa-apa di kampus."

Naura tersenyum menunjukkan baris giginya yang rapi "Makasih, Om."

Sungguh, ia merasa senang.

Meski dibuang oleh keluarganya, tapi masih ada orang yang mau membantunya.

Hanya saja, perhatian Naura mendadak beralih ke ponselnya yang berdering.

Begitu melihat sang ibu yang menelpon, dia mengabaikannya.

Namun, serangan telepon itu tak berakhir.

Kini, sang kakak ikut menelponnya!

"Kenapa kamu gak angkat teleponnya?" tanya Arkan menyadarinya.

Naura sontak menggeleng pelan.

Dia malah memasukkan ponsel ke dalam tas.

Untungnya, mobil Arkan pun masuk ke halaman apartemen Lala.

Hanya saja, Naura tidak menyangka kedua orang yang dihindarinya tengah berdiri di depan gedung!

Sontak ia menunduk dan menenggelamkan kepalanya di bawah dasbor.

"Om terus jalan," ujar Naura panik.

Arkan jelas bingung. Dia pun menoleh dan menemukan sumber kekhawatiran kekasih kecilnya itu.

"Apa wanita itu Ibumu dan Kakakmu?"

"Iya,” balas Naura cepat, “Tapi, aku enggak mau nemuin dia. Jadi, cepat bawa aku pergi dari sini."

Mendengar itu, Arkan mengendarai mobilnya keluar dari gedung apartemen Lala.

Kala dirasa aman, perlahan Naura duduk di kursinya.

"Ke mana kita?"

"Hah?" beo Naura tanpa sadar.

Pertanyaan Arkan membuatnya terkejut. "I-itu ... hentikan mobilnya di depan halte itu saja."

"Memangnya, kamu mau ngapain?" tanya Arkan memastikan.

"Aku mau menunggu Ibu dan Kakak pergi dari apartemen Lala. Sepertinya sebentar lagi mereka juga pulang."

Arkan melihat jam di tangannya. "Ini sudah jam sepuluh. Lagi pula, temanmu itu pasti sedang menghabiskan waktu sama Rendy."

"Enggak apa-apa Om. Aku turun di halte saja," elak Naura.

Namun bukannya berhenti, Arkan justru menginjak pedal gas.

Pria itu mengendarai mobilnya dengan kencang.

"Om, haltenya kelewatan," panik Naura.

Arkan terus saja melajukan mobilnya. "Hari ini, kau akan ke apartemenku."

"Hah ... tu-tunggu, Om. Berhenti!"

Sayangnya, Arkan tetap pada keputusannya.

Kini, Naura berada di apartemen pria itu.

Suara gemericik air terdengar dari dapur. Namun, Naura hanya duduk di sofa–tak berani mendekati Arkan yang sedang sibuk di dapur.

"Apa yang aku lakukan ini sudah benar. Aku enggak mau mengikuti permintaan mereka karena aku berhak bahagia atas pilihanku sendiri," batinnya sembari menatap layar ponsel yang ia pegang.

Dengan sadar, Naura memblokir nomor Desi dan juga Adelia.

Ia benar-benar tak ingin berhubungan dengan orang-orang yang egois seperti mereka.

"Naura, ke mari!" panggil Arkan menyadarkan Naura dari lamunan, "Ayo, makan!"

Perempuan polos itu pun beranjak dari sofa menghampiri Arkan yang sudah duduk di meja makan.

Namun, Naura terpana dengan beberapa menu makanan yang tersedia di atas meja.

Baru kali ini ia merasakan masakan seorang pria selain ayahnya sendiri.

"Terima kasih makanannya. Selamat makan!"

"Ehm ... Apa kamu suka makanannya?" Arkan bertanya pada Naura yang mulai menyuapkan makanan.

"Iya, aku suka. Pasti istri Om suka masakannya," ujar Naura hingga Arkan tersedak.

"Pelan-pelan dong makannya," ujar Naura polos.

Arkan mendelik, ia meminum air putih yang ada di gelasnya. "Apa aku terlihat sudah punya istri?"

Naura mengangguk sambil menikmati makanannya. "Bahkan, Om terlihat sudah punya anak.'

Arkan mengepalkan tangannya mencoba menahan emosi.

Tidak pantas baginya bertengkar hanya karena ucapan gadis bodoh seperti Naura.

Namun, tak dapat dipungkiri jika perkataan Naura cukup menjatuhkan harga dirinya.

"Habiskan makananmu lalu beristirahatlah," ketus Arkan.

Dia lalu beranjak dari kursinya berlalu meninggalkan Naura sendiri di meja makan.

Brak!

Tak lama, terdengar suara dentuman pintu yang dilempar begitu kencang.

Melihat itu, Naura menggelengkan kepala.

"Dasar dikit-dikit kesinggung, dikit-dikit marah," gerutunya.

Ia pun melanjutkan makan malam setelah itu membersihkan semua peralatan yang sudah ia pakai.

Tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas malam.

Naura pun mematikan televisi, lalu membuka satu per satu kamar.

"Ada dua kamar, aku tidur di kamar ini atau ini?" tanya Naura menunjuk dua pintu kamar yang ada di depannya.

"Udah ah kamar yang ini saja."

Tanpa pikir panjang, Naura pun masuk ke kamar yang ia pilih.

Ia membaringkan tubuhnya yang terasa lelah lalu menjemput mimpinya–tak menyadari bahwa kamar itu adalah kamar serigala!

"Ehmmp...."

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ecyecy Ecyecy
crita ya si bagus bgt
goodnovel comment avatar
Ecyecy Ecyecy
mahal koin nya
goodnovel comment avatar
Nicki Rahayu
ceritanya menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status