Share

Istri Simpanan

Laras tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya ketika manik mata Sena tepat menatap ke arahnya. Laki laki itu tidak melakukan apa apa, tetapi mampu membuat sekujur tubuhnya merinding. Gadis tersebut menunduk dan saling menggenggam jari-jarinya sekadar menenangkan jantung yang berdegup kencang. Berkali-kali Laras menelan ludah, atsmosfer di dalam ruangan itu benar benar membuatnya sesak, seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin menipis setiap detik.

"Kau!" Suara Sena akhirnya terdengar menggema di dalam ruang kerjanya itu, "mendekat padaku."

Laras masih diam dengan kepala masih menunduk, meski ingin bergerak tetapi kakinya seakan terpasak ke lantai.

"Apa kau tuli? Atau kau perlu diseret hingga bisa bergerak?" Lagi, terdengar suara Sena bernada dingin dan datar.

Laras kembali menelan salivanya dengan susah payah. Dia memaksakan kaki melangkah menghampiri Sena yang berdiri menjulang membelakangi kaca. Postur laki-laki itu tinggi besar dengan tubuh kekar. Laras merasa seperti kurcaci sekarang, sebab tingginya hanya mencapai dada si lelaki.

"Angkat kepalamu!" Deep voice Sena kini terdengar, tidak lagi segarang tadi.

Laras seperti robot mengikuti semua perintah laki-laki di hadapannya. Aura Sena begitu kuat. Dia terlihat sangat percaya diri dengan sorot mata tajam dan tampak pongah. Wajar saja lelaki kaya dan tampan seperti itu bersikap arogan.

"Berputar." Lagi Sena memerintah.

Laras patuh. Entah apa maksud laki-laki itu menyuruhnya berputar. Dia baru berhenti ketika Sena memintanya berhenti. Gadis itu kembali menunduk ketika Sena menatapnya lekat. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, sorot matanya tidak terbaca oleh Laras.

"Cium aku."

Kelopak mata Laras melebar mendengar perintah yang satu itu.

"Ap, apa?" Gadis itu menatap Sena dengan sorot bingung.

"Kau tidak mengerti perkataanku?" Raut Sena berubah sedikit kesal.

Laras menggoyangkan kedua tangannya di depan wajahnya. "Bu, bukan. Aku mengerti, tapi ...."

"Tapi apa?" Satu alis Sena terangkat naik, "jangan katakan kau tidak bisa? Tak mungkin kau tak pernah berciuman sampai sekarang?"

Air muka Laras berubah memerah. Dia menggigit bibirnya. Lelaki itu benar, jangankan berciuman, berpegangan tangan dengan laki-laki dewasa saja tak pernah selain ayahnya.

"Tunggu apa lagi? Apa kau ingin aku yang melakukannya? Tak masalah, sekalian saja aku menidurimu di sini. Bukankah aku sudah membayarmu mahal?" Sena benar-benar tidak sabaran, dia menggeram rendah dengan tatapan ingin menerkam gadis itu. Apa dia membeli seorang biarawati hingga gadis itu tak bisa apa pun?

Raut Laras memucat. "Ja, jangan, Tuan. Iya  saya lakukan." Dia melangkah perlahan mendekati Sena. Sedikit demi sedikit melipat jarak dengan laki laki tersebut. Kini jarak keduanya hanya satu jengkal saja. Laras menatap Sena takut-takut. Iris cokelat terang si lelaki laksana tombak yang mengunci wajahnya agar tal berpaling. Dengan menahan debar keras di dada kaki gadis itu berjingkat agar bisa mencapai bibir Sena. Laras mengecup bibir laki-laki itu cepat dan sekilas.

"Lagi!" Perintah Sena.

Laras kembali mengulangi gerakannya.

"Lagi!" Geram Sena pelan.

Laras menggigit bibirnya. Dia kembali mengecup bibir laki-laki itu. Akan tetapi, ketika dia hendak melepaskan, tangan Sena menahan pinggangnya sehingga tubuh Keduanya rapat tak berjarak.

"Tu ... Tuan?!" Laras panik karena tatapan Sena berubah, tidak lagi sedatar tadi. Seperti batu yang dilemparkan ke dalam kolam, beriak dan bergelombang. Ada hasrat di sana yang membuat tubuh gadis itu merinding.

Sena tidak peduli dengan keterkejutan gadis berkulit putih pucat itu. Dia meraup bibir ranum Laras, mengulum, dan menghisap dengan kuat, membuat gadis tersebut kelabakan.

"Balas ciumanku!" Geram Laras tanpa membiarkan bibir gadis itu  menjauh darinya.

Sena kembali melumat bibir Laras dengan lahap. Seakan dua benda kenyal yang berwarna merah alami itu adalah permen favoritnya. Bukan! Bibir Laras membuatnya candu ingin menyesap lagi dan lagi. Laras mengaduh ketika bibirnya digigit si laki laki.

"Sekali lagi kau tidak mendengarkan perintahku, maka aku akan menggigit bibirmu sampai putus." Lagi Sena mengimtimidasi.

Tubuh Laras gemetar. Dia mulai menggerakkan bibirnya mengikuti permainan Sena. Pelan, tetapi pasti gadis itu mulai mendapatkan ritmenya, membuat Sena tersenyum. Gadis yang sedang dia dekap erat cepat sekali belajar. Dia semakin yakin untuk menjadikan Laras simpanannya, setidaknya sampai dia puas.

Lenguhan terdengar dari bibir Laras ketika tangan Sena kini sudah merayap bokongnya, sementara tangan yang lain semakin menekankan pinggul gadis itu kepadanya. Laras semakin ketakutan. Dia berusaha mendorong tubuh Sena menjauh darinya.

Sena melepaskan tangannya dari pinggul Laras. Dia menatap gadis itu lekat. "Kenapa, kau tidak suka?"

Laras menunduk, matanya terasa panas menahan air mata yang hendak menetes di pipi. "Maaf, Tuan, tapi saya tidak seperti yang Anda kira, saya bukan pelacur. Saya ...."

"Aku tahu!" Sena menyela. "Mulai hari ini kau tinggal di sini. Hubunganmu dengan pemilik rumah bunga juga telah aku putuskan karena aku telah membelimu darinya."

Sena menjelaskan sambil berdiri. Dia berjalan menuju meja kerjanya dan mengabaikan Laras menatapnya tak percaya. Gadis itu menghampiri laki laki tersebut, tanpa sadar dia menggenggam tangan Senaa erat-erat.

"Apa benar yang Anda katakan Tuan?:" tanya Laras ingin meyakinkan kembali dirinya kalau laki-laki asing itu tidak berbohong."

Sena mengangguk, tangannya yang tadi sibuk membuka buka dokumen penting, seketika berhenti. Dia menatap ke arah Laras dengan tatapan dingin. Tak ada riak di manik matanya, membuat Laras sadar dengan sikapnya Dia segera melepaskan pegangan tangannya.

"Sebagai balasannya kau tinggal di sini melayani semua kebutuhanku." Lanjut Dominic dengan nada datar. Namun, mampu membuat Laras surut ke belakang.

"Mak, masud Tuan?" Laras sama sekali tidak mengerti arti kata melayani.

"Biar kupejelas maksudku." Sena kembali bersuara. "Aku adalah pemilikmu yang baru. Apa pun yang aku katakan adalah perintah untukmu dan kau sama sekali tidak punya hak untuk bersuara atau pun menolak. Kau. tidak ingin orang-orang tersayangmu mati. Oh, maksudku Ayahmu."

Kabut segera hadir di kedua pelupuk mata Laras mendengar ucapan Sena. Dia pikir setelah mendengar laki laki itu membebaskannya dari Indah masih ada kebaikan dunia ini, ternyata dia gadis yang sangat naif. Mana mungkin ada yang tulus seperti itu? Apalagi bagi orang-orang kaya, pasti mereka menginginkan sesuatu atas perbuatan baik mereka.

"Jangan libatkan Ayah saya ...," lirih Laras dengan suara serak menahan tangis.

"Kalau begitu turuti semua perkataanku. Kau akan tetap tinggal di rumah ini sebagai simpananku. Kau tak boleh hamil dan jatuh cinta padaku."

Seluruh tubuh Laras melunglai. Rasanya semua daya di tubuhnya tersedot keluar mendengar kata kata Sena. Dia tak pernah membayangkan menjadi simpanan laki-laki mana pun. Belum apa-apa hidupnya hancur berantakan. Dia tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan ayahnya. Demi laki-laki cinta pertamanya itu, dia akan korbankan apa saja agar sang ayah tetap selamat.

*

Tiga hari setelah Sena mengatakan telah membelinya, laki-laki itu pergi begitu saja. Sementara Laras menghabiskan hari dengan menanam bunga di pekarangan belakang rumah Sena. Gadis tersebut berusaha melupakan rasa getir yang terus menghantui dadanya. Setidaknya masih ada hal baik dari keadaannya sekarang. Dia tidak perlu melayani banyak laki-laki berbeda yang dipaksakan Indah padanya.

"Nona, Tuan Sena mengirimkan sesuatu untuk Anda." Seorang pelayan menghampiri Laras yang sedang asyik bercengkrama dengan bunga, tanah, dan pupuk. Tumben sekali laki laki arogan itu mengirimkan hadiah untuknya.

"Apa itu?" tanya Laras sambil mencuci tangannya.

"Tuan Sena mengirimkan gaun untuk Anda. Tuan juga berpesan agar Anda mengenakannya malam ini." Sang pelayan  menunduk hormat.

Laras melengos mendengar penjelasan sang pelayan. Setelah menghilang begitu saja selama tiga, hari ini laki laki itu mengirimkan sebuah gaun malam untuknya. Dia tidak tahu apa maksud dari benda tersebut. Apakah ini sebagai ucapan permintaan maaf? Akan tetapi, dia tidak yakin karena Sena hanya menganggapnya sebagai alat, alat untuk melayani hasratnya. Kalau dia menolak maka detik itu juga akan ditendang.

"Silakan Nona. Kurang dari satu jam lagi Tuan datang." Suara sang pelayan mengembalikan kesadaran Laras. Gadis itu terpaksa mengikuti langkah pelayan tadi menuju kamar untuk membersihkan diri. Hidupnya kini tak ubahnya hanya menjalani perintah sang tuan dan mengambil haknya untuk berkata-kata.

Setelah membersihkan diri, pelayan tadi memakaikan gaun tadi. Sehelai gaun tanpa lengan dengan bahan sutra terbaik yang panjangnya hanya sebatas lutut dan berwarna hitam tampak pas di tubuh Laras. Apalagi dengan aksen potongan di dada berbentuk Baby Doll membuat gadis itu tampak sangat manis. Sang pelayan juga merias wajah Laras.dengan make up tipis. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dan hanya diberi jepitan di sebelah kiri.

Ketika sang pelayan selesai mengoleskan lipstik berwarna merah muda bibir tipisnya, pintu kamar terbuka dari luar, menampilkan sosok Sena melangkah masuk. Melihat tuannya sang pelayan menunduk hormat lalu segera keluar setelah mendapat isyarat. Laras bangkit lalu berbalik menatap Sena. Laras bisa melihat pendar di mata laki-laki ketika menatapnya, tetapi hanya sesaat.

"Kau ikut denganku, hari ini kita menikah."

"Me-nikah?" Laras membeo. Dia tak mengira Sena berniat menikahinya.

"Hanya nikah siri, jangan besar kepala. Statusmu tetap simpananku."

Bunga-bunga di hati Laras layu seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status