Share

Tahu Diri

Sena berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya. Dia mengalihkan pandangan sekadar menghalau rasa kagum yang mencoba masuk ke dalam dadanya. Dia tidak boleh menggunakan hati ketika bersama gadis itu. Berkali kali Sena mengingatkan dirinya sendiri kalau Laras hanyalah alat baginya untuk membuktikan dominasinya dan untuk membuat seseorang menyadari kalau dia bisa melakukan apa yang dia mau. Namun, setiap kali bersama Laras selalu saja ada geleyar asing yang merambat pelan masuk ke dalam dadanya. Apalagi setiap kali manik mata mereka bertemu. Ada rasa nyaman yang membuat laki laki tersebut tak ingin menjauh.

"Tuan." Sapaan dari Laras membuat fokus Sena kembali kepada gadis tersebut. Dia mengangkat dagu memperlihatkan wajah pongah.

"Ikut aku." Sena berbalik setelah memberi perintah.

Laras dengan patuh mengekori Sena. Mau tidak mau matanya terpasak pada bahu lebar dan punggung tegak si laki laki. Tanpa sadar bibir gadis tersebut tersenyum, pasti menyenangkan bila bersandar di sana. Laras memejamkan mata ketika benih-benih suka mulai bertunas di dadanya. Dia berusaha mematikan rasa yang tidak seharusnya. Tidak sepantasnya dia bercita cita melukis di langit, sementara tangannya saja tak sampai. Dia harus profesional. Kehadirannya di rumah dan di sisi Sena hanya murni karena bisnis. Dia butuh uang untuk pengobatan sang ayah juga perlindungan dari Indah dan orang orangnya. Sementara Sena membutuhkan pelayanan darinya. Entah kenapa laki laki itu memilihnya. Bukankah Sena bisa mendapatkan wanita mana saja yang dia mau? Dengan kekayaan dan wajah tampannya, Laras pikir banyak wanita yang rela menjatuhkan diri ke dalam pelukan si lelaki.

"Aduh!" Laras mengaduh dan memegang dahinya ketika terbentur sesuatu. Terlalu larut dalam lamunan gadis itu tidak menyadari kalau Sena berhenti di depannya.

"Matamu tak berfungsi?"

Laras menunduk sembari menggigit bibirnya. Dia tahu salah melamun saat berjalan, tapi kata-kata Sena terlalu ketus. 'Dasar mulut bon cabe! Apa tidak ada kata yang lebih enak didengar. Pantas saja tidak ada yang mau sama dia.' Gadis itu menggerutu pelan.

"Apa?" Lagi Sena bertanya.  Dahinya berkerut melihat bibir Laras komat kamit mengucapkan kata kata tidak jelas.

Laras mengangkat pandangannya. "Apa?" Dia balik bertanya dengan wajah polos dan mata membesar.

"Kau bicara apa?" tanya Sena lagi. Sebenarnya dia gemas melihat ekspresi Laras Andai saja gadis itu wanita yang dia cintai, pasti saat dia sudah menarik tubuhnya mendekat dan mencumbu dengan panas. Sayangnya, Laras tak pantas mendapatkan cintanya.

Laras menggeleng. "Aku hanya bilang, sakit." Dia berbohong. Tidak mungkin kan, dia jujur. 'Aku sedang mengumpatmu, Tuan.' Bisa-bisa Sena akan langsung memulangkannya kembali kepada Indah.

Mata Sena memicing ke arah Laras, seolah-olah menunjukkan ketidakpercayaannya pada pengakuan gadis itu, tapi kemudian laki-laki itu mengabaikan. Semakin lama berinteraksi dengan Laras membuat perasaannya semakin tidak karuan. Dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.

Laras baru menyadari kalau mereka ada di garasi rumah. Dia berjalan tanpa memperhatikan sekitar karena tatapannya hanya terpusat kepada Sena.

"Aku tidak punya waktu untuk menunggumu masuk!" Terdengar suara Sena ketus.

"Anda tidak menyuruhku masuk." Balas Laras begitu duduk di sebelah Sena.

"Apa kau sebodoh itu? Kau pikir kenapa aku menyuruhmu ikut? Apa untuk mengantarku ke mobil saja?" Lagi Sena mengejek Laras.

Gadis itu menghela napas dalam. Semakin lama bicara dengan Sena makin membuatnya kesal. Sepertinya lelaki itu hanya punya kosa kata pedas saja. Oleh karena itu, Laras memilih diam dari pada membalas.

Sena menyalakan mesin mobil. Dia memilih menyetir kendaraan itu sendiri malam ini. Dia tak ingin apa pun yang nanti dibicarakan dengan Laras didengar oleh orang lain, termasuk sopirnya sendiri. Perjalanan sangat lancar karena jalanan tidak terlalu ramai. Lagi pula dia memilih melalui jalan tol sehingga waktu tempuh menjadi lebih cepat. Mobil sedan hitam berkilat itu berhenti di sebuah rumah besar dan megah.

Dari balik kaca mobil Laras melihat bangunan itu dengan rasa kagum. Bentuk bangunannya berbeda dengan hunian Sena. Rumah dua lantai di hadapannya lebih terlihat modern dengan menggunakan warna-warna hangat untuk cat dinding bagian luar. Warna jingga dipadu dengan abu abu membuat rumah terlihat menyolok. Lampu lampu taman berbentuk kubus memancarkan warna putih yang sedikit redup, meski begitu masih mampu menerangi pekarangan yang dihampari rumput jepang yang dipangkas rapi.

"Ayo!" Sena membuka pintu mobil, Laras juga membuka pintu bagian samping. Dia berdiri di sisi mobil menunggu laki-laki itu berjalan lebih dahulu. Bukan apa-apa, dia hanya takut melakukan kesalahan lagi.

"Ini rumah siapa?" Larasntak mampu menahan lidahnya untuk bertanya.

Sena melirik sekilas, membuat Laras menggigit bibirnya. Harusnya dia tak perlu bertanya, tetapi lidahnya lebih dulu bergerak ketimbang otaknya.

"Tak perlu kau tahu. Cukup diam dan ikuti saja."

Lagi-lagi jawaban Sena membuat Laras menghela napas dalam-dalam. Dia harus lebih melapangkan sabar menghadapi sikap ketus laki laki tersebut dan belajar untuk menutup mulutnya. Begitu masuk ke dalam rumah, mata Laras disambut perabotan mahal yang membuatnya berdecak kagum. Furniture di dalam rumah itu terlihat sangat mahal. Dia pernah melihat benda benda seperti itu di majalah milik tetangganya dulu. Koleksi limited edisi yang hanya diproduksi terbatas dan hargannya sangat tidak masuk akal baginya.

Seorang laki laki berpakaian pelayan menyambut kedatangan kedua. Laki laki itu mengantar Sena dan Laras masuk ke dalam rumah melewati lorong yang diterangi lampu lampu LED yang melekat di plafon. Mata Laras melebar ketika melihat keadaan di depannya. Pelayan tadi mengantarkan mereka ke pekarangan belakang. Di mana tempat itu diterangi lampu kerlap kerlip dan rangkaian bunga bunga asli. Seorang penyanyi dan alunan musik yang selaras menyentuh gendang telinga Laras. Sepertinya sedang ada pesta karena tampak para tamu berpakaian santai, tapi tetap terlihat elegan.

"Hai, Sena." Seorang wanita menghampiri si lelaki dan Laras. Dia bergelayut manja di lengan laki laki tersebut. Aku pikir kau tidak jadi datang," ucapnya sembari melirik ke arah Laras dengan tatapan menilai. "Ini siapa? Tumben kok, bawa perempuan ke pesta?" tambahnya lagi.

"Bukan urusanmu," balas Sena acuh tak acuh. Laki-laki itu lalu menggenggam tangannya Laras dan menariknya pelan untuk bergabung dengan orang orang, meninggalkan wanita tadi yang masih menatap Laras dari kepala hingga ke kaki.

Sementara darah Laras berdesir ketika Sena menggenggam tangannya erat. Debaran jantung gadis itu berdegup dua kali lebih cepat. Namun, dia kembali mengingatkan dirinya sendiri tidak boleh menggunakan perasaan bila bersama laki-laki tersebut, karena tak mungkin Sena bersikap baik jika tak ada maksud terselubung.

"Sena, kejutan! Kami pikir kau tak akan datang." Seorang laki laki berambut sedikit gondrong menyapa Rakasena, dia menepuk bahunya pelan.

"Aku sedang senang, makanya aku datang, Yanka," jawab Sena sambil meraih gelas yang berisi minuman dan memberikan satu gelas untuk Laras.

"Dan dia siapa ....?" Laki-laki yang bernama Yanka itu menatap ke arah Laras dengan tatapan kagum.

Alih-alih menjawab, Sena hanya tersenyum tipis. Dia meneguk minumannya lalu mengalihkan topik pembicaraan ke arah lain dan mengabaikan keberadaan Laras. Ada sengatan ngilu di dada gadis tersebut karena laki laki itu tidak memperkenalkannya kepada orang orang yang bertanya.  Seharusnya Laras tidak perlu merasa sedih karena memang dia tidak memiliki status apa pun bagi Sena selain wanita bayaran yang ditugasi melayani si lelaki. Perlahan Laras mundur karena dia tidak paham apa yang mereka bicarakan. Saham, nilai turun, dan segala macam. Dia yakin ketidak keberadaannya di sana tak berpengaruh pada laki laki itu. Jadi gadis tersebut berpikir lebih baik mencari tempat yang nyaman untuknya.

Laras menghirup oksigen dalam-dalam ketika dia berada sedikit jauh dari keramaian pesta. Gadis itu tidak tahu berapa tepatnya besar pekarangan belakang dari rumah itu, yang pasti sangat luas karena dia masih bisa menemukan tempat yang sedikit sepi untuk menenangkan diri. Gadis itu duduk di bangku besi yang di kiri kanannya terdapat lampu taman yang bersinar ke putih putihan. Di depannya tampak kolam ikan yang diterangi lampu warna warni sehingga dia bisa melihat koleksi ikan koi yang berenang lincah ke sana kemari, juga air mancur buatan yang menghasilkan suara gemericik yang terdengar sejuk di gendang telinganya.

"Akan lebih menyenangkan bila melihat air mancur yang sebenarnya." Suara seorang laki laki mengusik ketenangan Laras. Gadis itu menoleh ke belakang, ke arah suara untuk melihat siapa yang telah menyapanya.

Mata Gadis itu menangkap sosok laki laki bertubuh tegap, tinggi, dan memiliki fitur wajah yang sangat tampan. Tidak berbeda dengan Sena, hanya laki laki itu kulitnya terlihat lebih gelap dan bibir yang tersenyum lebar. Mungkin hanya itu satu satunya perbedaannya dengan Sena. Laras yang menggerutu pelan, kenapa dia harus selalu mengingat laki laki itu.  Sena lagi, Sena lagi. Padahal dia gegas menghindar agar tidak memikirkan laki laki itu lagi. Dia juga tidak mau  terpengaruh oleh laki-laki tersebut, tetapi tetap saja setiap melihat laki laki yang memiliki postur tegap dan rupawan mengingatkannya pada si Tuan arogan.

"Boleh aku duduk di sini?" Laki laki itu kembali bertanya.

Laras mengganguk pelan, dia bergeser untuk memberi jarak dengan laki laki asing itu.

"Sepertinya kau tidak terlalu suka pesta ya?" Laki laki itu kalau dia bertanya kepada Laras.

Gadis itu tersenyum tipis. "Aku suka hanya saja bukan pesta seperti ini," jawabnya polos.

Dahi laki laki itu berkerut. "Memangnya apa bedanya?" tanyanya ingin tahu.

Gadis itu menghela nafas sebelum menjawab. "Biasanya aku hanya menghadiri pesta kecil. Tertawa dengan teman teman, membahas hal yang sepele, seperti camilan apa yang sedang viral atau yang remeh temeh lainnya. Akan tetapi pesta kali pembahasannya sangat berat. Aku tidak mengerti tentang saham, broker, trading, capital loss, cut loss, atau fraksi harga. Mumet?" Tanpa sengaja Laras berceloteh di depan laki laki asing tersebut.

Laki-laki itu hanya tertawa mendengar racauan Laras, diam-diam dia mengagumi si gadis.

"Siapa namumu?" tanya laki laki itu menatap Laras lekat.

Belum sempat gadis itu menjawab, suara berat Sena lebih dahulu interupsi.

"Dia tidak punya kewajiban menyebutkan namanya padamu," ucap Sena ketus. Tatapannya beralih ke arah Laras. "Kita pergi!"

Laras bangkit, dia segera menghampiri Sena, tetapi laki laki asing itu menghadang langkah gadis tersebut. Dia mengulurkan kartu nama ke arah Laras.

"Ini kartu namaku. Hubungi saja jika ingin berteman denganku," tawarnya sembari mengulas senyum.

"Terima kasih." Laras menerima kartu nama tersebut lalu kembali gegas menghampiri Sena yang menatapnya tajam. Kaki gadis itu gegas mensejajari langkah si laki laki yang cepat dan lebar, dia bahkan ketinggalan jauh di belakang.

"Masuk!" Sena membukakan pintu untuk gadis itu. Lalu setelah menutup pintu mobil dia berputar untuk masuk ke sisi sebelahnya.

"Berikan kartu nama itu." Sena meminta kartu nama laki-laki tadi kepada Laras. Dia merampas dengan cepat lalu membuang ke luar jendela mobil.  Gadis itu terkesiap ketika Sena melumat bibirnya tiba tiba. Cumbuan yang sangat kasar dan keras. Laki laki itu baru melepaskan pagutannya setelah napas Laras terengah-engah.

"Jangan pernah menerima apa pun dari siapa pun. Apalagi dari laki-laki lain." Sena memperingatkan. Wajahnya dekat sekali hingga Laras bisa merasakan embusan napas laki laki itu di pipinya.

Laras mengangguk. Dia tidak tahu kenapa Sena semarah itu, padahal laki laki itu sendiri yang mengabaikannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status