Lama Rakasena terdiam menatap keluar melalui jendela ruang kerjanya. Kata kata Okta terus terngiang-ngiang di tempurung kepalanya, bahwa gadis yang dia tiduri masih perawan. Harusnya dia tidak memerlukan masalah itu terlalu dalam, bukankah gadis itu tidak rugi apa pun? Dia tak menyentuh tidak pula meminta uangnya kembali.
Sena, begitu dia dipanggil bisa mendengar pintu ruang kerjanya dibuka dari luar, tetapi dia abai karena tahu siapa yang masuk ke dalam ruangannya. Dia memerintahkan asistennya memanggil mucikari pemilik rumah bordir tempat gadis itu dilelang. Dia ingin melakukan satu penawaran dengan wanita bernama Indah itu."Tuan, Nyonya Indah sudah di sini." Okta memberitahu kedatangan wanita itu. Dia segera meninggalkan ruang kerja Sena setelah melihat isyarat laki laki tersebut, lalu menutup pintu rapat.Indah tersenyum. Dia tidak mengira seorang Rakasena mau bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal laki laki itu. Sena sangat terkenal di antara pada pengusaha dan termasuk milyaner yang sangat royal jika dia menyukai sesuatu."Saya tidak mengira Tuan sudi bertemu dengan saya." Indah membuka suara.Sena menggerakkan kepalanya, tetapi tidak berbalik. Dia hanya memperlihatkan bagian sisi kiri wajahnya."Lepaskan gadis itu untukku," pintannya tegas tanpa basa basi."Gadis yang mana Tuan?" Indah balik bertanya, meski sebenarnya dia sudah bisa menebak."Kau ingin bertele-tele denganku?" Kali ini nada suara Sena terdengar dingin.Nyali Indah menciut. Dia tertawa kering untuk menghilang rasa gugupnya. "Oh, apa yang Tuan maksud Laras?"Sena bergeming. 'Jadi nama gadis itu Laras ....' Laki laki itu membatin."Siapa pun namanya." Sena tetap tidak menatap Indah."Kenapa Tuan menginginkan gadis itu?" Indah bertanya lagi."Bukan urusanmu. Sekarang katakan berapa aku harus membayar agar kau melepaskan dia?"Indah diam. Sejak awal melihat Laras dia tahu ada yang spesial di diri gadis itu. Perkiraannya tidak salah, sekelas laki laki sekaya dan setampan Rakasena bahkan menginginkan gadis tersebut."Maaf, Tuan, tapi saya tidak berniat menjualnya." Indah mencoba mempertahankan Laras, sebab dia tak ingin kehilangan sumber uangnya yang baru.Sena berbalik. Dia menulis nominal dia atas selembar cek, lalu menunjukkan ke arah Indah. "Di sini ada satu milyar. Lepaskan gadis itu untukku. Jika kau bersikeras mempertahankannya maka kau akan kehilangan semua yang kau miliki. Jangan kau kira aku tidak tahu sepak terjangmu selama ini."Nada suara Sena sangat dingin, serupa dengan raut yang terpancar di wajahnya. Pun sorot matanya tidak jauh berbeda, tajam dan mengintimidasi.Indah memucat. Dia tahu laki laki itu tidak pernah main main dengan ucapannya. Jadi, dia memilih mendekat dan menerima penawaran tadi.Sena tersenyum sinis. Siapa saja tidak bisa menolak daya tarik uang, apalagi dalam jumlah besar. Jadi, dia yakin kalau wanita berdandan menor di hadapannya kini akan memilih uang."Tanda tangani ini." Sena mengangsurkan selembar kertas ke arah Indah."Apa ini Tuan?""Surat perjanjian bahwa kau tidak akan mengusik gadis itu lagi atau pun Ayahnya."Indah ternganga. Apa yang dikatakan orang-orang bukan sekadar kabar burung. Dalam semalam Rakasena bisa tahu asal usul Laras."Jika kau mendekat saja kepada keduanya dalam jarak dua kilometer, maka aku akan segera menjebloskanmu ke penjara dan membuatmu menjadi gelandangan."Tubuh Indah gemetar. Tangannya bergetar menerima pena yang disodorkan Sena. Laras, selain pembawa keberuntungan gadis itu juga membawa nasib sial untuknya. Mulai sekarang dia harus pintar menghitung jarak dari gadis tersebut.Sena menyimpan kertas yang sudah ditandatangi Indah di dalam laci. Dia menatap wanita itu lagi. "Tidak ada gadis bernama Laras pernah tinggal di tempatmu. Mengerti?"Indah mengangguk. Perlahan dia surut keluar dari ruang kerja Sena. Wanita itu lekas-lekas berjalan keluar dari rumah megah laki laki itu, lalu masuk ke dalam mobilnya. Dia gegas menyuruh sopirnya menjalankan kendaraan itu keluar dari pekarangan laki laki itu. Setelah jauh baru wanita itu bisa bernapas lega. Rakasena sangat menakutkan, cukup sekali dia berurusan dengan laki laki itu.*Laras kebingungan di dalam kamar. Setelah membersihkan diri dia tidak tahu harus mengenakan pakaian apa. Tidak mungkin dia mengenakan pakaian seseksi itu di siang hari. Gadis itu berjalan mondar mandir di dalam kamar menggunakan handuk kimono yang kebesaran di tubuhnya.Mata Laras terpancang ke arah pintu kamar ketika melihat gagang pintu tersebut bergerak ke bawah, pertanda ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamar. Gadis itu menghembuskan nafas lega ketika melihat seseorang pelayan wanita masuk dan tersenyum ke arahnya."Selamat pagi, Nona." Pelayan itu menghampiri Laras dan membawakan sesuatu untuk gadis tersebut. "Ini pakaian untuk Anda." Dia meletakkan pakaian yang dibawa di atas tempat tidur.Senyum lega tampak terulas di bibir Laras. Dia segera membawa pakaian itu ke kamar mandi karena dia tidak terbiasa menunjukkan tubuhnya di depan orang lain, meski wanita sekali pun. Setelah keluar dari kamar mandi ternyata pelayan wanita itu masih berada di dalam kamar. Sang pelayan menggerakkan tangannya sebagai isyarat mempersilakannya duduk menghadap meja rias. Gadis itu menurut karena dia sama sekali tidak bisa berpikir apa apa. Dia buta dengan sekitarnya. Pelayan itu menyisir rambut Laras, membuat kepangan mulai dari atas kepala hingga ke ujung rambut, selain itu juga merias tipis tipis wajah si gadis sehingga terlihat tidak terlalu pucat."Tuan Rakasena ingin bertemu dengan Anda," ucap si pelayan setelah selesai mendadani Laras. Gadis itu hanya mengangguk, meski dia tidak tahu siapa itu. Mungkinkah dia laki laki yang membelinya semalam. Wajah Laras memanas mengingat racauan lelaki itu. Dalam kondisi mabuk dia sempat memuji kecantikannya. Beruntung tidak terjadi apa pun semalam."Eem, apa ada laki laki lain di sini?" Laras mencoba memastikan."Di sini hanya ada Tuan Sena dan Tuan Okta, asisten pribadinya yang membawa Nona semalam ke sini." Jelas sang pelayan. Dia membuka pintu dan mempersilakan gadis itu mengikutinya.Jantung Laras berdegup sangat kencang, serupa dengan ketukan sepatunya yang beradu dengan lantai. Di depan pintu besar bercat cokelat, pelayan tadi berhenti, lalu mempersilahkan gadis itu masuk sendiri. Laras menghela napas dalam dan panjang. Kalau benar Sena laki laki tadi, artinya dia harus benar benar menyiapkan diri. Tadi saja dia ketakutan setengah mati saat beradu tatap, rasanya sorot laki laki itu hendak menguliti tubuhnya, menghadirkan rasa gentar di kisi-kisi hatinya. Begitu pintu terbuka, aroma lavender menyambut penciuman Laras. Gadis itu menatap lurus ke depan, di mana sosok laki laki tadi pagi sedang berdiri menyamping ke arah jendela. Sinar pagi yang menembus kaca menerpa sebagian wajah laki laki itu, membuatnya terlihat seperti seorang Poseidon yang tengah menyeberang naik ke daratan.Setelah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana dia berasal, keinginan untuk menjauh dari Sena semakin kuat. Jika dulu dia ragu untuk pergi karena tidak mau membawa anaknya dalam kesengsaraan, tetapi kini dia justru bisa memberikan kehidupan yang baik untuk anaknya. Apakah pikiran Sena akan berubah kalau mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan keluarga? Laras mengusir harapan-harapan semu itu, dia rasa percuma mengharapkan Sena. Bahkan, sampai sekarang laki-laki itu tidak pernah mengabarinya. Apakah Sena tidak tahu kalau dia mengalami musibah? Apakah tidak terbetik keinginan di dada laki-laki itu untuk bertanya kabarnya saja? Atau setidaknya keadaan anaknya. Namun, sepertinya berlibur bersama sang istri adalah prioritas si lelaki sekarang, membuat Laras semakin tahu diri di mana posisinya di hati laki-laki tersebut. "Sekarang apa keputusanmu?" Pertanyaan Randy beberapa waktu yang lalu membuat Laras berpikir lebih dalam. "Kini kau punya segalanya. Kau tidak perlu lagi
Laras meraba perutnya dengan pikiran menerawang. Nyaris saja dia kehilangan calon bayi karena kecerobohan sendiri. Beruntung janinnya sangat kuat sehingga bisa bertahan meski terjatuh dan berguling lalu terhempas ke lantai. Helaan napas gadis itu terdengar berat. Pandangannya pun berlabuh ke luar jendela. Langit tampak mendung pagi ini, serupa dengan hatinya yang digelayuti sendu. Kesepian juga rindu berdesakan memenuhi setiap sendi rongga dadanya, menuntut mencari jalan keluar. Sebaris nama terus saja hadir menggoda benaknya, meski gadis itu telah berusaha melupa, tetapi tetap saja sulit menggerus dari ceruk kepala."Laras ...."Laras menoleh ketika mendengar pintu kamar terbuka dan seseorang memanggil namanya. Da tersenyum dengan mata berembun melihat sang ayah berjalan menghampiri. Air mata gadis itu jatuh begitu saja. Saat ini dia memang sangat membutuhkan sosok sang ayah yang kerap ada setiap kali dia merasa sedih. Laki-laki itu akan selalu memeluknya dan mengatakan kalau semua b
"Tuan, apa Anda mendengar kabar tentang Tuan Sena?" Maria menghampiri Randy yang berdiri di dekat brankar tempat Larslas terbaring. Gadis itu baik-baik saja, pun bayi yang usianya baru hitungan minggu. Laras hanya mengalami shock yang membuatnya harus beristirahat. "Pelankan suaramu ....," desis Randy melirik ke arah Laras. Dia tidak ingin gadis itu mendengar kabar apa pun tentang Sena. Maria mengatupkan bibirnya rapat. Dia mengikuti Randy ketika laki-laki memberi isyarat padanya keluar dari kamar tempat Laras di rawat. "Mulai hari ini jangan pernah ada nama Sena lagi. Kesepakatan antara Laras dan dia sudah berakhir, ingat itu!" Randy memperingatkan Maria. Wanita itu mengangguk. Dia masih ingat ketika Randy menyuruhnya memberi kabar kepada Sena bahwa Laras keguguran. Dia menyetujuinya karena hanya itu satu-satunya cara untuk membawa gadis tersebut pergi dari rumah orang tua Sena. Maria tidak ingin Laras mengalami nasib sepertinya. Lagi pula dia sangat yakin gadis itu adalah darah
"Maaf, Nyonya, Anda tidak boleh masuk!"Okta membentangkan tangannya ketika Eva memaksa masuk ke dalam ruangan steril, di mana Sena ditempatkan setelah mendapat tindakan operasi. Kecelakaan tunggal yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan dia mengalami patah tulang tangan dan kaki. Tidak itu saja, kepalanya mengalami luka parah karena air bag di mobilnya tidak berfungsi dengan baik saat terjadi benturan."Kau tidak berhak melarangku! Aku istrinya!" Eva memelotot memarahi Okta. Dia menepis tangan asisten Sena itu agar bisa masuk.Namun, Okta jauh lebih tegas. Dia memberi isyarat agar dua orang bodyguard yang berjaga di depan pintu untuk menarik Eva menjauh."Lepaskan!" Eva berseru dan menepis keras tangan dua bodyguard yang memegang lengannya. "Jauhkan tangan kotor kalian dariku.""Nyonya, ini rumah sakit. Saya harap Anda tidak membuat keributan." Lagi Okta memberi peringatan dengan raut datar."Kau memang tidak tahu diri!" Eva menuding ke arah Okta dengan jari menunjuk runcing, mat
Sena membiarkan Eva berkonsultasi dengan dokter di dalam ruangannya, sebabd dia menyerahkan semua urusan kepada para ahli yang tentu lebih mengetahui seluk-beluk dari proses bayi tabung. Lagi pula Sena tidak terlalu kuat mencium aroma obat-obatan di dalam ruangan dokter tersebut, jadi dia memilih untuk menghirup udara segar dengan berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Mata Sena melihat seorang laki-laki sedang mendorong kursi roda yang diduduki wanita hamil membuat ingatannya melayang kepada Laras. Dia tersenyum membayangkan seperti apa wajah anaknya kelak. Imajinasinya terjeda ketika ponselnya berbunyi penanda pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Dahi Sena berkerut ketika melihat nomor pengirim tidak tersimpan di kontaknya. Dia segera membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenal tersebut. Seketika rahang laki-laki itu mengeras, Sena meremas ponselnya dengan sangat erat melihat foto-foto Laras bersama Randy terlihat sangat akrab. Di mana sepupunya itu sedang menggeng
"Randy, ini air esnya!"Randy menoleh ketika mendengar suara Laras, membuat Maria bernapas lega, wanita itu segera undur diri dengan jantung berdebar."Makasih, ya." Randy menerima air yang disodorkan Laras, dia duduk kembali ke sofa di sisi gadis itu."Aku masih belum mengerti hubunganmu dengan Sena. Kalau kalian bersaudara tiri apa dia tahu?" Laras kembali bertanya, karena otaknya ruwet memikirkan silsilah keluarga kedua lelaki itu.Randy menggeleng. "Aku yakin tidak tahu, karena sejak lahir dia tinggal di luar negeri bersama keluarganya. Ayahku juga tidak berminat menceritakan hal-hal pribadi dengan saudaranya itu." Dia menjeda kata-katanya, "eeem ... sebenarnya hubungan Ayah angkatku dan Ayah Sena tidak baik. Keduanya baru dekat setelah Kakek meninggal."Laras mulai mengerti. Ternyata runutan keluarga Sena tidak sesulit yang dia pikirkan. Mengingat laki-laki itu kembali kesedihan hadir di dada gadis tersebut. Sekuat apa pun gadis itu mencoba tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan
Tanpa terasa pesawat yang ditumpangi oleh Sena dan Eva mendarat di bandar udara Changi Singapura, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lima puluh menit. Bandara internasional Changi adalah bandara sipil utama di Singapura. Pemerintah negara yang terkenal dengan patung kepala singa itu terus memperbaiki fasilitas salah satu bandara terbesar di Asia Tenggara tersebut. Sena membiarkan Eva bergelayut manja di lengannya saat mereka keluar dari gerbang kedatangan yang tidak terlalu ramai, karena pesawat mendarat saat matahari baru saja naik ke cakrawala. Ditambah lagi karpet yang sengaja di pasang untuk meredam suara sehingga suasana bandara tidak terlalu bising. Di sepanjang jalan gerbang kedatangan yang dilewati, mata dimanjakan oleh pemandangan hijau dari tanaman yang sengaja ditanam oleh pengelola.Di pintu keluar mereka sudah ditunggu oleh seorang sopir yang memang sudah dipersiapkan oleh Okta untuk mengantar jemput selama keduanya di sana. Sang asisten juga sudah menyiapkan ho
"Sen, mau ke mana?" Eva bersuara lembut memanggil laki-laki itu ketika hendak beranjak dari kursi. Mereka baru saja selesai makan malam yang khusus di masak oleh wanita tersebut Steak daging terderloin dengan tingkat kematangan medium rare yang diberi olesan saus barbeque, rebusan kentang, wortel, dan buncis menjadi menu makan malam favorit Sena."Aku mau ke ruang kerja, ada yang harus kukerjakan," jawab laki-laki itu singkat sambil meletakkan serbet yang digunakan mengelap bibirnya."Sayang ...." Eva menghampiri Rakasena yang berdiri di sebelah kursi yang baru dia duduki. "Apa kau lupa kalau aku ingin bicara sesuatu denganmu?" Wanita itu menatap suaminya dengan sorot memohon."Maaf, aku lupa. Apa yang ingin kau bicarakan?"Eva menggamit lengan Sena dan menuntun laki-laki itu berjalan pelan-pelan menuju tangga. "Aku sudah memikirkan tentang rencana kita mengusahakan bayi tabung. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter dan mempercepat waktunya." Eva tersenyum dan menoleh ke arah Se
"Makasih banyak, Sen."Laras menunduk sembari melihat barang-barang belanjaan yang ada di dalam kantong belanjaan kertas. Andai saja tidak dicegah, mungkin saja laki-laki itu sudah memborong semua isi toko, belum apa-apa Sena sudah menghabiskan uang sepuluh juta rupiah. Orang kaya memang tidak pernah memikirkan berapa jumlah uang yang dibelanjakan karena mereka seolah-olah memiliki kekayaan yang tidak habis-habis."Tidak perlu, aku membelikan untuk anakku." Sena menjawab sambil merogoh saku celana bahannya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil ke hadapan Laras. "Aku punya hadiah untukmu."Mata Laras berkedip-kedip ketika Sena membuka kotak dari bahan beludru berwarna hitam. Seuntai kalung dari emas putih tampak berkilauan."I ... ini untuk aku?"Sena mengangguk. Dia menuntun Laras menuju meja rias, lalu mendudukkan gadis itu di sana. Dia kemudian mengambil kalung setelah meletakkan kotaknya di atas meja rias yang terbuat dari kaca.Laras menyampirkan rambutnya ketika Sena memakaikan kal