Udara sejuk dari pendingin ruangan menerpa kulit Laras membuat gadis itu menarik selimut lebih tinggi menutupi tubuhnya. Namun, percintaan tadi malam dengan Sena kembali hadir ke dalam ruang ingatannya. Gadis itu membuka kelopak matanya pelan-pelan, dia meraba seprai halus yang menjadi alas tidurnya, aroma khas Sena masih menempel di dalam ruangan tersebut. Gadis itu mendudukkan diri dan menatap sekeliling kamar yang didominasi warna putih untuk cat dindingnya serta warna hitam untuk beberapa perabotannya, tampak sepi. Tidak ada tanda tanda laki laki itu di sana. Laras tersenyum getir. Apa yang dia harapkan? Bercinta di saat malam lalu bangun dengan Sena ada di sampingnya? Tidak mungkin dan sangat mustahil. Mereka bukan sepasang kekasih yang saling mencintai. Jadi, setelah menyalurkan hasratnya laki-laki itu pergi begitu saja.Laras menyudahi lamunannya. Dia turun dari tempat tidur lalu melilitkan selimut ke tubuhnya. Gadis itu bermaksud untuk membersihkan diri karena rasa lengket di
"Seandainya makanan ini dibagikan kepada orang orang, apa Tuan tahu berapa perut yang bisa kita selamatkan?" Laras menjeda sejenak kata katanya, dia ingin melihat reaksi Sena. Akan tetapi, laki laki itu hanya diam menatapnya dengan alis terangkat. "Kita bisa mengganjal perut orang orang yang kelaparan sekitar sepuluh atau lima belas orang. Bukankah itu lebih baik dari pada kita membuang makanan ini sia sia?"--------------Kata kata Laras barusan terus terngiang-ngiang di tempurung kepala Sena. Laki-laki itu menopang dagunya dengan tangan yang diletakkan di jendela kaca mobil. tatapan Sena berlabuh menatap pohon pohon yang bergerak, seolah-olah sedang berlari berlawanan arah dengan mobil yang dikendarai oleh sopirnya. Ada rasa kagum menginap ke dalam hatinya mendengar cara gadis itu memandang sesuatu, meski terdengar sederhana tetapi isi pikiran Laras benar adanya. Dia bisa menilai kalau gadis tersebut memiliki hati yang sangat baik dan juga lembut. Malang sekali nasib Laras harus me
Setelah meletakkan gagang telepon ke tempatnya, sang pelayan wanita tadi kembali menghampiri Laras yang masih berada di dapur. Maria, nama kepala pelayan itu. Dia salut karena tidak biasanya sang Tuan membawa wanita lain ke rumah, meski ini bukan hunian satu satunya sang jutawan, tapi wanita yang dibawa pernah dibawa Tuan Sena adalah Nyonya Eva, istrinya sekarang. Jadi, kalau gadis bernama Laras itu dibawa ke rumah, artinya gadis tersebut memang spesial bagi sang tuan.Pertama melihat Laras, Maria bisa melihat gadis itu memiliki hati yang baik, terpancar dari wajahnya. Gadis tersebut juga masih belia tampak dari sikap dan cara bicaranya yang apa adanya. Prediksi Maria tidak salah karena Laras memang berbeda, jauh bila dibandingkan dengan sang nyonya yang angkuh dan suka merendahkan para pelayan. Mungkin karena wanita tersebut berasal dari kalangan atas, jadi menganggap pekerja rendah seperti mereka tidak berharga sama sekali.Seperti jauhnya jarak antara bumi dan langit, Laras justru
Setelah perjalanan panjang, pesawat yang ditumpangi Sena dan Laras mendarat dengan selamat di Bandara Schiphol Amsterdam yang terletak di bagian selatan Kota Amsterdam. Hawa dingin menyambut kedatangan gadis tersebut saat keluar dari pesawat. Sialnya, dia hanya mengenakan gaun tipis yang membuat hawa dingin seakan menusuk nusuk kulitnya. Bahkan, gadis itu harus memeluk tubuhnya erat erat agar tidak kedinginan. Akan tetapi, sia sia saja. Udara di Belanda di musim panas saja hanya berkisar tujuh belas sampai dua puluh derajat celcius. Apalagi di musim dingin, biasanya berkisar antara satu sampai enam derajat celcius. Pantas saja bibir Laras bergetar dan mulai memucat.Sena yang lebih dahulu berjalan di depan menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang karena Laras tidak berada di sampingnya. Dia menghela napas keras melihat gadis tersebut tertinggal di belakang, berdiri tidak bergerak di tempatnya. "Kau kenapa?" Laki laki itu mengerutkan dahi melihat tubuh si gadis gemetar."Dingin
Laras bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Dia terbangun ketika merasakan sesak di dada. Meski sudah mematikan pendingin udara, napasnya masih saja terasa tersendat. Waktu terasa sangat lama untuk gadis itu. Kalau hanya menahan lapar dia masih sanggup, tetapi sakit di kepala semakin membuatnya nelangsa. Rasa geli yang menggelitik hidungnya membuat Laras bersin tak hitungan kali. Dia meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut membungkus seluruh tubuh. Napasnya memburu karena panas yang berasal dari dalam, tetapi telapak kaki terasa dingin.Untuk tidur pun Laras tidak bisa. Sinusitis yang dia idap membuatnya semakin tersiksa. Parahnya, gadis tersebut lupa membawa inhaler yang biasanya selalu siaga di dalam dompetnya. Dia bangun lalu berjalan ke luar kamar berharap Sena sudah pulang. Namun, dia harus kecewa karena tidak melihat laki laki tersebut. Laras kembali masuk ke kamar dan memilih duduk di dekat jendela. Gadis itu duduk di kursi menghadap keluar sambil merapatkan selimu
Bulu mata lentik yang membingkai mata bulat Laras perlahan-lahan terbuka. Tempat tidur dari busa terbaik membuatnya nyaman, hingga memilih diam di sana. Tubuh gadis itu terasa hangat bergelung di dalam selimut. berbanding terbalik dengan udara di luar hotel. Dia bisa melihat salju jatuh melalui jendela kamar. Laras tersenyum melihat butir-butir putih itu adalah pemandangan yang sangat indah baginya. Ingin rasanya melompat turun dari ranjang, lalu berlari keluar hotel untuk merasakan kelembutan salju.'Salju rasanya kayak es krim, ya? Kalau dikasih sirup pasti segar.' Laras senyum senyum sendiri.""Kau kenapa?" Teguran Sena menyadarkan Laras kalau dia tidak sendirian di dalam kamar. Gadis itu duduk dan menatap ke arah si laki laki yang sedang berdiri di depan pintu toilet.Wajah Laras memerah melihat tubuh Sena hanya berbalut handuk sebatas pinggang, sehingga perut kotak-kotak yang terbentuk karena latihan fitness tampak menggoda untuk disentuh. Mata gadis itu enggan berpaling. Seolah-
Laras menoleh saat seorang laki laki bicara kepada pelayan di depannya. Seketika dia mengembuskan napas lega. Keajaiban itu ada.Sang pelayan mengangguk dan tersenyum ramah. Seperti laki laki itu sudah familiar di hotel ini."Kau tidak apa apa?" tanya Laki laki itu menghampiri Laras.Gadis itu mengangguk. Dahinya berkerut ketika mengingat pernah melihat si laki laki."Anda ....""Namaku, Randy." Laki laki itu mengulurkan tangan, "kita pernah bertemu di pesta sekitar beberapa hari yang lalu."Senyum Laras mengembang. Dia tidak salah mengingat. Gadis itu menyambut uluran tangan Bastian. "Aku Laras.""Nama yang sangat cantik. Secantik orangnya." Puji Randy lagi, membuat pipi Laras terasa panas.*"Makasih." Laras kembali tersenyum canggung ketika Rendy membayar tagihan makanannya, ditambah minuman yang dipesan selagi mereka mengobrol."Anggap aja aku traktir kamu, tapi enggak gratis," balas Randy sambil tersenyum jenaka."Maksudnya." Lengkung di bibir Laras tertahan. Gadis itu sudah meng
Laras terduduk di atas ranjang setelah tubuh Sena menghilang di balik pintu. Laki-laki itu pergi begitu saja tanpa bicara sepatah kata pun padanya. Entah mengapa malam ini gadis tersebut memiliki keberanian untuk membalas tudingan lelaki itu. Laras tidak tahu bagaimana menghadapi sikap Sena yang berubah ubah. Laki laki itu membuatnya bingung. Terkadang Sena terlihat sangat manis, begitu peduli, dan seolah-olah suka berada di dekatnya. Namun, di satu waktu yang berbeda laki laki itu akan bersikap angkuh dan kasar seperti malam ini.Laras menghembuskan nafas dengan keras untuk sekedar melonggarkan sesak yang mencengkram dadanya. Mata gadis itu tertumbuk ke atas meja di depannya. Dia tertegun melihat kantong belanjaaan yang berisi dua kotak pizza. Laras menelan saliva ketika mengecek ponsel yang tersimpan di dalam laci. Ada tiga puluh panggilan tak terjawab dari Sena sejak dua jam yang lalu. Embusan napa Laras terasa berat. Laki-laki itu tidak bohong. Sena benar benar mengkhawatirnya.B