Share

Suhu atau Cupu?

Aku mengerjap beberapa kali ketika terbangun. Tanganku memijit dahi sedikit ditekan karena rasa penggar di kepala. Sial! Terlalu banyak minum semalam sampai mabuk berat. Semua gara gara wanita itu. Mengapa dia sangat keras kepala dan selalu menentangku? Parahnya aku tidak bisa bersikap tegas padanya sehingga dia leluasa dalam bersikap. Semua karena perjanjian sialan itu. Harusnya aku masih melajang sampai sekarang, tetapi demi Ayah aku terpaksa menerima pernikahan dengan putri sahabatnya.

Andai orang-orang tahu aku sekacau ini karena wanita itu, pasti mereka akan menertawakanku. Namaku  Rakasena, seorang laki laki bertubuh tegap dengan otot-otot keras terbentuk di beberapa bagian berkat latihan rutin di gym. Parasku tampan. Aku bukan seorang narsistik juga tak pandai meninggikan diri sendiri. Apa yang aku katakan benar adanya. Aku memiliki Ibu asli Prancis dan Ayah berdarah Sunda tulen. Bahkan, aku memiliki dua kewarganegaraan. Masa kecil dan remaja aku habiskan di negara Paman Sam, sehingga aku tidak terlalu lekat dengan budaya Sunda. Ayah dan Ibu pun berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baku atau bahasa Inggris dengan aksen British, yang lucu bila Ibuku sedang merajuk dia akan meracau dengan bahasa Prancis, membuat Ayah terdiam. Bukan takut, tetapi dia memang tidak mengerti bahasa tersebut.

Jadi, kalian bisa membayangkan setampan apa diriku. Tulang hidung yang tinggi, kulit putih bersih, dan manik mata berwarna hitam pekat, dan menguasai tiga macam bahasa membuatku sangat percaya diri sebagai anak yang memiliki gen campuran. Aku juga dikenal sebagai pengusaha muda yang ulet dan tangguh. Jadi, wajar jika di usia tiga puluh tahun aku sudah menjelma menjadi pengusaha sukses dan kaya raya. Banyak wanita yang rela merangkak agar bisa berada di sisiku.

Aku hendak bangkit, tetapi urung ketika merasakan sesuatu mengimpit dadaku. Aku menoleh ke samping dan terkejut melihat seorang gadis tertidur.

What the f-uck!

Aku mencoba mengingat ingat apa yang terjadi semalam. Rasanya ada yang salah denganku semalam. Panas menyebar ke seluruh tu-buhku. Aku sangat kenal sensasi yang menbuat hasratku melesat, sialnya wanita yang harusnya melayani kebutuhanku malah keras kepala tak mau pulang ke rumah. bercinta dengan seseorang. Lalu siapa gadis di sebelahku ini? Apa mungkin dia gadis yang dile-lang semalam oleh muci-karinya?

Aku perlahan bangun sembari memperhatikan wajah  yang tampak kelelahan. Aku juga bisa melihat jejak air mata di pipinya. Kenapa dia harus menangis? Apa aku melakukan sesuatu padanya? Kalaupun iya kenapa dia harus menangis?Bukankah memang itu tugas mereka ysng bekerja di dunia malam? Melihat wajah gadis itu hatiku mulai terusik. Aku tidak tahu berapa usianya, tetapi aku bisa menebak dia belum memasuki usia dua puluh tahunan. Aku tersenyum miris, ternyata gadis-gadis sekarang rela menjual tubuh mereka untuk mendapatkan uang akan mereka habiskan sebentar saja.

Tak ingin larut pada sesuatu yang membuat dadaku tidak nyaman, aku memilih bangkit untuk membersihkan diri. Rasanya mengguyur kepalaku dengan air dingin mampu menghilangkan efek alkohol semalam. Ketika keluar dari kamar mandi, aku melihat gadis itu sudah bangun. Dia terkejut dan menarik selimut untuk menutupi tu-buhnya yang mengenakan pakaian mi-nim. Aku tersenyum sinis, tingkah gadis itu seperti perawan saja.

"Keluar dari sini," ucapku ketus sambil mengenakan pakaianku. Tidak ada terdengar jawaban atau pergerakan dari gadis itu membuat dahiku berkerut. "Kau dengar apa yang aku katakan?"

Aku mengulangi lagi pertanyaanku. Lagi-lagi gadis itu hanya diam, membuatku geram sekaligus penasaran. Berani sekali dia mengabaikanku. Aku menghampiri gadis itu dan menyentuh dagunya agar wajahnya terangkat. Niatku hendak mengum-patnya urung ketika bersitatap dengan manik matanya. Terlihat kesedihan dan ketakutan di sorotnya. Aku terpana, kata-kata yang hendak kulotarkan padanya hilang entah ke mana.

"Sa ... saya dengar Tuan," jawabnya dengan terbata bata. "Tapi, saya tidak tahu harus ke mana."

Aku menggeram rendah, kenapa gadis itu terlihat lugu? Atau hanya berpura-pura polos?

"Aku akan menyuruh orang mengantarmu kembali ke tempat kemarin."

Gadis itu menganguk tanpa suara, rautnya selalu terlihat ketakutan membuatku kesal.

"Apa aku melakukan sesuatu padamu?" Gadis itu menggeleng pelan membuatku lega sekaligus gemas. "Kalau begitu hentikan raut memelasmu itu, membuatku muak!"

Setelah mengatakan itu aku segera berbalik dan keluar kamar dengan langkah lebar. Sial! Apa yang terjadi padaku? Kenapa ketika kulit kami bersentuhan aku seolah-olah tersengat listrik membuat jantungku berdetak lebi cepat. Aku meninggalkan gadis itu begitu saja. Cukup sudah main mainnya. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan dari pada mencari tahu apa yang terjadi pada hatiku.

"Tuan."

Okta sudah menungguku di depan pintu kamar begitu aku keluar. Asisten pribadiku itu mengiringi langkahku dalam diam menuruni tangga menuju ke ruang makan.

"Apa agendaku hari ini?" Aku bertanya pada laki laki tersebut sambil meletakkan serbet di atas paha dan menunggu pelayan menuangkan kopi ke dalam cangkir.

"Hari ini ada beberapa pertemuan dengan beberapa investor yang tertarik ingin menanamkan modal di perusahaan kita dan malamnya ada pesta kelulusan putri Tuan Hasimoto dari stanford University. Beliau berpesan khusus agar Anda bersedia datang.

"Aku tidak bisa, suruh staff lain sebagai perwakilan."

Aku mendengkus kesal. Laki laki tua itu selalu saja memintaku bertemu dengan putrinya. Dia mengira jika aku akan tertarik kepada gadis muda tersebut. Aku akui putrinya sangat cantik. Akan tetapi, tidak  ada yang bisa mencairkan hatiku yang beku. Cinta sudah lama hilang dari kamusku. Sejak perempuan yang kupanggil Ibu kabur dengan lelaki lain.

"Ada lagi?" Aku bertanya karena sarapan di atas meja telah tandas.

"Tidak ada Tuan, kecuali satu."

"Apa?" Aku menoleh ke arah asistenku itu.

"Gadis yang semalam. Tuan menawarnya lima ratus juga. Saya mengambilnya dari kartu kredit Tuan."

Mendengar itu, air mineral yang baru teguk seketika tersembur keluar.

"Apa?!" Mataku terbelalak. "Untuk gadis itu kau membayar semahal itu?" Aku benar-benar marah. Bukan perhitungan, tetapi seorang pela-cur tidak akan kubayar semahal itu.

"Tuan sendiri yang menginginkan gadis tersebut. Bahkan, Tuan sendiri yang menyerahkan kartu kredit untuk menyelesaikan transaksi."

Kepalaku langsung terasa berputar-putar memcoba mengingat kejadian semalam. Memang begitu kebiasaanku bila sudah ma-buk lupa segala galanya. Apa yang aku inginkan harus aku dapatkan tidak peduli sesulit apa pun itu.

"Maaf, aku benar benar mabuk semalam. Pasti aku merepotkanmu. Hal bodoh apa yang aku lakukan sehingga aku menawar pela-cur semahal itu?"

"Tuan ikut ambil bagian dalam lelang pera-wan" jawabnya pelan.

"Apa?" Mataku membeliak. "Lelang pera-wan? Jadi maksudmu gadis itu masih perawan?"

Anggukkan Okta membuat kepalaku hendak pecah. Seumur-umur baru kali ini aku ikut penawaran gi-la itu dan informasi dari Okta barusan adalah jawaban dari sikap gadis tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status