Share

Terjual

"Baiklah, ini hitungan teakhir." Si wanita sampai di hitungan ke tujuh. Dia lanjut menghitung. " delapan, sembilan, sepu ...."

"Lima ratus juta." Suara keras terdengar menyela hitungan wanita berambut pirang tersebut.

"Wow! Penawaran yang sangat fantastis," ujar si wanita dengan wajah ceria. Bukan di saja yang terkejut. Indah malah sangat bersemangat mendengar penawaran sangat tinggi tersebut, sejak dia mulai melelang gadis gadis perawan baru kali ini dia mendapatkan harga setinggi itu. Tidak terkecuali semua orang yang ada di sana, mereka menoleh ke belakang ke tempat arah suara terdengar.

Tampak seorang laki laki sedang duduk menikmati minumannya. Dia sama sekali tidak terusik dengan tatapan semua orang padanya, terbukti dia kembali menuangkan sampanye ke dalam gelasnya. Sementara di sebelahnya berdiri seorang pemuda berpakaian necis. Suara tadi berasal darinya.

"Anda yakin Tuan?" tanya si wanita tadi, dia melihat laki laki itu mengangguk. "Coba Anda ulangi agar semua yang ada di sini biasa mendengar kembali."

Pemuda itu menoleh ke sebelahnya. sepertinya dia adalah asisten pribadi laki laki yang masih asyik dengan minumannya. Pemuda tersebut kembali menoleh ke arah si wanita berambut pirang. "Saya yakin, lima ratus juta untuk Nona bergaun putih itu." Dia kembali menegaskan.

Si wanita tersenyum. "Baiklah, saya akan menghitung barangkali masih ada yang mau menawar." Dia menghitung sampai sepuluh. Akan tetapi, tidak ada lagi yang bersuara. "Baiklah, terjual di lima ratus juta rupiah."

Tampak laki laki yang menawar Laras pertama marah. Dia meneguk minumannya dengan cepat lalu pergi begitu saja. Sementara Laras membuka matanya ingin melihat siapa yang telah menawarnya. Namun, dia tidak sempat melihat siapa orangnya karena dia sudah ditarik turun dari panggung. Gadis itu dibawa kembali ke kamarnya, sayup-sayup dia mendengar acara pelelangan perawan itu terus berlanjut.

Laras mencoba membuka pintu kamarnya. Akan tetapi, papan kayu itu begitu kokoh dan terkunci dari luar. Gadis itu lalu terduduk lemah di lantai dengan mata berembun. Hari ini, apa yang sudah dia jaga selama delapan belas tahun harus diberikan kepada seseorang yang dia tidak kenal. Mirisnya, bukan melalui sebuah pernikahan, tetapi sebuah transaksi jual beli yang dipaksakan padanya.

"Ampun, sakit, Tuan ...."

Laras tersentak. Dia menempelkan telinganya ketika mendengar lenguhan dari balik dinding kamarnya.

"Dasar pela-cur! Aku sudah membayarmu mahal, ke sini kau!"

Lagi terdengar suara keras seorang laki laki. Yang terdengar selanjutnya adalah jeritan tangis seorang perempuan, juga maki-an laki-laki. Namun, suara maki-an itu juga bercampur dengan desa-han juga tangisan.

"Ck, pera-wan itu sangat nikmat. Aku akan mengajarimu bagaimana bercin-ta pela-cur kecil!" Lagi, terdengar suara laki laki tadi di antara desa-hannya. Laki laki itu sepertinya tidak peduli jerit kesakitan si perempuan.

Tubuh Laras merinding membayang bagaimana laki-laki itu memperlakukan perempuan di sebelah kamarnya. Dia bisa memastikan perempuan itu adalah salah satu gadis yang dilelang tadi. Laras memeluk tubuhnya sendiri, membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Tubuh gadis itu menegang dengan tatapan terpasak ke pintu yang gagangnya bergerak. Waktu seolah-olah berjalan lambat baginya ketika sosok Indah muncul bersama para pengawalnya.

"Laras, selamat kau mendapatkan penawaran yang luar biasa." Indah tersenyum lebar menatap Laras yang perlahan berdiri.

"Buk, aku .... aku."

"Sudahlah Laras, berhenti menentangku." Indah memberi isyarat kepada dua pengawalnya untuk membawa gadis itu keluar. "Malam ini kau harus menemani orang yang telah membeli keperawananmu. Bersikap baiklah jika kau ingin Ayahmu selamat."

"A, apa maksud, Ibuk?" tanya Laras menahan tangis.

"Aku baru saja mendapat telepon dari dokter. Ayahmu mendapat serangan jantung kembali dan harus dioperasi secepatnya. Kalau tidak ...." Indah menempelkan tangannya di leher dan membuat gerakan melintang. "Hidup Ayahmu tergantung sikapmu malam ini. Jika aku mendapat telepon tidak menyenangkan darimu maka aku tidak akan pernah mengeluarkan uang untuk operasinya."

Mata Laras membeliak, dia menghampiri Indah dengan cepat dan memegang tangan wanita tersebut. "Jangan, Buk, aku mohon. Aku akan melakukan yang terbaik, tapi selamatkan Ayahku." Dia memohon dengan air mata sudah menetes di pipinya.

Indah tersenyum penuh kemenangan. "Kalau begitu jaga sikapmu, maka semua akan baik baik saja."

Laras mengangguk pasrah. Dia memang tidak bisa lagi melakukan apa-apa selain patuh. Gadis itu mengikuti langkah para pengawal Indah yang mengantarnya menuju mobil. Setelah gadis itu masuk, mobil perlahan lahan bergerak meninggalkan pekarangan rumah Indah. Sepanjang jalan mata Laras menatap kosong ke arah jalanan melalui kaca mobil. Mungkin ini adalah hari terakhirnya menjadi manusia yang memilki kebesasan dan harga diri, karena besok Indah-lah yang berkuasa atas dirinya.

Tanpa terasa mobil yang membawa Laras sampai di depan sebuah rumah besar. Pagarnya yang tinggi terbuka dari dalam. Laras terpana melihat bangunan di depannya berbentuk kastil yang ditumbuhi banyak pepohonan, membuat suasana terlihat mengerikan. Ditambah lagi angin yang berhembus menggoyangkan dahan pohon, seolah olah banyak pasang mata yang mengawasi dari sana.

"Silakan lewat sini." Laki laki yang menyupiri Laras mengarahkan gadis tersebut masuk ke dalam rumah. Lagi lagi Laras menelan ludahnya karena bangunan itu sangat luas. Dia mendongak ke atas dan melihat tangga melingkar seperti ular sampai ke lantai empat. Lampu kristal besar tergantung di tengah tengah ruangan. Laras belum sempat sepenuhnya mengagumi keindahan arsitektur interior dan furniture yang ada dalam bangunan tersebut, sebab laki laki tadi memintanya untuk terus mengikutinya.

Di depan sebuah ruangan yang berada di lantai dua, Laras disuruh masuk karena sang tuan yang telah membelinya berada di dalam sana. Sebelum masuk gadis itu menghela napas dalam dalam, yang terjadi terjadilah. Mungkin ini adalah jalan hidup yang telah ditentukan untuknya. Laras menekan gagang pintu ke bawah lalu masuk. Dia melihat seorang laki laki berpunggung lebar berdiri membelakanginya dan menatap keluar jendela.

"Tuan, gadisnya sudah datang."

"Kau boleh pergi."

Mendengar suara si laki laki yang terdengar berat, Laras menunduk. Dia mendengar suara pintu tertutup, lalu langkah kaki mendekat. Laras bisa melihat ujung sepatu pantofel si laki laki beradu dengan sepatu hak tingginya. Gadis itu memberanikan mengangkat pandangannya. Dia tertegun melihat sepasang mata bermanik hitam pekat yang menatapnya lekat, seolah olah memancang iris matanya tetap terpasak di sana.

"Siapa namamu?" tanya Laki-laki itu.

"La, Laras, Tuan," jawabnya dengan gugup. Laki-laki di hadapannya sangat tampan. Dengan alis tebal membingkai manik mata berwarna lebih gelap dari jelaga, tulang hidung yang tinggi, rahang tegas, dan bibir tipis berwarna merah. Laras yakin laki laki itu tidak pernah merokok, yang membuat gadis itu semakin terpana saat laki laki tersebut tersenyum tipis memperlihatkan satu cekungan di pipi sebelah kanan.

"Nama yang bagus." Laki laki itu memegang dagu Laras dan mendekatkan wajahnya, hingga napas si lelaki yang beraroma alkohol bisa terhidu hidung gadis tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status