Selamat membaca!
Novel ini berisikan perang antara hati dan pikiran yang bisa mengacak-acak emosi kita.
***
Tiga orang tamu baru datang memesan VVIP juga. Kebetulan letaknya tak jauh dengan Ishita dan Afan duduk.
"Ahem, Enggar, duduklah!" titah Intan sambil menarik kursinya.
"Enggar, maaf tadi renacananya mau dimasakin sendiri sama istriku, tapi tiba-tiba penyakit malasnya kambuh, nggak jadi deh!" kelakar Ahem sambil tertawa diiringi Ishita dan Enggar.
"Tidak perlu, jadi merepotkan, begini sudah cukup....santai aja!" bantah Enggar.
Ishita terbelalak kaget, dia mengenal sekali suara mereka. Suara yang familier sekali, dia sangat mengenal suara itu. Perlahan Ishita menoleh ke belakang dan,
"Hah!" pekiknya sontak berpaling dan menyembunyikan wajahnya.
"Mbak Intan? Bagaimana kalau dia tahu aku disini bersama lelaki lain? Dia akan berpikiran aku wanita apaan? Aduh bagaimana ini, apa yang harus kulakukan?" gumamnya dalam hati.
Ishita gugup dan rasanya ingin segera lari meninggalkan tempat itu. Afan menyadarinya.
"Ada apa Ishita?" tanya Afan penasaran.
"Kamu tahu mereka yang baru datang itu? Dia Mbak Intan, kenapa dia datang kesini bersama Pak Raden sih?" gumamnya lirih.
"Kamu kenal Mbak Intan, dia istrinya CEO kita.' Jawab Afan menjelaskan.
"Hah? Pak Raden suaminya Mbak Intan? Apa itu berarti suami Mbak Intan adalah suamiku juga. Apa benar Pak Raden adalah suamiku?" pekiknya dalam hati. Serasa petir menyambar tubuhnya, sebongkah batu menghantam dadanya. Antara sadar dan tidak sadar, tiba-tiba perut melilit seperti kram.
"Ishita, apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu kenapa? Sakit?" tanya Afan.
"Mas Afan, orang yang menyewa rahimku adalah Mbak Intan. Dia menikahkan aku dengan suaminya, apakah itu berarti dia, Mas Afan?" tanyanya berbisik lirih menahan emosi.
"Kamu ini gimana sih, kok bisa tidak tau?" sahut Afan.
"Mereka menginginkan ini mas, aku dibodohi. Mereka berharap aku tidak tahu apa-apa.... licik sekali! Tidak akan kuberikan bayiku padanya!" geramnya sambil memegang perutnya seolah melindungi bayi dalam perutnya.
"Mas Afan, apakah nama CEO kita adalah Ahem Alfarizi?" tanya Ishita ragu.
"Iya, bahkan nama CEO, kamu tidak tahu? Padahal kamu sudah bekerja tujuh bulan di hotel." hardik Afan.
"Selama ini aku hanya tukang cuci di belakang mas. Dan teman-teman hanya memanggilnya pak CEO tanpa namanya. Kami hanya orang kecil tidak bisa berpikir jauh dan tinggi. Sehingga nama CEO bukan hal penting buat aku." Gumam Ishita kecewa.
"Pak Raden, kamu mendekati aku dan berpura-pura menjadi sahabatku, ternyata kamu pengkhianat. Apa yang kamu harapkan dari orang kecil seperti aku? Kamu tahu, saat aku menangis merindukan suamiku dan kamu hanya diam menatapku? Kamu permainkan perasaanku!" geramnya dalam hati diiringi air matanya yang mulai meleleh.
Afan yang menyadari air mata Ishita mulai runtuh, dia segera berbisik,
"Kita secepatnya pergi dari sini!" Afan merangkul pundak Ishita dan melangkah ke luar restoran.
Ahem tak sengaja pandangannya menangkap bayangan Ishita dan Afan.
"Apakah dia Ishita dan Afan?" tanyanya dalam hati. Ahem hanya dapat menatap punggung mereka.
"Sebentar aku mengambil dompetku tertinggal di mobil." Ujarnya kepada Intan berbohong. Dia berlari kecil membuntuti orang yang dicurigai sebagai Ishita dan Afan.
Ahem berlari ke luar dan mobil Afan dan Ishita sedang berlalu pergi. Sehingga Ahem hanya bisa menyaksikannya sekilas.
"Apakah, benar dia Ishita? Apakah dia melihat kami?"
***
"Ishita, apa ini berarti kamu adalah istri simpanan CEO Ahem? Kamu selama ini dijebak dan dibodohi mereka. Dalam pernikahan, kamu tidak dipertemukan suamimu. Bercinta...kamu harus menutup matamu. Kamu sebagai orang kecil yang hanya dipermainkan dengan permainan gila yang tak masuk akal. Kenapa kamu melakukan semua itu, Ishita?" Pekik Afan kesal, ditengah-tengah fokus mengendalikan setir.
"Saat itu aku hanya ingin menyelamatkan nyawa ayahku, tidak lebih." Gumamnya sedih.
"Mereka orang-orang licik, aku tidak akan menyerahkan anak ku padanya." Ancamnya dengan geram kemudian.
"Bagaimana dengan surat perjanjian yang kamu tanda tangani?" sahut Afan.
"Kenapa aku begitu mudah mempercayainya. Tanpa kubaca detail aku menandatanganinya. Betapa bodohnya aku...betapa cerobohnya aku...aku tidak tahu isi keseluruhannya Mas Afan!" sesalnya pada dirinya sendiri.
"Ishita, aku berjanji akan melindungimu, juga bayi kembar kita. Kamu tidak usah takut!" hibur Afan sambil membelai rambut Ishita dengan tangan kirinya.
"Harusnya aku menyadari saat tanganku menyentuh bibirnya tadi pagi, hatiku berkata kalau dia suamiku. Sore tadi saat aku terjatuh dalam pelukannya, aku mencium aroma tubuhnya, dan hatiku berkata kalau itu adalah aroma tubuh suamiku. Kenapa aku tidak yakin pada diriku sendiri. Meskipun sebenarnya Allah sudah memberiku petunjuk?" sesalnya dalam hati. "Orang yang selalu menjagaku sebagai sahabat, ternyata adalah suamiku. Kehidupan macam apa yang sedang kualami ini? Bahkan sinetron pun tidak sepelik ini?" lanjutnya masih melamun.
Apakah Ishita bisa memaafkan Ahem? Dan apakah Ishita bisa menerima Afan?
Bersambung.....
Ishita masih menunduk menangis, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang sahabat, satu-satunya orang yang dipercaya ternyata dia pengkhianat yang menyusup. "Ungkapkanlah seluruh kekesalanmu padaku. Aku siap dan setia mendengarkannya! Agar nanti kamu sampai di rumah, sudah tenang dan bisa tidur dengan nyenyak. Ayo bicaralah aku mendengarkannya!" pinta Afan sambil memarkirkan mobilnya di taman kota. Ishita menangis semakin histeris. Dan Afan meraih tubuh Ishita, di rebahkan kepalanya ke pundaknya. Dia membiarkan tangis itu semakin menjadi. "Menangislah... keluarkan apa yang yang membuat sesak didadamu. Aku akan menemanimu dan mendengarkanmu!" ujar Afan menghibur. "Aku tidak menyangka kalau dia yang ku anggap sebagai sahabatku, ternyata dia adalah suamiku. Aku selalu menangis kepadanya saat aku merindukan Kak
Intan terbelalak kaget, dia tidak mengira kalau Ishita akan dengan tegas mengatakan hal itu. Padahal selama ini dia terlanjur bahagia yang tiada tara, akan mendapat tiga bayi mungil sekaligus. "Apa maksutmu, Ishita?" tanyanya tak percaya. "Mbak Intan menginginkan satu anak dari saya kan, saya akan berikan. Bukan tiga!" hardiknya. "Tapi kamu hamil kembar tiga anak suamiku, Ishita. Tidak mungkin kamu mengasuh dua anak dari suamiku kan? Dia tidak akan membiarkan itu terjadi!" hardiknya. "Memangnya kenapa, apa mbak Intan lupa kalau aku adalah ibunya....apa Mbak Intan lupa kalau Kak Ahem suamiku?" hardiknya balik. Plag! Tamparan yang tiba-tiba mendarat di pipi Ishita dengan kerasnya. "Dasar sundel!" umpatnya berteriak. "Intan?" pekik Indrayana dan istrinya. P
Ishita senang tanpa diminta Ahem bersedia menemaninya bertemu ayahnya. Sejak Herlambang tersadar dari koma, dia ingin bertemu dengan Ishita dan suaminya. Karena keadaan yang tidak memungkinkan membuat Ishita selalu menghindar. Harus dengan sakit begini, baru bisa terpenuhi keinginannya bertemu dengan putri sulungnya bersama suaminya. Kebetulan mereka belum pernah bertemu. Karena koma, maka pamannya, adik dari ayahnya sebagai wali nikah mereka. "Besuk kita berangkat pagi saja ya, sama jam kantor, agar kita santai di perjalanan." Usul Ahem. "Iya Pak Raden, lebih pagi malah enakan sih udaranya dingin." sahutnya. "Iya ya lebih pagi lagi bolehlah, habis subuhan gitu." Ahem menimpali. "Tapi kalau pagi sekali, gimana cara kamu pamit sama istrimu? Pasti dia akan curiga dan kamu akan kena masalah." Ujar Ishita. "Udah itu urusanku, kamu tidak usah ikut memikirkanny
Ahem sudah satu jam lebih melajukan mobilnya. Ishita benar-benar mulai terlelap dalam tidurnya. Sebentar-sebentar tangan Ahem, membelai rambutnya, kemudian mengelus pipinya. "Kamu imut sekali, sayang!" gumamnya lirih. Kemudian tangannya meraba perut Ishita sambil tersenyum dia berkata, "Apa kalian juga tidur seperti mama? Papa nyetir sendirian nggak ada yang menemani sayang....!" keluh Ahem berbisik. Tapi sontak tangan Ishita mendekap tangan Ahem yang sedang menumpang di perutnya. Tangan besar dan kekar itu di dekap semakin erat dengan kedua tangan Ishita yang mungil. Dan Ahem mulai menyatukan jemari tangannya ke dalam jemari Ishita, sambil tersenyum puas. "Kamu sudah bangun Ishi?" tanya Ahem sambil menatap intens Ishita. Ishita tidak menjawab, dia menikmati genggaman jemari kekar Ahem. Sentuhan tangan Ahem sangat membuatnya nyaman dan bahagia. "Kalau begini aku pergi ke
Ahem terperanjat kaget menerima pertanyaan mengenai orang tuanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ahem berpikir, andai ayah Herlambang tahu aku adalah anak dari orang yang menghancurkan hidupnya, apa yang terjadi? "Papa dan Mama saya ada di Amerika, Ayah. Minggu ini mereka akan pulang ke Indonesia. Karena mereka bahagia akan mendapat cucu." Ujar Ahem menjelaskan. "Ini juga cucu yang pertama buat mereka?" tanya Herlambang. "Iya ayah, ini cucu yang pertama kembar tiga pisan. Papa dan Mama sangat bahagia. "Alhamdulillah..... kembar tiga? Benarkah itu Ishi sayang?" tanyanya tak percaya. "Iya Ayah, doakan Ishita sehat ya Ayah! Ishita takut sekali ayah!" keluhnya bersedih. "Jangan takut sayang, aku selalu disampingmu!" kata Ahem lembut dan sayang. "Untung suamimu sayang sekali sama kamu? Kamu tidak usah khawatir! S
Ahem kembali mematuk bibir merona dan sexi Ishita. Bahkan kali ini dia melumatnya, mencurahkan rasa rindu yang lama bergelora. Jantung mereka berdua berdesir, tangan Ishita menggelayut kuat di leher Ahem. Seolah mengungkapkan bahwa dia tak ingin melepas pagutan itu. Bagai magnet yang saling menarik dan tak mau melepas. Akhirnya Ahem membopong tubuh Ishita masuk ke dalam kamar. Perlahan direbahkan tubuh mungil itu di atas kasur sambil terus menikmati pagutan bibir manis dan lembut itu. Ciuman Ahem turun ke leher yang putih. Kini dia bisa mencumbu istrinya dengan menatap tanpa menutup mata seperti beberapa bulan yang lalu. Tapi Ishita masih menikmatinya dengan memejamkan matanya. Perlahan Ahem membuka resleting di bagian dada Ishita. Begitu resleting itu terbuka nampak bra ungu renda-renda amat cantik dengan gunung putih mungil yang indah berisi. Ahem semakin terbakar gairah birahinya. Seluruh tubuhnya bak teraliri
Akhirnya pagi sekali Afan sudah sampai di kantor. Tak lama kemudian disusul Intan. Tok... Tok... Tok... "Pagi Afan?" sapa Intan setelah mengetuk pintu ruangan Afan. "Kamu? Sepagi ini apa yang kamu lakukan disini, Nyonya Intan?" tanya Afan heran. "Ah udah jangan basa-basi! Ini surat nikah, ini akan membantumu." ujar Intan sambil menaruh dua buku nikah. Afan mengambil dua buku nikah itu dan dibukanya dengan penasaran. "Buku nikah palsu? Aku tidak membutuhkannya, untuk apa ini?" ujarnya kesal. "Kamu membutuhkannya Afan. Bagaimana mungkin pernyataan sepihak tanpa bukti? Nanti dikira omong kosong. Coba lihat mana cincin kawin kalian? Ndak punya kan, siapa yang percaya coba?" ujar Intan menyakinkan.
Ahem geram dengan kelakuan Afan dan Intan. Dia yakin bahwa Intan yang paling pandai bersiasat. Ahem bisa menduga apa yang sedang dipikirkan Intan. Dengan cara ini dia menjauhkan dari Ishita. Karena dengan pengumuman di kalangan kantor, berarti membatasi Ahem mendekati Ishita. Karena orang-orang kantor tahunya bahwa Ishita istri Afan. Perjalanan sangat jauh dan melelahkan, tapi tidak membuat Ahem kesal justru ini saat-saat kebersamaan yang langka terjadi. Dia memandang istrinya yang lagi pulas tertidur. Dengan tangan kirinya dia membelai pipi yang halus dan membelai rambut Ishita. Kemudian tangannya meraba perut Ishita dan mengelus-elus nya. "Sayang, kalian lagi pada ngapain? Temeni papa ngobrol dong, biar papa tidak ngantuk?" ujar Ahem masih terus mengelus-elus perut Ishita dan hatinya begitu terharu. "Mama pasti capek gendong kalian bertiga...tuh tidurnya pules banget." Bisiknya kemudian mengelus pip