Ahem sudah membawa Enggar ke hotelnya. Enggar adalah teman sepermainan Ahem waktu kecil, dia sudah seperti saudara laki-laki.
"Istirahatlah dulu di kamarmu! Nanti malam kita ke rumahku, kita makan malam di rumah." Ujar Ahem.
"Iya, aku juga lama nggak ketemu Intan. Aku ikut sedih dengan apa yang menimpa istrimu, Ahem. Kamu jangan khawatir, kamu bisa angkat anak yatim piatu, Ahem. Tidak harus melahirkan sendiri untuk mendapatkan anak." Ujar Enggar menghibur.
"Iya kawan, aku optimis." Katanya sambil menepuk pundak Enggar. "Sudah, istirahatlah dulu, aku meneruskan pekerjaanku sebentar!" lanjutnya, kemudian meninggalkan Enggar di kamar hotel.
Ahem ingin segera masuk ke kantornya, agar bisa menatap wajah Ishita dari jauh. Dia ingin menyaksikan sendiri bahwa Ishita benar-benar baik-baik saja.
Semakin lama menatapnya semakin dia jatuh cinta.&nbs
Ceritanya sangat menarik ,romantis dan Melo menguras air mata.... penuh intrik.
Selamat membaca! Novel ini berisikan perang antara hati dan pikiran yang bisa mengacak-acak emosi kita. *** Tiga orang tamu baru datang memesan VVIP juga. Kebetulan letaknya tak jauh dengan Ishita dan Afan duduk. "Ahem, Enggar, duduklah!" titah Intan sambil menarik kursinya. "Enggar, maaf tadi renacananya mau dimasakin sendiri sama istriku, tapi tiba-tiba penyakit malasnya kambuh, nggak jadi deh!" kelakar Ahem sambil tertawa diiringi Ishita dan Enggar. "Tidak perlu, jadi merepotkan, begini sudah cukup....santai aja!" bantah Enggar. Ishita terbelalak kaget, dia mengenal sekali suara mereka. Suara yang familier sekali, dia sangat mengenal suara itu. Perlahan Ishita menoleh ke belakang dan, "Hah!" peki
Ishita masih menunduk menangis, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat. Seorang sahabat, satu-satunya orang yang dipercaya ternyata dia pengkhianat yang menyusup. "Ungkapkanlah seluruh kekesalanmu padaku. Aku siap dan setia mendengarkannya! Agar nanti kamu sampai di rumah, sudah tenang dan bisa tidur dengan nyenyak. Ayo bicaralah aku mendengarkannya!" pinta Afan sambil memarkirkan mobilnya di taman kota. Ishita menangis semakin histeris. Dan Afan meraih tubuh Ishita, di rebahkan kepalanya ke pundaknya. Dia membiarkan tangis itu semakin menjadi. "Menangislah... keluarkan apa yang yang membuat sesak didadamu. Aku akan menemanimu dan mendengarkanmu!" ujar Afan menghibur. "Aku tidak menyangka kalau dia yang ku anggap sebagai sahabatku, ternyata dia adalah suamiku. Aku selalu menangis kepadanya saat aku merindukan Kak
Intan terbelalak kaget, dia tidak mengira kalau Ishita akan dengan tegas mengatakan hal itu. Padahal selama ini dia terlanjur bahagia yang tiada tara, akan mendapat tiga bayi mungil sekaligus. "Apa maksutmu, Ishita?" tanyanya tak percaya. "Mbak Intan menginginkan satu anak dari saya kan, saya akan berikan. Bukan tiga!" hardiknya. "Tapi kamu hamil kembar tiga anak suamiku, Ishita. Tidak mungkin kamu mengasuh dua anak dari suamiku kan? Dia tidak akan membiarkan itu terjadi!" hardiknya. "Memangnya kenapa, apa mbak Intan lupa kalau aku adalah ibunya....apa Mbak Intan lupa kalau Kak Ahem suamiku?" hardiknya balik. Plag! Tamparan yang tiba-tiba mendarat di pipi Ishita dengan kerasnya. "Dasar sundel!" umpatnya berteriak. "Intan?" pekik Indrayana dan istrinya. P
Ishita senang tanpa diminta Ahem bersedia menemaninya bertemu ayahnya. Sejak Herlambang tersadar dari koma, dia ingin bertemu dengan Ishita dan suaminya. Karena keadaan yang tidak memungkinkan membuat Ishita selalu menghindar. Harus dengan sakit begini, baru bisa terpenuhi keinginannya bertemu dengan putri sulungnya bersama suaminya. Kebetulan mereka belum pernah bertemu. Karena koma, maka pamannya, adik dari ayahnya sebagai wali nikah mereka. "Besuk kita berangkat pagi saja ya, sama jam kantor, agar kita santai di perjalanan." Usul Ahem. "Iya Pak Raden, lebih pagi malah enakan sih udaranya dingin." sahutnya. "Iya ya lebih pagi lagi bolehlah, habis subuhan gitu." Ahem menimpali. "Tapi kalau pagi sekali, gimana cara kamu pamit sama istrimu? Pasti dia akan curiga dan kamu akan kena masalah." Ujar Ishita. "Udah itu urusanku, kamu tidak usah ikut memikirkanny
Ahem sudah satu jam lebih melajukan mobilnya. Ishita benar-benar mulai terlelap dalam tidurnya. Sebentar-sebentar tangan Ahem, membelai rambutnya, kemudian mengelus pipinya. "Kamu imut sekali, sayang!" gumamnya lirih. Kemudian tangannya meraba perut Ishita sambil tersenyum dia berkata, "Apa kalian juga tidur seperti mama? Papa nyetir sendirian nggak ada yang menemani sayang....!" keluh Ahem berbisik. Tapi sontak tangan Ishita mendekap tangan Ahem yang sedang menumpang di perutnya. Tangan besar dan kekar itu di dekap semakin erat dengan kedua tangan Ishita yang mungil. Dan Ahem mulai menyatukan jemari tangannya ke dalam jemari Ishita, sambil tersenyum puas. "Kamu sudah bangun Ishi?" tanya Ahem sambil menatap intens Ishita. Ishita tidak menjawab, dia menikmati genggaman jemari kekar Ahem. Sentuhan tangan Ahem sangat membuatnya nyaman dan bahagia. "Kalau begini aku pergi ke
Ahem terperanjat kaget menerima pertanyaan mengenai orang tuanya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ahem berpikir, andai ayah Herlambang tahu aku adalah anak dari orang yang menghancurkan hidupnya, apa yang terjadi? "Papa dan Mama saya ada di Amerika, Ayah. Minggu ini mereka akan pulang ke Indonesia. Karena mereka bahagia akan mendapat cucu." Ujar Ahem menjelaskan. "Ini juga cucu yang pertama buat mereka?" tanya Herlambang. "Iya ayah, ini cucu yang pertama kembar tiga pisan. Papa dan Mama sangat bahagia. "Alhamdulillah..... kembar tiga? Benarkah itu Ishi sayang?" tanyanya tak percaya. "Iya Ayah, doakan Ishita sehat ya Ayah! Ishita takut sekali ayah!" keluhnya bersedih. "Jangan takut sayang, aku selalu disampingmu!" kata Ahem lembut dan sayang. "Untung suamimu sayang sekali sama kamu? Kamu tidak usah khawatir! S
Ahem kembali mematuk bibir merona dan sexi Ishita. Bahkan kali ini dia melumatnya, mencurahkan rasa rindu yang lama bergelora. Jantung mereka berdua berdesir, tangan Ishita menggelayut kuat di leher Ahem. Seolah mengungkapkan bahwa dia tak ingin melepas pagutan itu. Bagai magnet yang saling menarik dan tak mau melepas. Akhirnya Ahem membopong tubuh Ishita masuk ke dalam kamar. Perlahan direbahkan tubuh mungil itu di atas kasur sambil terus menikmati pagutan bibir manis dan lembut itu. Ciuman Ahem turun ke leher yang putih. Kini dia bisa mencumbu istrinya dengan menatap tanpa menutup mata seperti beberapa bulan yang lalu. Tapi Ishita masih menikmatinya dengan memejamkan matanya. Perlahan Ahem membuka resleting di bagian dada Ishita. Begitu resleting itu terbuka nampak bra ungu renda-renda amat cantik dengan gunung putih mungil yang indah berisi. Ahem semakin terbakar gairah birahinya. Seluruh tubuhnya bak teraliri
Akhirnya pagi sekali Afan sudah sampai di kantor. Tak lama kemudian disusul Intan. Tok... Tok... Tok... "Pagi Afan?" sapa Intan setelah mengetuk pintu ruangan Afan. "Kamu? Sepagi ini apa yang kamu lakukan disini, Nyonya Intan?" tanya Afan heran. "Ah udah jangan basa-basi! Ini surat nikah, ini akan membantumu." ujar Intan sambil menaruh dua buku nikah. Afan mengambil dua buku nikah itu dan dibukanya dengan penasaran. "Buku nikah palsu? Aku tidak membutuhkannya, untuk apa ini?" ujarnya kesal. "Kamu membutuhkannya Afan. Bagaimana mungkin pernyataan sepihak tanpa bukti? Nanti dikira omong kosong. Coba lihat mana cincin kawin kalian? Ndak punya kan, siapa yang percaya coba?" ujar Intan menyakinkan.