Share

7. Di Rumah

Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?"

"Ke mana, Bang?"

"Pabrik."

"Abang kerja di pabrik?"

"Mau lihat pekerja dulu."

"Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"

Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya.

"Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya.

Diperhatikannya gerakan mata Kae yang indah yang tertuju pada pakaiannya. Sungguh aneh, ada orang bertubuh gemuk tapi punya mata indah. Membuat ia merasa, Tuhan menciptakan Kae dengan tidak sia-sia.

"Sudah, Bang." Kalimat ini membangunkan Erick dari lamunan. Bisa-bisanya orang gemuk seperti sang istri membuatnya melamun. Apa aku mulai mengganti selera wanitaku?

"Eh, apa kau bisa menggulung lengan kemejaku?" Pria ini menyodorkan lengannya pada Kae.

Sang istri melirik sekilas dan kemudian mengerjakannya. "Kenapa ngak tangan pendek aja? Kenapa tangan panjang harus digulung?"

Erick tersenyum tipis. "Aku tak suka bentuk tangan pendek yang menggantung. Biasanya longgar. Aku suka baju yang pas."

Kae cemberut sambil melirik suaminya. "Mentang-mentang kurus."

"Lho ... bagus, 'kan, kurus. Kamu tidak ingin kurus?"

Mulut wanita itu makin mengerucut. "Aku mana bisa. Aku sudah dari lahir gemuk." Namun kemudian, wanita itu berhenti melipat lengan kemeja suaminya. Bagaimana ia bisa ingat saat ia dari kecil gemuk, sedang ia sendiri tidak ingat siapa dirinya? "Eh, kok aku tahu aku kecil gemuk, ya?"

Seketika Erick panik. Ia kemudian berdiri sambil menyelesaikan lipatan lengan kemeja yang satu lagi. "Eh, aku berangkat dulu ya. Kamu di rumah saja. Oya, cium pipiku dulu dong." Pria itu menyodorkan pipi kanannya.

Kae wajahnya memerah karena tersipu. Walaupun begitu, ia kerjakan juga. Erick kemudian menyodorkan pipi kirinya. Setelah sang istri mencium kedua pipinya, pria itu bangkit dan merapikan pakaian. "Oya, sebentar." Ia mengingat sesuatu dan pergi keluar.

Tak lama Erick kembali dengan seorang wanita yang berpakaian sederhana berusia matang. "Ini Bik Inah, namanya. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja dia." Pria itu kemudian meletakkan sebuah lonceng dari besi seukuran tangan berwarna emas di atas meja nakas. "Kau bunyikan ini ya, nanti dia datang." Erick sempat membunyikan dengan menggoyang-goyangkan lonceng itu hingga terdengar dentangannya.

"Oh, iya."

Pembantu yang rambut panjangnya di konde ke belakang itu, menganggukkan kepala pada Kae. Kae membalas anggukkannya. Erick beralih pada pembantu itu. "Tolong ya, Bik?"

Bik Inah mengangguk.

****

Setelah sang suami pergi, Kae sendirian di kamar, tapi tak masalah. Erick telah memberinya ponsel baru. Ponsel itu yang dipakainya tadi belanja online, diberi tahu Nina cara pakainya.

Kini ia mencoba membuka aplikasi lain. Wanita itu menemukan aplikasi film dan tivi. Untuk beberapa saat ia menikmati menonton tivi, tapi kemudian bosan. Kae meletakkan benda pipih itu di sampingnya.

Namun tiba-tiba, ia merasa ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sepertinya ia sulit menahan, padahal tangannya hampir saja meraih lonceng di atas nakas. "Ah ...."

****

Erick pulang dan menyadari sang istri berada di sofa ruang tengah. Ia terkejut. Kae menyembunyikan kepalanya karena malu. Pria itu semakin heran. "Kae, kenapa kau di sini?"

Kepala wanita itu kemudian terangkat pelan-pelan. Karena memakai cadar, Erick hanya bisa melihat dari gerak-gerik kedua mata istrinya, kalau ia terlihat takut. Pria itu mendekat. "Kae, kau kenapa?"

Terlihat butir-butir air mata Kae berjatuhan. "Maaf ... maaf."

Erick memeluknya. "Ada apa?"

"A-aku membasahi ranjang," jawab sang istri sedikit gugup.

Pria itu melepas pelukan dengan segera. "Apa?" Namun kemudian ia mengerti apa yang sedang Kae bicarakan. "Oh, kamu pipis di tempat tidur?" Ia hampir tertawa tapi segera ditahannya karena sang istri menunduk makin dalam. Tangan wanita itu mulai mencubiti lengan sang suami dan memukulinya pelan.

"Hei, hei, hei! Maaf. Aku tak bermaksud meledekmu!" Erick berusaha meredam kemarahan sang istri dengan menghindar.

Namun Kae sudah terlanjur kesal. Ia mulai keras memukuli suaminya sehingga Erick terpaksa mendekapnya hangat. "Maaf, ya. Maaf," ucapnya lembut.

Sang istri mulai menangis. Pria itu menghela napas pelan. 'Apa memang wanita seperti ini ya? Padahal dia sangat galak. Atau memang kondisinya yang seperti ini karena itu dia gampang nangis? Hh ... mungkin kondisinya ....' "Maaf ya, kamu jadi dipindah di sini. Spring bed-nya jadinya dijemur?" Erick melepas pelukan.

Kae mengangguk tapi masih menangis. Sang suami mengusap kepalanya. "Ya sudah, tunggu di sini saja." Ia memperhatikan wajah wanita itu. "Sudah dong nangisnya, Kae. Tidak apa-apa. Kalau masih belum kering, kita bisa tidur di kamar yang lain."

Kae menghentikan tangis sambil mengusap sisa-sisa air mata dan mengangguk pelan. Entah

kenapa, Erick menjadi iba dan menarik punggung sang istri ke arahnya. Ia mengusap-usap punggung Kae. "Kau sudah makan malam?"

Sang wanita menggeleng. Melihat Kae bersedih seperti itu, rasanya pria itu ingin memeluknya terus. "Aku sholat sebentar. Kamu tolong minta pembantu siapkan makan malam, nanti kita makan sama-sama."

Kae mengangguk. Erick melangkah ke kamar yang berada di dekat situ. Beberapa menit kemudian, pria itu kembali keluar. Di meja makan telah tersedia makanan untuk makan malam.

Bik Inah tengah merapikan meja. Melihat Erick datang, ia memberi tahu. "Eh, Tuan. Makan malam sudah tersedia. Oya, ada beberapa paket dan sebuah kursi roda, datang, Tuan."

"Oh, pasti itu semua buat istriku. Eh, mana kursi rodanya?"

Pembantu itu memperlihatkan kursi roda yang sudah keluar dari bungkusnya, terlipat rapi dan bersandar di samping sofa yang diduduki Kae. Kemudian ia pamit. Erick begitu senang. Ia membuka kursi roda itu dan memindahkan sang istri ke sana. Pria itu mendorong Kae hingga ke meja makan. "Kita nanti bisa jalan-jalan keluar."

"Iya?" Kedua bola mata sang wanita yang jernih itu, membulat sempurna.

"Mmh." Erick duduk di samping Kae dan mulai mengambil makanan. Ia juga mengambilkan untuk istrinya.

"Kenapa nasiku sedikit?"

"Jangan makan banyak-banyak, Kae. Aku juga makan nasi segitu."

"Itu kurang," gerutu sang istri.

"Kae, kamu tidak kasihan padaku?" Pria itu menatap Kae. "Tubuhmu berat untuk digendong."

"Nanti, 'kan aku sembuh!" Masih merengut.

"Kau tak ingin kurus?"

"Mmh?" Ditanya begitu, Kae bingung.

"Kae, kau tidak ingin menjadi wanita cantik?"

Wanita bercadar ini memperhatikan tubuhnya. "Aku nyaman begini. Untuk apa jadi wanita cantik tapi makan sulit?"

Erick menghela napas sambil memutar bola matanya. "Mmh ... setidaknya pikirkan aku. Berat lho, gendong kamu."

"Mmh ...." Sang istri mulai berpikir.

"Coba ya, kurangi makanmu."

"Nanti kalau aku lapar malam-malam, gimana?"

"Minum saja yang banyak!"

"Apa?" Kae mengangkat alisnya.

"Iya, begitu." Sang pria menyendok lagi lauk untuk makan. "Atau kalau tidak, kau makan buah saja."

"Buah?"

"Iya, buah."

****

Sehabis makan mereka berjalan-jalan keluar rumah. Erick berusaha bersikap baik agar istrinya kelak tidak menuntutnya ketika Kae sudah sembuh. Pria ini ingin berdamai masalah kecelakaan itu.

Rumah yang dimiliki Erick bentuknya lebih mirip vila yang letaknya memang di pinggir kota. Suasana malam begitu indah, banyak pepohonan cemara yang menaungi. Namun ketika bergerak ke arah jalan raya yang ramai, di kanan kirinya banyak orang yang berjualan di pinggir jalan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status