Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?"
"Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya."Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya.Diperhatikannya gerakan mata Kae yang indah yang tertuju pada pakaiannya. Sungguh aneh, ada orang bertubuh gemuk tapi punya mata indah. Membuat ia merasa, Tuhan menciptakan Kae dengan tidak sia-sia."Sudah, Bang." Kalimat ini membangunkan Erick dari lamunan. Bisa-bisanya orang gemuk seperti sang istri membuatnya melamun. Apa aku mulai mengganti selera wanitaku?"Eh, apa kau bisa menggulung lengan kemejaku?" Pria ini menyodorkan lengannya pada Kae.Sang istri melirik sekilas dan kemudian mengerjakannya. "Kenapa ngak tangan pendek aja? Kenapa tangan panjang harus digulung?"Erick tersenyum tipis. "Aku tak suka bentuk tangan pendek yang menggantung. Biasanya longgar. Aku suka baju yang pas."Kae cemberut sambil melirik suaminya. "Mentang-mentang kurus.""Lho ... bagus, 'kan, kurus. Kamu tidak ingin kurus?"Mulut wanita itu makin mengerucut. "Aku mana bisa. Aku sudah dari lahir gemuk." Namun kemudian, wanita itu berhenti melipat lengan kemeja suaminya. Bagaimana ia bisa ingat saat ia dari kecil gemuk, sedang ia sendiri tidak ingat siapa dirinya? "Eh, kok aku tahu aku kecil gemuk, ya?"Seketika Erick panik. Ia kemudian berdiri sambil menyelesaikan lipatan lengan kemeja yang satu lagi. "Eh, aku berangkat dulu ya. Kamu di rumah saja. Oya, cium pipiku dulu dong." Pria itu menyodorkan pipi kanannya.Kae wajahnya memerah karena tersipu. Walaupun begitu, ia kerjakan juga. Erick kemudian menyodorkan pipi kirinya. Setelah sang istri mencium kedua pipinya, pria itu bangkit dan merapikan pakaian. "Oya, sebentar." Ia mengingat sesuatu dan pergi keluar.Tak lama Erick kembali dengan seorang wanita yang berpakaian sederhana berusia matang. "Ini Bik Inah, namanya. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja dia." Pria itu kemudian meletakkan sebuah lonceng dari besi seukuran tangan berwarna emas di atas meja nakas. "Kau bunyikan ini ya, nanti dia datang." Erick sempat membunyikan dengan menggoyang-goyangkan lonceng itu hingga terdengar dentangannya."Oh, iya."Pembantu yang rambut panjangnya di konde ke belakang itu, menganggukkan kepala pada Kae. Kae membalas anggukkannya. Erick beralih pada pembantu itu. "Tolong ya, Bik?"Bik Inah mengangguk.****Setelah sang suami pergi, Kae sendirian di kamar, tapi tak masalah. Erick telah memberinya ponsel baru. Ponsel itu yang dipakainya tadi belanja online, diberi tahu Nina cara pakainya.Kini ia mencoba membuka aplikasi lain. Wanita itu menemukan aplikasi film dan tivi. Untuk beberapa saat ia menikmati menonton tivi, tapi kemudian bosan. Kae meletakkan benda pipih itu di sampingnya.Namun tiba-tiba, ia merasa ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sepertinya ia sulit menahan, padahal tangannya hampir saja meraih lonceng di atas nakas. "Ah ...."****Erick pulang dan menyadari sang istri berada di sofa ruang tengah. Ia terkejut. Kae menyembunyikan kepalanya karena malu. Pria itu semakin heran. "Kae, kenapa kau di sini?"Kepala wanita itu kemudian terangkat pelan-pelan. Karena memakai cadar, Erick hanya bisa melihat dari gerak-gerik kedua mata istrinya, kalau ia terlihat takut. Pria itu mendekat. "Kae, kau kenapa?"Terlihat butir-butir air mata Kae berjatuhan. "Maaf ... maaf."Erick memeluknya. "Ada apa?""A-aku membasahi ranjang," jawab sang istri sedikit gugup.Pria itu melepas pelukan dengan segera. "Apa?" Namun kemudian ia mengerti apa yang sedang Kae bicarakan. "Oh, kamu pipis di tempat tidur?" Ia hampir tertawa tapi segera ditahannya karena sang istri menunduk makin dalam. Tangan wanita itu mulai mencubiti lengan sang suami dan memukulinya pelan."Hei, hei, hei! Maaf. Aku tak bermaksud meledekmu!" Erick berusaha meredam kemarahan sang istri dengan menghindar.Namun Kae sudah terlanjur kesal. Ia mulai keras memukuli suaminya sehingga Erick terpaksa mendekapnya hangat. "Maaf, ya. Maaf," ucapnya lembut.Sang istri mulai menangis. Pria itu menghela napas pelan. 'Apa memang wanita seperti ini ya? Padahal dia sangat galak. Atau memang kondisinya yang seperti ini karena itu dia gampang nangis? Hh ... mungkin kondisinya ....' "Maaf ya, kamu jadi dipindah di sini. Spring bed-nya jadinya dijemur?" Erick melepas pelukan.Kae mengangguk tapi masih menangis. Sang suami mengusap kepalanya. "Ya sudah, tunggu di sini saja." Ia memperhatikan wajah wanita itu. "Sudah dong nangisnya, Kae. Tidak apa-apa. Kalau masih belum kering, kita bisa tidur di kamar yang lain."Kae menghentikan tangis sambil mengusap sisa-sisa air mata dan mengangguk pelan. Entahkenapa, Erick menjadi iba dan menarik punggung sang istri ke arahnya. Ia mengusap-usap punggung Kae. "Kau sudah makan malam?"Sang wanita menggeleng. Melihat Kae bersedih seperti itu, rasanya pria itu ingin memeluknya terus. "Aku sholat sebentar. Kamu tolong minta pembantu siapkan makan malam, nanti kita makan sama-sama."Kae mengangguk. Erick melangkah ke kamar yang berada di dekat situ. Beberapa menit kemudian, pria itu kembali keluar. Di meja makan telah tersedia makanan untuk makan malam.Bik Inah tengah merapikan meja. Melihat Erick datang, ia memberi tahu. "Eh, Tuan. Makan malam sudah tersedia. Oya, ada beberapa paket dan sebuah kursi roda, datang, Tuan.""Oh, pasti itu semua buat istriku. Eh, mana kursi rodanya?"Pembantu itu memperlihatkan kursi roda yang sudah keluar dari bungkusnya, terlipat rapi dan bersandar di samping sofa yang diduduki Kae. Kemudian ia pamit. Erick begitu senang. Ia membuka kursi roda itu dan memindahkan sang istri ke sana. Pria itu mendorong Kae hingga ke meja makan. "Kita nanti bisa jalan-jalan keluar.""Iya?" Kedua bola mata sang wanita yang jernih itu, membulat sempurna."Mmh." Erick duduk di samping Kae dan mulai mengambil makanan. Ia juga mengambilkan untuk istrinya."Kenapa nasiku sedikit?""Jangan makan banyak-banyak, Kae. Aku juga makan nasi segitu.""Itu kurang," gerutu sang istri."Kae, kamu tidak kasihan padaku?" Pria itu menatap Kae. "Tubuhmu berat untuk digendong.""Nanti, 'kan aku sembuh!" Masih merengut."Kau tak ingin kurus?""Mmh?" Ditanya begitu, Kae bingung."Kae, kau tidak ingin menjadi wanita cantik?"Wanita bercadar ini memperhatikan tubuhnya. "Aku nyaman begini. Untuk apa jadi wanita cantik tapi makan sulit?"Erick menghela napas sambil memutar bola matanya. "Mmh ... setidaknya pikirkan aku. Berat lho, gendong kamu.""Mmh ...." Sang istri mulai berpikir."Coba ya, kurangi makanmu.""Nanti kalau aku lapar malam-malam, gimana?""Minum saja yang banyak!""Apa?" Kae mengangkat alisnya."Iya, begitu." Sang pria menyendok lagi lauk untuk makan. "Atau kalau tidak, kau makan buah saja.""Buah?""Iya, buah."****Sehabis makan mereka berjalan-jalan keluar rumah. Erick berusaha bersikap baik agar istrinya kelak tidak menuntutnya ketika Kae sudah sembuh. Pria ini ingin berdamai masalah kecelakaan itu.Rumah yang dimiliki Erick bentuknya lebih mirip vila yang letaknya memang di pinggir kota. Suasana malam begitu indah, banyak pepohonan cemara yang menaungi. Namun ketika bergerak ke arah jalan raya yang ramai, di kanan kirinya banyak orang yang berjualan di pinggir jalan.Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?
Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K
Para pemetik teh terkejut mendengarnya. Terutama gadis itu. Ia telah sempat memarahi Kae hingga wajahnya tegang. Sang gadis tak menyangka, wanita yang berada di dalam saung itu adalah istri pemilik kebun teh tempat ibunya bekerja. Ketika Erick hendak membuka pintu mobil, gadis berkepang dua itu buru-buru meletakkan bawaannya di saung dan mengejar pria itu. Gadis itu membantu Erick membuka pintu. "Terima kasih." Sang pria mendudukkan istrinya ke dalam mobil dan menutup pintu. Beberapa pemetik teh mendekat. Mereka melihat iba pada Erick dan Kae. Mereka tidak tahu bos mereka punya istri lumpuh. "Sakit apa, Pak?""Apa kecelakaan?""Eh ...." Erick tersenyum. "Do'akan saja biar cepat sembuh, ya?" Kemudian ia naik ke mobil. Satu-satu orang mulai berdatangan keluarga yang membawa makanan untuk pekerja teh, tapi para pemetik teh pandangannya hanya tertuju pada mobil Erick. Mereka mengiringi mobil hingga bergerak menjauh. Mereka juga melambaikan tangan. "Cepat sembuh ya, Bu!""Semoga cepa
Entah kenapa Kae kadang-kadang membuatnya kehilangan kontrol diri dan nyaman bersamanya. Namun setiap Erick mengingat apa yang sudah ia lakukan pada istrinya, ia berubah menjauh. Pria ini berusaha mengingatkan pada dirinya bahwa ia sedang berpura-pura. Tidak ada cinta di antara mereka kecuali antara pelaku dan korban yang suatu hari akan ketahuan juga. Demi hari itu datang, ia harus membuat Kae bahagia atau wanita itu akan menuntutnya. Erick masih ingat betapa dari mulut wanita ini keluar kata-kata yang menyakitkan yang membuat ia merasa semakin bersalah dalam menjalani hidup. Ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki, pun juga membantahnya karena ia tak punya orang tempat bertanya. Dulu, ibunyalah yang selalu menanamkan agar dirinya menjalankan agama dengan benar tapi sekarang .... Pria itu melambaikan tangan seiring ia pergi keluar rumah. Sebenarnya, menjalankan kehidupan berumah tangga, ia sendiri tak yakin karena hal ini. Ia butuh tempat berpegang padahal ia adalah kepala rumah tan
Kae berusaha berenang ke permukaan. Sepertinya airnya tak terlalu dalam. Ia berenang hanya mengandalkan tangan karena kakinya tak bisa digerakkan. Saat Kae menaikkan kepala, kursi rodanya ikut tercebur dan menimpa kepala. "Ah!" Kepalanya terasa sakit tapi ia tetap berjuang untuk naik kembali. 'Bang ... tolong aku!' teriaknya dalam hati. Namun kursi roda yang berat yang menimpa tubuh lumpuhnya dari atas mau tak mau terus menekannya ke bawah. Arus yang bergerak pelan juga tak membantu. Perlahan tubuh Kae turun ke bawah. Ketika ia coba berenang ke samping, rupanya bajunya terjepit di roda kursi roda itu. Segala upaya sudah dicoba agar ia bisa lepas tapi ternyata sia-sia. Ia juga mulai kehabisan oksigen. Akhirnya tubuhnya lemas karena mulai menghirup air. 'Bang. Bang Erick ....' Tangannya berusaha menggapai ke atas. Tepat saat itu seseorang masuk ke dalam air dan mendatanginya. Erick datang dan segera menarik istrinya ke permukaan. Namun usahanya sedikit tertahan karena baju Kae ters
Sesekali Kae masih diurut oleh seorang tukang urut wanita yang didatangkan ke rumah. Sebulan kemudian ia sudah bisa berdiri. Kemudian ia ikut terapi belajar berjalan di rumah sakit dan Erick selalu menemani. "Ayo, sedikit lagi, Sayang," sahut pria itu yang memegangi istrinya dari belakang. Kae tengah berpegang pada dua buah besi di kiri kanannya dan kakinya saat ini hanya bisa bergeser. Itu pun butuh usaha yang keras. "Capek, Bang," keluhnya. "Dikit lagi, Sayang. Nanti kalau kamu sampai ujung, kita makan steak ya. Aku ketemu restoran steak yang enak di jalan dekat sini.""Iya, Bang?" Seketika Kae bersemangat. Erick yang berada di belakangnya tersenyum lebar. Ia tahu cara membujuk istrinya. Itu sangat mudah. Bicara saja tentang makanan enak, semangatnya langsung full. Kae bekerja keras dengan menggerakkan kaki kanannya ke depan dan akhirnya selesai. Ia tersenyum puas dan sang suami memeluknya dari belakang. Pria itu sangat senang bisa menemani istrinya setiap sore ke rumah sakit.
Kae mencubit tangan sang suami yang sedang mendorong dirinya sambil tersenyum lebar. "Sombong sekali kamu, Bang."Erick tertawa demikian juga Kae. Mereka sampai di mobil. Seorang satpam membukakan pintu ketika Erick menggendong Kae. Pria itu juga membantu memasukkan kursi roda Kae yang sudah dilipat ke dalam mobil. "Terima kasih." Erick kemudian masuk ke dalam mobil dan menoleh pada sang istri. "Kae pakaianmu sudah banyak yang sudah kebesaran. Sebaiknya kau beli lagi saja yang baru, yang pas dengan ukuran tubuhmu.""Padahal baju itu masih baru," rajuk istrinya. "Tidak apa-apa. Simpan saja. Barangkali nanti terpakai saat kamu hamil."Kae melirik suaminya. Erick pun salah tingkah. Tidak seharusnya ia membicarakan hal itu karena mereka bahkan belum pernah melakukan malam pertama. "Eh, Bang ....""Eh, kita berangkat saja. Nanti kesorean," potong Erick yang segera menyalakan mesin mobil. Ia tidak mau keadaan menjadi semakin canggung. Mobil pun bergerak melewati pagar rumah yang tinggi
Jessica mengangguk mengerti dan menerima map yang diserahkan bosnya. Ia kemudian pamit sambil masih melirik ke arah Kae. Sekretaris itu masih belum mengerti bagaimana Erick bisa memilih wanita bercadar itu sebagai istri, padahal hidupnya dulu sebagai artis dikelilingi banyak wanita cantik. Setelah sekretarisnya pergi, pria itu menoleh pada Kae. Erick kemudian mengambil jas yang tergantung di sandaran kursi dan membawanya ke sofa tamu. Ia menghampiri sang istri dan menyelimuti tubuhnya dengan jas miliknya. Erick membungkuk tepat di depan wajah Kae yang tertidur lelap. Ia merapikan cadar wanita itu. 'Kalau sedang tidur begini, aku tak bisa melihat matanya yang cantik itu, tapi tidak apa. Sejak dia kurus, wajahnya semakin terlihat manis saja.' Pria itu mengusap kepala sang istri dengan lembut. 'Ayo, kerja lagi!' Erick kemudian bangkit dan kembali ke meja. ****Hari telah malam, saatnya untuk tidur. Erick masuk ke dalam selimut di mana Kae sudah menantinya. Baru saja ia menarik selimu