BASKARA’s POV Aku dan Pak Gun sekarang berada di IGD rumah sakit keluarga. Untung saja dokter jaganya adalah sepupuku sendiri. Kuharap insiden ini tidak akan sampai ke luar sehingga terekspos media. Jika ada satu media saja yang tahu, pasti berita akan digoreng hingga menimbulkan skandal yang tidak-tidak nantinya. Tentunya akan mengancam posisi papa di pemilu sebentar lagi. “Bagaimana keadaannya, Dok?” Aku memperhatikan Bayu yang masih belum siuman. Tadi dia sempat mengatakan sesuatu, kemudian dia tak sadarkan diri lagi. “Ini kami sedang observasi dulu. Tadi memang pasien sempat siuman sebentar, lalu tak sadarkan diri lagi. Dari luar, tampak memang benturannya cukup keras. Sepertinya dia dipukul oleh benda tumpul.” Penjelasan dokter seakan lebah berdengung di telingaku. Aku teringat pada Andini yang tadi ketakutan bersembunyi di ruang studio kerjaku. Jelas ini ada hubungannya. Belum sempat aku bertanya lebih jauh, Pak Gun sudah terburu-buru mengajakku ke sini. Pakaian yang dike
ANDINI’s POV Keterangan Baskara perihal Bayu tidak membuatku bertambah tenang, justru semakin gusar. Dia malah memojokkanku sepulangnya dari rumah sakit. Tubuhku meringkuk kembali di sofa panjang ruang kerja ini. Sebetulnya sebelum Baskara pulang aku sempat membayangkan bagaimana nanti jika Bayu meninggal dunia setelah kena pukulanku. Untunglah dia masih hidup. “Andini, masuklah ke kamarku sekarang.” Baskara yang tadinya sudah di kamar tidurnya, kini bangkit kembali dan memanggilku. “Aku tahu kamu belum tidur. Jangan pura-pura kamu.” Lanjutnya sambil mendekatiku. Aroma sabun mandinya menguar ke seluruh ruangan. Aku bisa merasakan nafasnya begitu dekat dengan wajahku sekarang. Mataku tetap kuusahakan untuk terpejam dan tak bergerak. Nafasku kuatur sedatar mungkin. Aku tak ingin membuatnya semakin curiga. Tapi Baskara sudah terlalu baik mengenalku. Dia tahu aku tidak benar-benar tidur. “Andini… aku mau kamu menemaniku malam ini… aku sudah lelah berjam-jam mengurusi Bayu akibat ula
ANDINI’S POV “Ada apa lagi, Tuan?” Aku bertanya pada Baskara yang sedang menikmati secangkir kopi di studio kerjanya. Setibanya di kamarnya, aku melihat wajahnya yang masih terpaku pada sebuah kertas dengan coretan tangannya. “Nada bicaramu sangat sinis, Andini.” Gumamnya sambal terus mencoret-coretkan pensil di kertas itu. “Maaf…” Kataku. “Andini, kenapa semalam kamu pergi saat aku terlelap?” Pertanyaan itu diungkapkannya seolah aku adalah pelaku kejahatan yang telah membuatnya celaka. Mengapa harus menginterogasiku untuk urusan yang tidak penting begini. “Baju saya kotor, saya mau ganti… juga mandi di kamar.” Jawabanku tak membuatnya merasa puas. Pasti dia akan menemukan celah lagi untuk menyalahkanku. Kedua matanya menyipit dengan dahu yang mengernyit. “Hah, asalan saja kamu ini…” Dia meletakkan pensilnya lalu dengan cepat menarikku ke pangkuannya. “Cobalah Andini, sekali-kali kamu itu bisa menjadi istri yang baik…” Apa aku tidak salah dengar? Menjadi istri yang baik? Bu
BASKARA’S POVSelepas aku menyelesaikan meeting di kantor, Pak Gun memberikan informasi bahwa Laura dan mamaku sudah sampai di rumah. Ini luar schedule jadwal kedatangan mereka yang seharusnya akan datang di malam hari. Aku baru menyadari kalau ponselku mati sejak siang tadi.Rasa rindu yang terpendam membuatku seperti tersihir. Setelah sampai ke parkiran bawah, aku memacu mobilku agar segera sampai rumah. Beberapa hari terakhir aku sangat merindukannya, mungkin sebab itulah aku menjadikan Andini sebagai pelampiasanku.“Sayang…” Suara Laura sudah mulai membangkitkan gairahku untuk segera memeluknya.“Hei… I miss you, Sayang.” Balasku sambil terus memacu kecepatan.Aku sudah tak sabar lagi untuk bertemu.“Miss you more.” Laura mendesahkan suaranya.“Aku sudah hampir sampai rumah, kok. Ini sebentar lagi… tunggu aku ya…” Kataku.Seandainya jalanan ini bisa kulipat, niscaya akan aku lakukan agar segera sampai tujuan.“Iya, hati-hati di jalan ya… aku tunggu kamu… hmmm, aku juga sudah mandi
ANDINI’s POV Akhirnya kami tiba juga di villa saat hari sudah gelap. Matahari sudah turun ke peraduannya sejak tadi. Kedua tanganku menelingkup di atas bantal yang kubawa dari mobil. Renovasi villa memang belum sepenuhnya selesai. Masih ada bagian atap depan yang rusak karena terkena pohon depan yang roboh saat hujan dua minggu lalu. Untungnya kamarku sudah selesai dan tidak ada bagian yang berlubang lagi. Kupastikan pohon-pohon dahannya sudah aman dan tak lagi berdekatan dengan bangunan villa. Ukuran pohon yang berumur sudah cukup tua memang rawan patah dahan dan rantingnya bila terkena angin atau hujan. “Mbak Andini, kamar sudah selesai ternyata…” Mak Ijah tersenyum lega melihat renovasi villa sudah hampir sempurna. Aku mengangguk. “Mbak Andini kedinginan? Dari tadi saya perhatikan memeluk bantal terus… atau sedang tidak enak badan? Masuk angin?” Mak Ijah memang selalu paling khawatir padaku. Pak Gun tidak ikut kami karena masih harus bertugas di rumah utama. Digantikan sopir
ANDINI’s POV Aku terkejut denga napa yang dikatakan Bu Bidan barusan. Apa? Forum jual beli bayi? Bayangan pertama yang muncul adalah bayi-bayi kecil yang masih merah lantas dibawa oleh sekelompok mafia untuk diambil organnya. Isu yang marak akhir-akhir ini. Aku menelan ludah sendiri. “Usia kandungan Mbak Andini sudah hampir tiga bulan…” Ungkap Bu Bidan seraya memberikan sebuah vitamin untuk aku minum. Meski aku belum bisa percaya sepenuhnya dengan berita yang aku dengar. “Apa maksud Bu Bidan dengan forum jual beli bayi tadi?” Tanyaku. Tanganku masih lemas saat ingin menggerakkannya. Aku tiba-tiba dihadapkan pada hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. “Oh, maaf… saya salah ngomong. Maksudku, ada orang tua-orang tua yang biasanya bisa mengadopsi bayi untuk dirawat.” Sorot matanya berubah. Tapi aku masih tak bisa percaya pada kalimatnya. “Oh begitu ya Bu…” Mak Ijah yang berada di ruangan sebelah belum tahu soal ini. Hatiku gamang apakah aku sebaiknya memberi tahu beliau at
Baskara’s POV Setelah berkali-kali mencoba untuk menghubungi istriku, akhirnya usahaku membuahkan hasil. Laura mau mengangkat teleponku dan bicara padaku. Memang dia belum sepenuhnya menerima kenyataan dan belum mempercayaiku lagi, tapi ini adalah sebuah awal yang baik untuk mengembalikan hubungan kami seperti semula. “Kamu sudah makan?” Tanyaku saat kami mengobrol lewat voice call pagi-pagi. “Sudah. Kamu bagaimana?” Dia menanyakan keadaanku, artinya dia sudah mulai perhatian kembali. Untuk saat ini aku harus bersabar di tiap kalimatnya belum ada nama panggilanku atau gelar kata ‘sayang’ seperti dulu. “Aku? Aku belum makan. Karena istriku belum pulang.” Jawabku sambil tersenyum namun nada bicaraku sedikit sedih. Dia tidak bisa melihat bagaimana eskpresiku yang sesungguhnya. “Hmm… kasihan…” Laura bergumam. Aku sempat mendengarkan dia tertawa geli dengan kalimatku tadi. Pembicaraan sedikit canggung. “Laura, minggu depan aku akan mengikuti meeting dengan investor di Swiss. Apa k
ANDINI’S POV Pertemuan kali ini terasa berbeda dari sebelumnya. Kondisi ibuku memang sedikit menurun. Awalnya beliau tak mau bercerita soal apa yang sebenarnya terjadi setelah kami berpisah beberapa waktu lalu. Tak dinyana sebelumnya, Paman Adi telah menjual Perusahaan keluarga kami dan beliau katakan kalau hutang belum bisa lunas setelah Perusahaan dijual. Uang yang diberikan oleh pihak keluarga Baskara rupanya juga masih diperlukan untuk membayar hutang keluarga kami. “Iya, Andini. Total terakhir yang keluarga kita terima adalah seratus juta. Dan katanya sisa uang yang seharusnya diberikan pada kita di akhir kontrak, Paman Adi sudah memintanya…” Jelas ibuku saat kami bertemu. Aku masih belum menegrti kenapa Paman Adi melakukan keputusan ini secara sepihak dan tidak memberitahuku terlebih dahulu. “Bagaimana dengan pembiayaan kontrol Ibu ke rumah sakit dan biaya obat?” Tanyaku sambil termenung sendiri. Melihat ibu yang sedang mendapatkan ujian semacam ini, aku tak bisa menambah