POV MarniKesal, tentu saja. Dipaksa pandai menyetir langsung paraktek di waktu yang sama lalu ujung-ujungnya menabrak tembok dan bagian depan mobil hancur. Apa Mas Anto lupa? Bahwa aku adalah orang kampung yang bahkan baru bisa menggunakan HP untuk hal-hal yang sederhana. Aku baru bisa menelpon dan SMS saja, tidak mengerti menggunakan internet. Lalu dalam hitungan hari, dia telah menyerahkan stir mobil padaku. Nampak betul dia tidak sungguh-sungguh. Belum lagi cara mengajarinya yang tak sabar sambil marah-marah. Aku malah menangkap marahnya dari pada ilmunya.Kulangkahkan kakiku, tak peduli dengan beberapa tukang ojek yang menawarkan jasa mereka. Tidak, aku tak mau lagi berakhir seperti waktu itu, dimanfaatkan orang dan hampir diperkosa, aku bahkan sering mimpi buruk terbayang wajah pria itu sampai saat ini.Sial beribu sial, sandal jepitku putus. Saking kesalnya, kubanting benda itu ke trotoar, seakan yang kubanting adalah Mas Anto. Semen trotoar yang panas tak kuhiraukan. Aku tau,
POV AntoAku tak bisa menahan tawa dengan pemandangan yang ada di depanku. Tak peduli dengan tatapan garang Marni yang terlihat seperti kucing tercebur, bagiku ini sangat lucu melebihi menonton film komedi. Marni handal membuat kejutan yang menakjubkan, dia bisa menjungkir balikkan emosiku dengan apa yang dilakukannya.Bahkan sejak empat bulan kami menikah, baru kali ini aku melepaskan tawa yang membuat perutku sakit. Lihatlah dia! Tak hanya aku yang tertawa, beberapa orang tak sengaja menengok pun menyembunyikan senyumnya agar Marni tak tersinggung. Hanya aku yang melepaskan tawa begitu saja.Marni sudah bangun dari got, air kotor dan lumpur bercampur sampah meluncur dari bajunya. Motor masih tergolek tak berdaya di tepi lapangan. Kulihat dia cemberut dengan bibirnya yang maju beberapa senti. Ya ampun, bahkan lumpur menempel di pipinya serta ada sampah makanan ringan menempel di jilbabnya, aku semakin sakit perut melawan tawaku. Selain lucu, pasti bau sekali. Berapa banyak pembuanga
POV AntoMarni bergayut ke leherku karena kakinya belum bisa dipijakkan secara utuh, jarak kamar mandi pun agak jauh dari ruang tamu kami. Terpaksa aku menuntunnya melewati lorong dan dapur terlebih dahulu.Tibalah saatnya momen yang paling menggelikan, saat aku harus membantu membuka celana Marni karena dia tak bisa membungkuk dan menekuk kakinya terlalu kencang."Pegangan!" perintahku. Marni mengangguk, aku membungkuk dan saat itulah keseimbangan Marni hilang, dia yang mengandalkan sebelah kakinya untuk berdiri utuh malah jatuh menimpaku, kami jatuh berhimpitan di kamar mandi. Ini bukan suasana romantis bagaikan film, karena Marni menjerit saat lututnya menghantam lututku. "Sakiiiiit," jeritnya. Air matanya sampai keluar. Aku sampai tak tau berniat apa dengan kesialan bertubi-tubi hari ini. "Kakimu kena?" tanyaku memastikan. Marni mengangguk. Benar saja, lututnya yang tadi lukanya telah tertutup terbuka lagi, mengeluarkan darah yang cukup banyak.Kunaikkan lagi celana panjang Mar
POV MarniDi rumah mertua, tentu sangat berbeda dengan di rumah kita sendiri. Apalagi ibu, dia adalah orang yang sangat disiplin soal kebersihan, satu jam dengannya yang disertai omelan, berasa setahun bagiku.Sudah tiga hari aku di sini, dan selama tiga hari berturut-turut pula tukang pijat datang. Katanya pagi ini adalah pagi terkahir aku dipijat."Mar, jangan kebanyakan di tempat tidur, kamu perlu berlatih berjalan agar otot kaki kamu tidak kaku."Tiba-tiba ibu muncul. Dia menyibak gorden sehingga cahaya masuk ke dalam kamar."Setelah bangun tidur, jendela harus dibuka, agar udara baru masuk ke dalam kamar," tambah ibu lagi."Baik, Bu," sahutku."Jalannya nggak usah jauh-jauh, mumpung matahari belum tinggi, berjalan saja di sekitar rumah, sekalian berjumpa dengan tetangga lain," kata ibu lagi, setelah itu berlalu ke arah dapur.Aku bangkit, memijakkan kaki kiri yang masih ngilu. Sejak di rumah ibu, tak sekali pun kubuka jilbab karena malu dengan rambutku yang baru tumbuh.Ayah seda
POV Marni "Eh, istrinya Anto, kan?"Aku menoleh, wanita itu tak lain adalah wanita yang bertamu ke rumah Ibu mertuaku, dia sengaja mendekatiku setelah keluar dari salon. Tampaknya, tanpa kusadari, kami telah berada di salon yang sama. Kulihat dia yang tersenyum tanpa beban dan sangat percaya diri, rambutnya yang panjang meriap ditiup angin sore. Dia memakai gaun berenda sepanjang lutut bewarna putih sepatu hak tinggi yang bewarna putih juga."Benar," sahutku datar. Seharusnya kami tak usah saling sapa, apa gunanya? Apakah dia ingin memperjelas bahwa dia adalah mantan kekasih Mas Anto? Aku bukan lagi Marni yang akan merelakan Mas Anto begitu saja. Yang dikatakan ibu mertua benar, aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan."Bisa kita bicara sebentar?" tanya dia masih memasang senyum yang bagiku tak berpengaruh itu. Aku mengikutinya, ia duduk di depan salon, sebuah kursi santai yang sengaja diletakkan di sana, mungkin sebagai pilihan lain bagi tamu yang ingin disuguhkan pemand
POV AntoApa yang barusan terjadi? Aku sendiri tak bisa berpikir jernih sampai saat ini. Saat keputus asaan menjadi sebuah kemarahan yang malah diperciki api hasrat yang tak kusadari. Awalnya kusangka, aku takkan bisa menjalankan fungsiku sebagai seorang laki-laki, awalnya kukira aku adalah pria yang telah mati rasa tak tertarik terhadap keindahan raga seorang perempuan. Namun, kebrutalan malam ini mematahkan anggapan yang ternyata keliru. Aku normal, walaupun mengenalinya dengan cara yang kasar pada Marni.Seharusnya Marni diam saja. Jujur, sejak pemberhentian kemaren, aku bahkan tak bisa menelan nasi, aku merasa impian yang telah kurencanakan dan kususun hancur sudah. Karirku terhenti dan aku harus menerima kenyataan baru, penhangguran.Bukankah harga diri paling lemah bagi laki-laki saat dia menerima kenyataan akan menjadi pengangguran? Takkan ada kepala keluarga yang akan langsung siap dengan kenyataan itu, termasuk aku. Berulangkali Doni meyakinkan, bahwa dengan pengalaman yang k
POV Anto"Kau datang sendiri?" tanya Ibuku saat aku sampai di rumah. Ditinggalkan Marni, membuatku tak betah di rumah. Sebuah kebiasaan, aku yang meninggalkannya, sekarang dia yang meninggalkanku, rasanya aneh."Dia ke rumah adik-adiknya, mau di sana beberapa hari katanya. Mungkin sudah rindu dengan mereka."Tentu saja aku takkan mengatakan apa yang sejujurnya terjadi, itu sangat sensitif dan memalukan. Cukup Marni dan aku yang tau. Akan tetapi, bagaimana jika dia malah menceritakan pada adik-adiknya? Aku mendadak gusar."Oh, baguslah! Sesekali dia memang harus ke rumah adik-adiknya, biar diajari juga mereka. Kasihan, nanti setelah nikah adik-adiknya bisa seperti Marni juga. Kalau dapat suami dan mertua yang sabar, ya syukur. Kalau tidak, dia bisa diceraikan. Ibu dulu sebenarnya tak suka padanya, tapi karena kau dan Marni berjodoh, mau tak mau Ibu harus berlapang hati menganggap dia seperti anak sendiri."Ini entah yang keberapa kali Ibu mengatakan hal yang sama. Apa yang dikatakan Ib
POV MarniTak mudah memang, menahan perasaan yang berperang dalam hati. Antara rindu dan harga diri, salah satu dari yang dua itu harus menang, pulang untuk menuntaskan rindu dan mengorbankan harga diri, atau tetap di sini dengan harga diri tapi menahan rindu. Aku bahkan hampir menyerah di hari ketiga. Terbayang, bagaimana dengan makan malam Mas Anto? Atau sarapannya? Dia memang bisa bersih-bersih tapi tak bisa memasak. Tidak mungkin dia akan makan terus di rumah mertua, walaupun Mas Anto orangnya kadang menyebalkan, dia takkan membongkar aibnya sendiri di depan ibunya.Seringkali aku berubah pikiran, dan nerniat pulang ke rumah tanpa dijemputnya. Akan tetapi aku belum siap menerima kekecewaan kembali, bisa saja Mas Anto tak menginginkan kehadiranku, seperti yang pernah dikatakannya. Atau dia malah nyaman? Bisa saja dia nyaman, buktinya dia tak menampakkan batang hidungnya sampai saat ini.Kulihat ke ujung jalan, jalan besar yang selalu dilalui orang yang mau ke luar atau masuk dari