POV AntoBagaimana aku bisa mengenal Marni? Kami tak sempat berkenalan, bahkan kami hanya bertemu di prosesi akad nikah, aku mempercayakan semuanya pada Ayah saat itu. Dalam pemikiranku saat itu, Marni seperti manusia normal pada umumnya, layaknya wanita biasa. Bukankah dia kakak dari enam orang adik dan yatim piatu pula, artinya dia bisa jadi teladan bagi adik-adiknya sendiri.Masih ingat waktu itu, saat pulang dari luar kota, Ayah memanggilku secara khusus. Ibu mendampingi Ayah dengan wajah kusut, dari awal pembicaraan sampai akhir, Ibu lebih memilih menutup mulutnya. Aku tau betul, wajah ibu menunjukkan dia tengah marah."Sudah berapa umurmu, Anto?" tanya Ayah, pertanyaan yang sering kudengar dari Ibu tapi kuabaikan. Kali ini tampaknya Ayah langsung turun tangan. Artinya ini sudah sangat serius dan mendesak."Beberapa bulan lagi tiga puluh enam." Aku berkata jujur, bahkan tak lama lagi sudah empat puluh. Sudah cukup tua untuk ukuran laki-laki yang masih melajang."Rudi itu temanmu,
POV Marni"Eh, Marni, tumben keluar dari sarang," sapa seorang wanita muda yang kutak tahu namanya, teman-temannya yang lain menatap ka arahku, dengan pandangan yang sama. Pandangan mengejek. Aku hanya bisa menunduk menghindari tatapan mereka.Memang, selama tinggal di sini, aku tak pernah keluar rumah. Segala kebutuhan rumah tangga, sudah ada yang mengantar. Entah dengan alasan apa, Mas Anto sengaja memberhentikan dia yang biasa ke pasar dan membantu membelikan kebutuhan rumah tangga.Saat ini, aku kehabisan sabun cuci. Warung sebenarnya dekat, hanya dipisahkan tiga rumah dari rumah kami. Terpaksa kupergi ke sini.Entah mengapa, mereka kenal dengan namaku, sedangkan aku sama sekali tak mengenal mereka."Kirain, lagi teler karena hamil muda, makanya takut kena cahaya matahari," tambah seorang wanita muda berdaster ungu."Bukan hanya takut melihat matahari, dia juga takut melihat orang," timpal ibu-ibu berbaju blus putih."Ah, berarti sama seperti vampir. Hahahaha." Mereka tertawa. Ra
POV MarniAku menghela nafas lega saat Mas Anto kembali ke rumah. Wajahnya masih setegang tadi, dia masuk tanpa melihatku sama sekali. Pasti terjadi sesuatu yang menjengkelkan hatinya. Mas Anto persis ibunya, saat emosi tak bisa menyembunyikan raut wajahnya.Aku penasaran apa yang telah terjadi, apa tujuan Mas Anto menemui ibu-ibu itu. Tak terbayangkan, Mas Anto menghadapi beberapa wanita yang bermulut tajam.Tanpa meminta persetujuannya, aku mengekor di belakang Mas Anto, mengikuti langkah kakinya ke kamar. Kuhirup aroma wanginya yang sudah kuhafal, dalam keadaan apa pun dia selalu segar."Mas," sapaku. Aku berdiri di ambang pintu kamar, tak berani ikut masuk. Kondisi Mas Anto sedang tak baik, dia bisa saja mengomel seperti ibu mertua.Mas Anto melihatku sekilas, lalu kembali dengan cermin di depannya. Dia menyisir rambutnya yang masih terlihat rapi itu.Aku hanya bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada Mas Anto."Ada apa? Kau mau menanyakan sesuatu?"Aku menimbang, mencari ka
POV Marni"Saat kau dipegang laki-laki, tendang selangkangannya!"Di tengah rasa putus asa, tiba-tiba terngiang kalimat ibu beberapa tahun yang silam, saat adikku Leni menjadi korban pelecehan teman-teman sekolahnya. Tangan pria itu telah singgah di bahuku, wajahnya mendekat dan aku semakin terdesak ke lantai angkot. Dengan nyali yang tersisa, kuangkat lututku, lalu menendang selangkangan pria itu sekeras mungkin. Pria itu melolong kesakitan, kesempatan itu kugunakan untuk melarikan diri. Aku tak menghiraukan sandal jepit yang tertinggal di dalam angkot. Tanpa alas kaki, kuberlari sekencang-kencangnya, tak ada kendaraan satu pun, jalan ini sepertinya dibuat bukan untuk dilalui angkutan umum.Beberapa menit berlari, aku sampai di jalan raya. Kupegang lutut yang rasanya sangat lemas dan gemetar. Hampir saja, jika saja akal itu tak muncul mendadak, aku yakin telah menjadi korban perkosaan. Alangkah malangnya nasibku jika itu terjadi, kupastikan aku takkan bisa lagi menatap dunia, setel
POV AntoMemberhentikan orang yang biasa melayani dan membeli kebutuhan rumah, memang sengaja kulakukan. Selain mengubah kebiasaan joroknya, aku juga mengubah Marni agar lebih mandiri dan tak bergantung pada orang lain. Entahlah! Aku merasa, Marni perkembangannya lebih lambat dari usianya, dia sudah dua puluh enam tahun, bahkan di usia segitu, wanita telah memiliki dua anak. Sifat perasa dan sering merajuk, atau suka meneteskan air mata pada hal-hal kecil, menjadi pemandangan yang setiap saat kudapati. Contohnya tadi siang, saat aku mengatakan sengaja memberhentikan orang itu, supaya Marni bisa belajar pergi ke pasar untuk belanja, dia langsung pergi dengan menampakkan wajah merajuk. Padahal aku belum selesai bicara, dia sudah pergi meninggalkan rumah. Sebuah sikap yang bagiku sangat kekanak-kanakan.Ingin kutahan langkahnya, akan tetapi, kuingin melihat sejauh mana keras kepala Marni kali ini. Orang yang keras kepala kadang ada kalanya dibiarkan agar jera sendiri.Tiga puluh menit
POV MarniBeberapa hari kemudian, aku menelpon supir Ayah mertua meminta beliau mengantarku ke rumah adik-adikku. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya dua puluh menit jika memakai mobil.Kami tinggal di kecamatan yang sama dengan Mas Anto. Namun, wilayahku agak terpencil dari kota, setelah jalan raya, kita akan masuk ke jalan tanah dan melalui kebun sawit yang amat luas. Mobil harus tahan banting karena jalan sering licin dan berlumpur saat musim hujan. Tak jarang truk pengangkut sawit terguling atau malah tenggelam ke dalam lumpur."Tidak usah ditunggu, Pak. Nanti saya telpon lagi," kataku pada pria yang rambutnya sudah memutih itu. Dia tersenyum dan mengangguk. Namanya Pan Yamin, supir keluarga Mas Anto, mungkin umurnya sebaya dengan Ayah mertua.Sebelum pergi bekerja beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan ilmu baru dari Mas Anto, dia mengajarkan bagaimana cara menelpon seseorang. Mas Anto beberapa kali kesal padaku, karena otakku tak kunjung menangkap apa yang diajarkannya. Maklum,
POV Marni"Apa tidak apa-apa, Kak?" tanya Leni untuk ke sekian kalinya padaku, saat kumematut diri di depan cermin dengan kepalaku yang botak.Antara sedih dan menyesal, sedih kehilangan rambut panjangku menyesal tak mencari tau lebih lanjut bahwa sebenarnya ada cara lain untuk menghilangkan kutu itu.Lihatlah diriku! Tampak aneh di cermin sana, kepala botak yang membuatku kehilangan kepercayaan diri."Kak," sapa Leni lagi, membangunkan lamunanku. "Sebenarnya ada apa? Kenapa kakak bertindak sejauh ini, setelah menikah, kakak banyak berubah. Apa ini karena Mas Anto?"Leni orangnya yang peka. Sejauh apa pun aku menghindar, dia akan tahu juga."Kau akan mengerti setelah kau menikah, banyak hal yang mesti dirubah demi menjaga hati suamimu, bahkan mengorbankan diri dan perasaanmu sendiri." Aku menunduk. Tidak, jangan ada air mata di depan Leni. Apa yang kurasakan cukup hanya aku saja yang tahu."Ibu dulu berkata, pernikahan itu akan indah jika kita menerima kekurangan." Mata Leni menerawan
POV AntoSepeninggal Doni, kuhanya tersenyum geli. Bagaiman bisa Doni memiliki kriteria wanita idaman seperti itu.Memang, selera yang aneh, aku juga tak habis pikir, bagaimana bisa Doni penasaran dan tertarik pada wanita yang berdiri kebingunan di tepi jalan raya? Bisa saja yang dilihatnya adalah wanita dungu dan bodoh, atau malah wanita yang baru gila? Di zaman yang canggih ini, nyaris tak ada orang yang tak mengerti dengan alat transportasi. Dengan adanya HP pintar, semua bisa dilakukan. Kecuali wanita yang dimaksud sama jenisnya dengan Marni. Itu lain perkara. Marni adalah jenis langka yang ditemui di zaman era digital sekarang. Marni, yang sayangnya adalah istriku sendiri. Marni tinggal di pelosok, rumahnya jauh dari kota. Untuk menuju rumahnya saja, kita harus melewati jalan tanah yang di kiri dan kanannya adalah kebun kelapa sawit milik perusahaan asing. Marni contoh orang pedesaan yang kuno dan bahkan tak mengerti cara menggunakan HP. Banyak hal yang tak dimengerti oleh Marn