POV AntoDi sini kami sekarang, tidur di atas lantai beralaskan seprai saja. Jangan tanya betapa keras dan tak nyamannya, aku merasakan lantai semen yang dingin menembus seprai putih itu. Belum lagi bunyi nyamuk yang mendekat serta menggigit beberapa kali. Ditambah bunyi tikus yang berlarian di atas plafon rumah Marni. Aku tak habis pikir, rumah sejenis apa ini, semua binatang berkumpul dan bersarang di dalamnya.Bagaimana Marni dan keluarganya bisa hidup dan tinggal di sini. Oke, mungkin rumahnya sudah agak bersih dibanding terakhir kali aku ke sini, tapi dengan semua fasilitas minus ini, aku takkan bertahan walau semalam. Bahkan kulihat, adik-adik Marni sebagin tidur di luar di dekat televisi."Ya, ampun." Aku mengeluh lagi, Marni sudah tidur tanpa memberi tahu terlebih dahulu, masih dengan baju bola dan celana trainingnya. Dia bahkan tak terganggu saat nyamuk telah hinggap di pipinya. Tanganku gatal ingin menepuk nyamuk itu. Biarkan saja, atau pukul? Dilema.Plak! Kutepuk kecil, te
POV MarniJika ada yang bertanya, apakah perubahan bisa terjadi sendiri? Tidak. Selain paksaan mertuaku dan Mas Anto, ada sosok lain yang ikut berperan. Sosok yang baru kutemui sekali dan bersikap seperti sudah lama saling mengenal.Kami bertemu di salon, sama-sama duduk di ruang tunggu. Dia melemparkan senyum padaku dan kubalas dengan canggung."Bukankah kamu Marni?" tanya dia lebih dulu, orangnya cantik dan sangat anggun, penampilannya layak diacungi jempol. Baju yang dikenakannya indah dan tentu saja barang mahal."Iya, maaf, Mbak siapa?" tanyaku padanya. Aku agak sungkan pada orang asing, sebisa mungkin menjaga jarak, akan tetapi melihat gelagatnya, dia tak berbahaya."Kau mungkin tak mengenalku, tapi aku mengenalmu, aku salah satu kenalan lama suamimu, tepatnya teman suamimu. Kita pernah berjumpa sekali, saat pesta pernikahanmu, kau lupa?"Aku menggaruk kening. Daya ingatku lemah, aku tak bisa menghafal para tamu yang hadir waktu itu."Aku Silvi. Temannya Wulan.""Oh," sahutku ag
POV MarniKudorong bahu Mas Anto menjauh, memisahkan tautan kami. Dia masih kebingungan, sambil kesusahan menata nafasnya. Matanya masih gelap dengan tatapan misterius yang tak bisa kufahami. Aku tak menyangka keisenganku malah membawa petaka."Keluar, Mas! Aku mau mengganti pakaian kembali." Kubelakangi dia, menatap pantulannya di cermin besar di depanku.Kudengar dia mendengkus, lalu keluar dari ruang ganti. Dalam konsisi apa pun, dia selalu marah, bahkan disaat dia menciumku.Aku menghela nafas panjang, mengusap bibirku sendiri. Bukan yang seperti ini yang kuharapkan, bukan sebagai pelampiasan kemarahan seperti waktu dia mengambil haknya dengan kasar. Aku akan memberikan apa pun, karena aku adalah seorang istri yang halal untuknya. Akan tetapi diperlakukan seenaknya seolah tak berharga amat menyakitkan hatiku.Setelah selesai, kukeluar dari ruang ganti. Apa yang kudapati? Mas Anto dan Wulan tengah berbicara berdua, mereka tampak akrab, entah membicarakan apa. Sesekali Wulan tertawa
POV AntoAku berbaring gelisah di atas ranjang. Sekeras apa pun aku berpikir, aku tetap tak menemukan jawaban apa pun dari sikap ajaib Marni. Apakah ini dia yang sebenarnya? Kepribadian berbeda yang belum sempat keluar kerena dia tinggal di pelosok dan selalu terkurung dalam rumah. Lalu kepribadian itu muncul setelah menikah? Yang kutahu, Marni memang keras kepala, tapi memiliki sifat penggoda rasanya mustahil.Selama ini, aku yang bisa mengendalikannya, akulah si pengendali yang harus selalu dia turuti dan patuhi, sekarang dia malah berbalik menyerangku dengan idenya yang tak masuk akal. Tak boleh menyentuhnya? Dia pikir dia semenarik itu? Tapi ... Kehalusan dan kelembutan kulit itu, seakan memanggil-manggilku. Sangat kesal memerangi diri sendiri."Sial," umpatku pelan."Kenapa, Mas?" tanya Marni bodoh, padahal kegelisahan ini karena dirinya. Salah satu sifat menyebalkan Marni adalah merasa tak bersalah setelah dia memulai masalah besar. Lihat saja, matanya yang lugu itu seolah menge
POV MarniAhmad, tak menyangka bisa bertemu dengannya setelah bertahun lamanya tak berjumpa. Kami satu kampung, satu sekolah juga, akan tetapi karena otaknya yang cerdas, dia melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.Dia berbeda dengan Ahmad yang kukenal dulu, dulu kulitnya hitam dan tubuhnya kurus, dia juga pendek. Hanya saja dia memang selalu juara satu. Karena kecerdasannya itu dulu, aku mengaguminya. Rasa kagum gadis kecil yang baru mengenal lawan jenis dengan arti yang berbeda. Bukan perasaan serius layaknya wanita dewasa."Jadi namanya Ahmad?"Kukira Mas Anto sudah lupa. Karena sepanjang perjalanan ke rumah dia diam seribu bahasa. Dia malah meninggalkanmu di belakang dan berjalan lebih dulu. Akan tetapi tampaknya dia ingin membahas ini lagi."Iya," sahutku santai. Kami tengah berada di ruang tamu. Kuberikan dia segelas air putih dingin."Dia tinggal di mana?""Sekampung sama kami.""Oh, jadi dia merantau ke Jakarta?""Dulu dia kuliah di Jakarta, mungkin dapat pekerjaan di sana
Pov MarniAku merasa pandanganku berputar, berulangkali kuusap mataku agar pandangan kembali jernih, tapi gagal. Bahkan wanita yang berada tak jauh dariku malah berubah menjadi dua.Kucoba berjalan walaupun sempoyongan, seakan tengah berjalan di atas sampan yang tengah berlayar di ombak pasang, hasilnya malah semakin pusing. Tak sengaja kumenabrak seseorang yang berpapasan denganku secara kebetulan, minuman yang berada di tangannya tumpah ke bajuku dan bajunya. Baju kami berubah bewarna cokelat. Dia menatapku nyalang, walaupun dia juga berubah jadi dua, aku tetap bisa melihat matanya yang membulat sempurna karena marah."Punya mata nggak sih?" umpatnya sangat kesal. Aku mencoba memfokuskan pandanganku yang kian kabur. Dia menghapus bajunya dengan sapu tangan, hasilnya noda itu kian melebar."Maaf," kataku, aku tak menunggu balasannya, aku harus mencari tempat untuk bisa duduk dan menenangkan diri atau mencari sesuatu untuk berpegangan, rasanya amat mual, seperti mabuk kendaraan yang
POV MarniAku membuka mata perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar bewarna putih, kemudian dinding kamar bewarna biru muda.Baru beberapa detik membuka mata, rasa sakit yang amat sangat menyerang kepalaku. Seperti tengah dipukul dengan benda keras. Aku bahkan belum sempat melihat lebih banyak tempat asing ini, karena rasa sakit, kupejamkan mataku sambil memijit kepalaku pelan."Nona sudah sadar?"Aku kaget, saat menyadari ternyata aku tak sendiri. Seorang wanita baya dengan rambut ditaburi uban, berdiri di sudut kamar yang asing bagiku, dan wanita itu juga asing. Dia memegang segelas air di tangan kirinya."Di mana saya?" tanyaku."Di rumah Tuan Bagus." "Tuan bagus?""Iya Tuan bagus pemilik rumah ini, maaf Nona, kata Mas Doni, kalau Nona sadar, Nona harus meminum ini, obat penghilang rasa sakit."Wanita itu meletakkan satu buah obat dan segelas air putih di atas meja kecil yang ada di sampingku. Padahal aku masih ingin bertanya banyak padanya."Saya permisi." Wa
"Duduk di sini, Marni!" Doni menyambutku amat ramah, sedangkan penghuni meja makan yang lain menatapku datar. Sempat menoleh sebentar, mereka kembali mengoleskan selai ke roti tawar mereka masing-masing.Ada empat orang di sana, wanita yang sudah berumur tapi masih cantik yang wajahnya mirip Mas Doni, yang kuyakini adalah ibunya. Sedangkan pria berkumis yang duduk di kursi paling ujung kemungkinan ayah Mas Doni, dan gadis berambut pirang yang terkesan acuh tapi mirip Mas Doni itu, kemungkinan saudaranya.Aku melangkah ragu, duduk di kursi kosong di sebelah Mas Doni."Jadi namamu, Marni?" Suara wanita berumur itu memecah kesunyian."Iya, Bu," sahutku canggung. Mas Doni menyerahkan roti tawar beserta sekaleng selai coklat. Sarapan orang kaya yang tak cocok di lidahku. Setiap pagi, aku terbiasa makan nasi, bukan makan roti."Bukannya kau ke pesta dengan suamimu? Bagaimana bisa kau pulang dengan anakku? Bahkan dalam keadaan mabuk."Senyumku surut, bertepatan dengan seluruh mata yang meman