Lisa yang mendengar pertengkaran Lius dengan Lea tersenyum penuh kemenangan, ia menghapus jejak air matanya dengan senyum smirk di wajahnya. Tak hanya itu saja, ia bahkan merasa bangga karena berhasil mempengaruhi Lius dengan fitnah yang di sebarnya.
“Bagaimana, Ma?”
“Sempurna, kamu memang putri mama terbaik.” Memberikan pelukan pada putri tersayangnya itu.
Keduanya merasa menjadi pemenang atas masalah yang sedang di hadapinya, sedang Lea ia jadikan kambing hitam untuk semua akar masalah dari mereka.
“Mama yakin, saat ini Lius tengah menghajarnya dengan begitu murka. Bayangan kamu disiksa akan membuat Lius terbakar dengan emosinya.”
“Benar, dan aku harap bayi dalam kandungan perempuan busuk itu mati di tangan papa nya sendiri.”
Mereka pun tertawa bersama untuk semua penderitaan yang akan Lea hadapi.
Lea merasakan kebas pada pipi sebelah kanannya, Lius menamparnya dengan cukup keras.
Tak cukup hanya itu, bahkan hinaan dari mulut suaminya itu begitu menyakiti dan menginjak-injak harga dirinya.
“Aku? Melempar tubuhku pada laki-laki lain?” gumamnya mengulang hinaan suaminya.
Lea tertawa, ia merasa lucu dengan tuduhan yang di lontarkan suaminya barusan. Bagaimana bisa ia dituduh dengan begitu keji sedang Lius tahu dengan betul kegiatan diluar rumah nya.
“Lucu sekali hidupku ini. Aku yang tidak pernah melewati batas malah di tuduh murahan, tapi kakakku yang jelas-jelas salah malah di anggap paling suci.” Ucapnya dengan penuh rasa kecewa.
Lea kembali tertawa dengan penuh pilu, air matanya bahkan tak berhenti mengalir membasahi pipi. Hatinya terlalu sakit saat ini untuk sekedar tertawa, berpura-pura bahagia seperti sebelumnya.
________________________
Saat sedang bergumam, tiba-tiba pintu ruang rawatnya dibuka dengan begitu perlahan. Ternyata Lius masuk dengan wajah frustasinya. Lea terus menetap suaminya itu, berharap dengan cemas jika suaminya itu sudah baik-baik saja.
“Apa kau sudah baik-baik saja,Lius?” cicit Lea.
Tak ada jawaban, Lea di acuhkan oleh Lius yang lebih memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa. Lius menutup kedua mata dengan lengannya, berusaha menghalau rasa pusing yang tengah menyerangnya.
“Sekarang katakan dengan jujur, siapa ayah dari bayi dalam kandungmu itu.” Lirihnya tanpa mengubah posisinya.
“Percuma rasanya kau keluar untuk menenangkan diri jika nyatanya pikiranmu itu masih buntu,” balas Lea.
Adelius membuka matanya, ia bangkit dari posisinya dan berjalan menghampiri istrinya itu. Tatapannya begitu tajam, seakan bisa menelan Lea saat itu juga.
“Apa susahnya tinggal jawab, kenapa terus saja memancing emosiku ini!” teriaknya kembali tersulut emosi.
Lea berteriak ketika Lius memukul tiang infus miliknya hingga terjatuh, jarum yang menembus kulitnya pun di paksa keluar dengan begitu saja.
“Sakit, Lius.”
“Sekarang katakan, dengan laki-laki mana kamu hamil.”
Lea menatap manik mata Lius dengan begitu dalam, ia benar-benar terluka kali ini dengan sikap suaminya. Tak pernah terbayangkan ia akan menerima tuduhan sekeji ini, terlebih dari suaminya sendiri.
“Jawab!” teriaknya.
“Sehina itu aku di matamu?”
Lius meremas rambutnya, ia merasa frustasi menghadapi Lea saat ini. Baginya Lea terlalu bertele-tele, itu membuat ia yakin jika memang Lea tidak mengandung darah dagingnya.
“Jadi memang itu bukan anakku.” Putusnya.
“Jangan bercanda, Lius. Ini anakmu, ini darah dagingmu.” Teriaknya tak kalah emosi.
“Itu bukan anakku, itu anak hasil dari kelakuan bejatmu.”
Keduanya terlibat cekcok yang begitu panjang untuk pertama kalinya selama pernikahan, dan disini Lea sama sekali tak mau mengalah seperti biasanya.
Lea tak terima jika bayi dalam kandungannya dihina begitu kejam oleh ayahnya sendiri, ia tak masalah jika dirinya yang dihina tapi tidak dengan anaknya.
Lea menatap nyalang pada Lius, namun belum sempat ia membuka suara seseorang tiba-tiba mengetuk pintu ruang rawatnya.
Seorang laki-laki paruh baya masuk dengan tas kerjanya, Lea mengenali siapa laki-laki yang tengah berjalan mendekat pada mereka.
“Selamat malam, Tuan, Nyonya.”
“Ehm, kamu membawa apa yang aku perintahkan?” Tanya Lius to the point.
“Pak Erik, kenapa anda datang kesini?” Tanya Lea merasa curiga.
Namun laki-laki yang di sapa pak Erik sama sekali tak menanggapi Lea, ia hanya menatap sekilas sebelum mengalihkan pandangannya.
“Ini yang anda perintahkan,” memberikan sebuah map coklat.
Lius nampak tersenyum membuka isi map tersebut, lalu detik kemudian ia melempar map itu tepat mengenai wajah istrinya.
“Tanda tangani surat itu,” titahnya.
“Apa ini?” namun Lius diam tak menanggapinya.
Tangan Lea bergetar hebat saat membaca tulisan yang tertera di kertas itu. Surat cerai, Lius menginginkan Lea menandatangi surat cerai.
“Kau gila Adelius! Aku sedang mengandung anakmu, tapi kau malah ingin membuangku?” tangisnya.
Lius nampak acuh dengan Lea yang sudah berderai air mata, sedang pak Erik benar-benar tak tahu harus bagaimana. Ia ingin menjaga pernikahan anak majikannya, namun ia juga tak bisa mengabaikan permintaan itu.
Sebagai pengacara kepercayaan keluarga Dharmendra, pak Erik diambang dua pilihan. Menjaga amanah tuan besarnya, atau mengikuti keinginan tuan mudanya.
“Maafkan saya, Tuan.” Batin pak Erik tertunduk lesu.
Lea menangis, ia menolak dengan apa yang suaminya inginkan. Ia tak bisa menyerah begitu saja, terlebih ada anak yang akan hadir dalam pernikahannya.
“Aku tidak ingin berpisah.”
Keputusan itu membuat Lius menatapnya murka, ada rasa marah juga benci yang kini Lius rasakan.
“Berani sekali menolak permintaanku, kau pikir siapa dirimu ini?”
“Aku adalah istrimu, calon ibu dari anak-anakmu.” Seru Lea dengan begitu tegas dan beraninya, ia bahkan menatap balik manik tajam milik suaminya.
Lius menyeringai, ia melangkah mendekat dan dengan gerakan cepat mencekik leher istrinya.
“Keberanianmu cukup besar dengan mengaku sebagai nyonya Adelius.”
“Tuan, tolong hentikan.” Cegah pak Erik yang tak tega melihat wajah kesakitan Lea. Namun Lius mengabaikan, ia sudah di penuhi amarah hingga ingin menelan Lea saat itu juga.
“Nyatanya aku memanglah nyonya Adelius,” serunya dengan terbata.
Lius terdiam, ia lalu mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Lea.
“Kau bisa tetap menjadi istri ku, tapi ada syaratnya.”
“Sebutkan.” Tantang Lea.
Lius menyeringai untuk kesekian kalinya.
“Gugurkan bayi ini.”
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.“Berani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.”Divya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.“Kalian biadab, binatang kalian semua.” Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti