Sekarang hanya ada mereka berdua di kamar ini.
Ada rasa senang takut yang Ana rasakan. Dia mencintai Raffael. Sungguh, dan sangat senang ada di dekat laki-laki itu.Akan tetapi wajah marah itu membuat Ana sedikit takut, dia tak menyangka tindakannya yang ragu-ragu tadi akan mendatangkan masalah.Ana melihat Raffael menggelengkan kepalanya, lalu dengan langkah tegas laki-laki itu menarik baju tidur yang dia kenakan, Ana berusaha mempertahankan baju itu, bagaimanapun dia merasa tak nyaman dengan perlakuan Raffael.“Bukankah ini yang kamu inginkan, Jalang!”Ana tak dapat mengelak lagi, bagaimanapun dia hanya seorang perempuan dan jelas akan kalah jika adu tenaga dengan Raffael.Ana bisa merasakan bibir Raffael di sekujur tubuhnya, awalnya memang sangat kasar dan membuat Ana harus menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menjerit kesakitan, dia yakin besok pagi bekasnya tidak akan hilang, tapi perla“Mbak Ana memang sebaik yang saya lihat di sinetron,” kata si bibi. “Di sinetron saya hanya mengikuti skrip, bi.” “Iya tapi tetap saja bibi sejak dulu ngefans dengan Mbak Ana, aktingnya itu loh buat saya terpukau.” Ana langsung tertawa mendengarnya, berbicara dengan orang yang mengaku penggemarnya memang selalu mampu menaikkan kepercayaan dirinya. “Jadi boleh nggak nih saya bantu, Bi.” “Boleh saya malah senang, nanti bisa pamer ke medsos kalau masak bareng artis.” “Bibi bisa saja, kan memang kerja di rumah artis, ya sudah tentu masak bareng artis lah.” Bibi kembali tersenyum tapi tidak mengatakan apapun, tangan itu dengan terampil mengambil bumbu-bumbu yang akan dimasak, Ana yang memang berniat membantu langsung mengambil bahan itu dan membersihkannya dengan cekatan juga, membuat si bibi bengong melihatnya. “Kenapa, Bi?” tanyanya tak mengerti. “Mbak
Ana takut sendiri. Sejak kecil dia sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya, mereka pergi menghadap Tuhan tanpa mengajaknya untuk ikut serta, tapi tetap saja sendiri tak pernah menjadi hal yang dapat ditolerir, apalagi di tempat gelap seperti ini.Waktu itu Ana masih duduk di bangku kelas lima SD, karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil, Ana memutuskan untuk menuju toilet setelah pulang sekolah, tapi sialnya pintu kamar mandi yang dia gunakan tiba-tiba tak bisa terbuka, Ana panik padahal sekolah sudah sepi, bukan hanya itu karena keadaan di dalam toilet agak gelap Ana tak sengaja menginjak kalajengking dan bisa dipastikan kalajengking itu marah dan menggigit Ana. Meski akhirnya seseorang berhasil menemukannya dan membawanya ke rumah sakit, tapi bayangan mengerikan itu tak pernah hilang. Sekarang dia ada di ruangan gelap dan kotor ini, tempat berbagai macam binatang berkumpul dan dia ... sendiri. Padahal
Adam hanya tersenyum kecut, andai saja dia punya sedikit saja keberanian, pasti sekarang dia sudah punya hubungan spesial dengan Ana.“Sudahlah jangan mengasihani dirimu sendiri, aku bisa membantumu mengenalkan pada wanita yang tepat.” “Saya baik-baik saja dan bisa mencari sendiri,” kata Adam sedikit kesal dengan ejekan atasannya. “Baiklah... baiklah, terserah kamu saja, sekarang kamu terpaksa harus mengganggu pengantin baru kita sekedar untuk mencocokkan jadwal.” “Apa boleh buat, kita tak mungkin menerima semua pekerjaan ini tanpa persetujuan Ana.” Adam mengangguk sebentar, lalu keluar setelah menerima daftar panjang permintaan kerja sama itu. Sejenak dia ragu tapi tak bisa mundur, dia harus segera mendapatkan persetujuan Ana, dia menghubungi Ana melalui ponselnya, tapi sudah sepuluh panggilan dia lakukan dan puluhan pesan singkat dia kirimkan tapi tak ada satu pun yang dibalas, padahal ponselnya aktif.
Jarak yang tadi dilaluinya tak lebih dari lima menit sekarang terasa sangat panjang dan menyiksa, Adam membelokkan mobilnya dengan serampangan dan melajukannya secepat yang dia bisa ke rumah itu kembali. Gerbang rumah yang kokoh menjulang itu seolah mengejeknya yang tak sanggup melindungi Ana, ingin rasanya Adam menabrak pintu gerbang itu langsung dengan mobilnya, tapi syukurlah akal sehat kembali pada saat yang tepat dan proses itu terulang lagi, perdebatan dan ancaman tak bisa lagi dihindarkan, meski sekarang agak lebih lunak karena tadi terbukti laki-laki di depannya itu tidak membuat keributan... belum. Lolos dari satpam di pintu gerbang, kembali Adam memacu mobilnya dan memarkirkannya asal sebelum berlari ke arah rumah megah itu, dipencetnya bel pintu dengan brutal. “Sudah saya bilang Mbak Ana tidak ada- eh anda mau kemana? Anda tidak bisa masuk rumah orang seenaknya.” Cegah pelayan yang membukakan pintu itu, tapi mana mau Adam menuruti omongannya, rasa marah dan juga cemas
Tidak masuk akal, bagaimana mungkin wanita itu akan mati hanya kerena dikunci di gudang? Memangnya dia selemah itu, batin Raffael. Dilihatnya lagi foto-foto itu, memang wajah Ana terlihat sangat pucat, apa dia sudah keterlaluan? Bagaimanapun dia tidak bermaksud membunuh Ana, dia hanya ingin memberikan pelajaran saja pada wanita itu.“Ada apa, Raf?” tanya Bella yang melihat Raffael memandang ponselnya dengan wajah tegang. “Aku harus pulang sebentar, sepertinya Ana hampir mati di gudang, aku akan kembali setelah mengurus semuanya.” “Itu pasti akal-akalannya saja untuk menarik simpatimu,” kata bella ta suka dengan ide Raffael itu. “Ini sudah hampir lewat jam makan siang, kita sudah terlalu lama mengurungnya di gudang memang, akan sangat merepotkan kalau terjadi sesuatu padanya.” Dengan berat hati Bella membiarkan Raffael pergi. “Cepat kembali setelah semua beres, aku membutuhkanmu di sini,” katanya
“Saya tidak yakin Mbak Ana memang berniat mencelakai Nyonya, Tuan,” kata sang bibi saatRaffael duduk menunggu Ana yang masih saja tertidur pulas itu.Rasa bersalah pada Ana dan juga masih adanya rasa kemanusiaan yang dibilang Adammembuat Rafael duduk diam di sofa kamar Ana ini, dia tahu Ana sudah baik-baik saja, tapihatinya tak tenang mengingat ini terjadi karena kecerobohannya, dan tentu saja dia inginbertanya pada Ana apa tujuannya melakukan semua ini, tapi ucapan koki rumahnya inimembuat Raffael terusik.“Apa maksudmu, aku tahu dari Bella kalau kalian mulai akrab, jangan mentang-mentang diamau membantumu di dapur kamu membelanya.”“Bukan begitu, saya hanya mengatakan fakta yang ada, coba tuan pikir dari mana Mbak Anatahu kalau Nyonya alergi udang. Wartawan tidak pernah mengetahui itu semua, bahkan ibuanda sendiri juga tidak tahu, hanya keluarga nyonya, anda, s
Yah... dia di sana, duduk tenang dengan tablet di tangannya, wajahnya masih saja dingin dantanpa senyuman seperti biasa, tapi melihatnya ada di sana membuat seketika perasaan Ana menghangat, kupu-kupu seolah beterbangan di dalam perutnya. Raffael pasti yang sudah membawanya kemari, sayup-sayup dia memang ingat ada seseorangyang mengeluarkannya dari gudang dan menggendongnya, dia kira itu hanya mimpi belaka,tapi lihatlah sekarang dia benar-benar berada di kamarnya dengan Raffael yang menemaninya.“Raf... Raffael,” panggil Ana dengan terbata, Ana hanya ingin memastikan kalau sosok itu bukan hanya khayalannya saja. Laki-laki itu langsung mengangkat kepalanya yang dari tadi menunduk menatap tablet ditangannya, seketika matanya yang tajam beradu pandang dengan mata Ana yang menatapnyadengan binar bahagia.Raffael lalu berteriak memanggil pelayan. “Siapkan makanan untuknya,” tanpa
Sang ibu mondar-mandir di ruang duduk rumahnya, dia terlihat sangat gelisah sesekali matanya menatap pintu depan yang tidak juga terbuka, padahal hari sudah akan beranjak senja.Suaminya tadi pagi bilang akan pergi dengan teman-temannya untuk memancing, tapi sampai sekarang belum juga kembali, ponselnya juga tidak dapat dihubungi, sang ibu kembali berjalan dengan resah. “Tuan besar sudah datang, Nyonya,” kata seorang pelayan memberi tahu. “Terima kasih, di mana suami saya?” “Sekarang masih di depan bicara dengan Pak Hadi.” Sang ibu tahu jika bicara dengan Pak Hadi, sopir keluarganya, tentu tak akan jauh-jauh dari mobil dan berbagai pernak-perniknya. Setelah Raffael mengambil alih bisnis keluarga memang sang suami sangat menikmati hidupnya dengan menjalankan semua hobinya yang dulu jarang dia kerjakan. “Ayah,” panggilnya pelan.Sang ayah tersenyum memandang istri tercintanya itu, w