Moza semakin merasa bingung dengan keadaan ini.Papinya yang mendadak diam namun, Dinda malah tertawa terbahak-bahak tanpa hentinya.Entahlah...."Moza ke luar dulu ya, kalian semua aneh," kata Moza kemudian segera melenggang pergi."Ahahahhaha," tawa Dinda semakin pecah saat melihat wajah Dimas lagi."Kau dan dia memang berbeda, anak itu masih polos dan kau sudah dewasa sebelum waktunya," ujar Dimas."Gimana lagi? Namanya nikah dengan duda," balas Dinda."Memangnya kenapa kalau duda?" Dimas penasaran dengan penjelasan Dinda."Otaknya mesum terus," Dinda pun menjawab diiringi dengan tawa yang menggelegar.Membuat Dimas pun memilih untuk diam karena sepertinya yang dikatakan oleh Dinda memang sangat benar."Mukanya masam bener?" tanya Dinda lagi."Gimana nggak masam? Dua bulan kedepannya libur panjang," terang Dimas dengan wajah kusutnya."Ahahahhaha," Dinda lagi-lagi tertawa karena ternyata Dimas memiliki beban tersendiri.Tapi suaminya itu sangat menjaga dirinya, bahkan menganjurkan
"Kok pengen makan yang manis-manis ya?" tanya Moza pada dirinya sendiri.Hilman yang mencari keberadaan Moza pun akhirnya menemukannya.Ternyata Moza sedang berada di kamar baby Haikal dan Haidar.Kedua bayi itu telah memiliki masing-masing baby sitter karena Dimas ingin sedikit meringankan beban Dinda yang harus mengurus dua bayi sekaligus.Belum lagi keadaan Dinda yang masih butuh istirahat untuk pemulihan.Ditambah lagi usia Dinda yang menurut Dimas masih terlalu muda untuk memiliki anak.Butuh waktu untuk membuat Dinda bisa beradaptasi dengan status barunya menjadi seorang Ibu.Dimas juga sering bertanya pada Vina tentang keadaan Ibu yang baru melahirkan.Salah satunya bisa terkena baby blues.Jadi Dimas benar-benar menjaga mental istrinya agar tidak rusak."Kak Hilman?" Moza pun segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Hilman yang berdiri di ambang pintu."Ternyata kamu di sini, kamu belum minum vitamin," kata Hilman."Oh, ya. Lupa," Moza pun berjalan menghampiri Hilman, "Kak
"Kak Hilman," Moza yang gemetaran saat Hilman memeluknya mulai menangis.Menangis karena takut."Kok nangis?" tanya Hilman dengan perasaan lucu.Bahkan Hilman menahan tawa melihat wajah takut Moza.Aneh rasanya karena bukankah hal seperti ini wajar untuk mereka yang sudah menikah.Bahkan ini adalah awal dari segalanya untuk bisa membuat mereka berdua benar-benar bisa saling mengenal lebih jauh.Hingga akhirnya tidak ada lagi yang membuat keduanya menjadi asing.Tapi lucunya Moza sampai menangis karena takut."Papi bisa marah lho, Kak.""Kita sudah menikah," jawab Hilman."Moza tanya Papi dulu kalau gitu."Hilman pun terkejut mendengar ucapan Moza."Tanya Papi?""Iya.""Gimana caranya?" Hilman tampak bingung hanya saja dia masih berada di atas tubuh Moza."Tanya dulu boleh nggak, gitu."Hilman terdiam sejenak sambil memikirkan ucapan Moza.Aneh tapi nyata.Bagaimana mungkin Moza berpikir untuk bertanya terlebih dahulu tentang hal itu pada Papinya?"Gini aja, kita coba dulu. Kalau enak
Tok tok tok...Moza masih terlalu mengantuk untuk bangun pagi.Janji yang hanya satu kali sepertinya tidak ditepati.Karena, kenyataannya Moza semalam penuh tidak tidur.Hingga akhirnya saat menjelang siang ada yang mengetuk pintu kamar sebab Moza belum sarapan pagi.Tentunya itu sangat tidak baik untuk kesehatan Moza yang sedang masa pemulihan setelah di rawat untuk beberapa hari di rumah sakit.Hingga akhirnya Miranda pun memutuskan untuk pergi menuju kamar Moza.Baginya Moza sudah menjadi bagian dari keluarga juga.Apa lagi Dinda bercerita tentang Moza yang dulunya adalah sahabatnya dan selalu saja menolongnya.Meskipun akhirnya terjadi perselisihan diantara mereka berdua karena Dinda yang menikah dengan Dimas.Sedangkan Hilman sudah seperti keluarga untuk Miranda, karena telah lama bekerja dan tinggal di rumahnya.Sehingga benar-benar tidak ada yang membuat Miranda merasa segan, begitu juga sebaliknya."Moza, ini Oma," panggil Oma Miranda sambil berulang kali mencoba untuk mengetu
Akhirnya Hilman pun segera menutup pintu kamar mandi.Sedangkan Moza kembali melanjutkan sarapannya yang sempat terhenti karena Hilman.Hingga bertepatan dengan sendokan terakhir Hilman pun ke luar dari kamar mandi.Pria itu hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya.Tapi Moza berpura-pura tidak melihatnya.Padahal jantungnya berdetak kencang karena mengingat apa yang telah terjadi pada mereka berdua semalaman penuh.Kali ini rasanya sangat berbeda dari sebelumnya mungkin karena Moza sadar dengan apa yang mereka lakukan."Kamu sudah selesai sarapan?" tanya Hilman."Udah," jawab Moza yang kini memilih untuk memainkan ponselnya.Sambil terus mengunyah makanannya.Namun, saat ini dia lakukan tidak ada yang jelas.Melihat sosial media hanya untuk mengalihkan tatapannya dari Hilman.Keinginan Moza saat ini Hilman segera menyingkir dari hadapannya.Karena, jika lebih lama Moza tak akan bisa menahan rasa gugupnya."Kak Hilman, nggak sarapan? Sarapan sama yang lain aja di bawah,"
Cepat-cepat Moza pun memakai pakaiannya.Sesaat kemudian segera menuju pintu berkeinginan untuk segera melarikan diri guna menghindari Hilman.Sayangnya saat baru akan memutar gagang pintu tiba-tiba suara Hilman membuat langkah kakinya terhenti."Kamu mau kemana? Buru-buru sekali.""Mau ke luar cari udara segar," jawab Moza.Segera tangannya pun bergerak memutar gagang pintu tapi Hilman kini sudah berdiri di sampingnya."Buatkan kopi," perintah Hilman."Kopi?" tanya Moza.Moza tidak tahu cara membuat kopi, dirinya sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil.Jangankan untuk membuat kopi, untuk mengingat tali sepatunya saja tidak bisa."Iya, Kakak mau kamu yang membuatnya," terang Hilman."Moza nggak bisa bikin kopi, Kak," jawab Moza dengan jujur, "atau Moza minta bibi yang buatin, tapi Moza yang bawa ke sini?" tanya Moza memberikan ide.Untuk apa berbohong bukan?Jika bisa katakan bisa, jika tidak juga ya katakan sejujurnya."Kakak maunya buatan istri sendiri, memangnya istri Kakak siapa?"
Wah ini tidak benar.Barusan Hilman meneguk kopi dengan tambahan micin.Jika membiarkan Moza memasak makanan untuknya bisa jadi sayur campuran bubuk kopi.Hilman benar-benar bergidik ngeri.Resep aneh ala-ala Moza sangat mengerikan bahkan Hilman merasa menyesal telah meminta dibuatkan kopi."Kak Hilman, kayaknya mual banget. Apa Moza perlu buatkan kopi lagi?" tanya Moza dengan wajah polosnya."Nggak perlu," sahut Hilman dengan cepat.Sebelumnya saja sudah membuatnya harus muntah-muntah.Jangan sampai selajutnya Hilman masuk rumah sakit karena lambungnya yang sudah tak mampu menampung kopi buatan Moza."Ya sih, nggak baik juga buat kesehatan kalau minum kopi banyak," kata Moza.Hilman pun bernapas lega setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Moza."Ya udah, jadi Moza masak aja ya," tanya Moza."Masak?""Iya, buat, Kak Hilman," Moza tersenyum sambil menunjuk dua barus gigi rapinya."Untuk masak, apakah perdana juga?" tanya Hilman memastikan.Jika perdana artinya akan ada resep aneh.T
"Kok pada diem? Cobain dong, Moza udah capek-capek bikin," kata Moza.Moza pun segera duduk di kursi kemudian meneguk mineral.Jelas terbukti Moza cukup kelelahan dengan memasak, mungkin karena sedang hamil muda.Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu karena rasa lelahnya akan segera terbayar saat melihat wajah-wajah bahagia setelah menikmati masakannya."Ayo, Hilman. Cicipi masakan istri mu," Dimas pun meminta Hilman untuk mencicipinya berharap dirinya tak perlu mencicipi.Deg!Hilman malah dibuat semakin tegang."Papi, juga dong. Moza juga pengen tahu komentar, Papi," ujar Moza.Membuat Hilman merasa sedikit lega.Artinya dia memiliki teman untuk berbagi menyantap masakan Moza."Iya," Dimas pun mulai melihat kembali masakan Moza dengan jelas.Matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa.Karena semakin penasaran Dimas pun segera memegangnya dan ternyata itu adalah cangkang telur.Tapi mungkin itu sedikit cangkang yang terjatuh tidak sengaja.Karena tidak sabar menunggu komentar dari