Share

Bab 6

Di sisi lain, Adinda yang kini sudah berada di kamarnya pun duduk di lantai.

Sepatu hak tingginya diletakkan asal di sampingnya.

Matanya menatap kakinya yang sedikit lecet dan itu wajar, mengingat dia berjalan kaki dengan sangat jauh.

Saat dia sedang larut dalam pikirannya tiba-tiba pintu pun terbuka menampakkan seorang pria di sana.

Dimas baru saja sampai di rumah.

Pria itu tersenyum sinis saat melihat wajah Adinda yang hanya melihat dirinya yang melangkah masuk.

"Dasar lelaki tidak punya hati," gumam Adinda.

Tapi Dimas pun memilih untuk tidak perduli pada Adinda, meskipun tahu wanita itu sedang kelelahan setelah berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh.

Sesaat kemudian Dimas pun kembali pergi dengan tangannya memegang berkas untuk dia bawa.

Adinda menyimpulkan bahwa pria itu pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal.

Untuk memikirkan sesuatu tentang Dimas sepertinya tak akan ada habisnya. Sehingga, dia pun memilih untuk menepikan sejenak pikirannya dan mencari keberadaan ponselnya.

Adinda yang menemukan ponsel jeleknya tergeletak asal di atas ranjang pun segera meraihnya.

Meskipun jelek tapi ponsel itu sangat bermanfaat bagi dirinya.

"Kiara?"

Adinda melihat cukup banyak panggilan masuk dari temannya.

Dia pun kembali menghubungi Kiara. Ingin tahu apa yang membuat wanita itu menghubungi dirinya dengan panggilan tak terjawab sampai 20 kali.

"Ada apa?" tanya Adinda saat Kiara sudah menjawab panggilan tersebut.

Deg!

Adinda syok kala mendengarkan apa yang disampaikan oleh temannya. Hari ini adalah hari magang pertamanya?!

Gegas dirinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian memakai kemeja berwarna putih dengan dipadu rok berwarna hitam selutut.

"Akh!"

Adinda meringis saat kakinya yang lecet hendak memakai sepatu.

Tapi, dia tak peduli. Dia tetap memakainya dan segera menuju tempat tujuannya mengendarai ojek.

Sesampainya di sana dia pun segera turun dari ojek, setelah membayar dia pun kembali merapikan rambut, pakaian, serta melihat kakinya.

Sedangkan tangannya memegang tas dan sebuah almamater kampus.

"Lama banget, sih? Ini udah telat, baru juga magang," kesal Kiara yang dari tadi begitu kesulitan untuk menghubungi Adinda.

"Maaf," kata Adinda dengan perasaan bersalah.

Dia juga tak akan seperti ini jika bukan karena Dimas, belum lagi kakinya yang lecet sangat menyiksa dirinya.

"Cari tempat magang itu sulit, Dinda!"

"Iya, iya, maaf," kata Adinda lagi sambil melihat gedung bertingkat di hadapannya, "kita masuk sekarang?"

"Cepat, kita udah telat banget."

Setelah memasuki lobby keduanya pun melihat sekitarnya.

Tak lama, seorang pria pun menghampiri mereka berdua dan menjelaskan tugas mereka.

Kini, keduanya berada di pantry untuk membuat secangkir kopi.

"Magang cuman di suruh buatkan kopi?" Adinda menatap gelas di tangannya dengan nanar.

Itu adalah secangkir kopi seperti yang diperintahkan padanya.

"Udahlah, kita nurut aja. Biar cepat kuliah selesai," bisik Kiara agar tak di dengar oleh pria yang kini mengawasi mereka dari kejauhan.

Setelah itu, Adinda pun mengikuti langkah kaki seorang pria yang membawanya menuju lantai tertinggi gedung tersebut.

Ting!

Adinda keluar dari lift setelah yang lainya, dan kini memasuki sebuah ruangan yang dia juga tak tahu itu ruangan apa.

"Cepat masuk!" titah pria itu yang Adinda dan Kiara pun tak tahu siapa namanya.

Lagi-lagi Adinda pun menurutinya.

Namun, mendadak Adinda dibuat syok berat karena Dimas yang kini duduk di kursi yang bertuliskan--Presiden Direktur --

Tahu ini artinya apa...?

Dimas adalah pemimpin perusahaan tersebut!

"Ya, ampun...! Dimana pun ada dia," gumam Adinda.

Beruntung suaranya tak terdengar, sehingga tak menimbulkan masalah.

Dia tak bisa membayangkan bila kehilangan tempat magang.

Adinda benar-benar butuh perusahaan itu untuk segera menyelesaikan kuliahnya.

"Letakkan kopi itu!" perintah Dimas mendadak.

Adinda pun mengangguk dan meletakkan pada meja sesuai dengan yang diperintahkan padanya.

Meskipun saat ini dia sedang sangat tidak baik-baik saja, tetapi ia berusaha tenang.

"Mereka adalah dua anak magang, Pak," jelas Gilang.

"Kenapa kau membawa mereka ke sini?" tanya Dimas yang tampaknya tak pernah suka ada orang sembarangan yang masuk ke ruangannya.

"Maaf, Pak. Mungkin wanita ini bisa menjadi asisten Anda," ucap pria itu lagi.

Sudah tak terhitung berapa jumlah wanita yang dicarikan oleh Gilang untuk menjadi asisten Dimas.

Mungkin ratusan, ataupun ribuan.

Tapi, tak ada satupun di antara mereka yang betah!

Selain karena Dimas adalah lelaki yang tak suka kesalahan, Dimas juga agak ... kasar.

Bahkan, dia selalu saja menganggap orang lain salah.

Sedikit saja menemukan kesalahan, ada saja benda yang melayang di udara dan membuat mereka ketakutan.

Kadang mereka hanya bertahan bekerja selama dua hari saja, bahkan ada yang hanya hitungan jam.

Tentunya karena tak ingin nyawa melayang karena memiliki bos tempramental.

Jadi, Gilang berharap kali ini yang terakhir. Sungguh, dia juga lelah terus mencari asisten untuk Dimas entah sampai kapan.

Karyawan di perusahaan itu pun tak ada yang mau, meskipun ditawarkan gaji yang besar.

Bahkan berkali-kali lipat dari gaji yang kini mereka terima, sayangnya tak ada yang mau dengan alasan--mereka masih ingin hidup dan bernapas dengan baik.

Karyawan sampai memilih menduduk saat Dimas melewati mereka.

"Sampah?" ucap Dimas tiba-tiba.

Dia baru menyadari bahwa di hadapannya ada Adinda, wanita bau kencur yang membuatnya harus menjalani pernikahan paksa.

Sekaligus, wanita yang membuat hubungannya dengan Megan harus terhambat.

Padahal, dia sudah ingin kembali bersatu dengan mantan istrinya itu setelah sekian lama berpisah.

"Ini kopinya, Pak." Gilang mendekatkan secangkir kopi buatan Adinda pada Dimas.

Dimas pun menatap kopi tersebut.

Gilang berharap untuk kali ini rasa kopi itu bisa sesuai dengan lidah Dimas.

Kemudian Dimas pun mengambilnya dan menyeruputnya, dan sesaat kemudian gelas pun terbang karena lemparan Dimas.

Hingga berakhir dengan mengenaskan saat membentur dinding.

Krang!

Noda hitam menempel di dinding, sedangkan serpihan kaca pun berceceran di lantai.

Gilang pun menutup mata sejenak, karena sepertinya untuk kali inipun perjuangannya untuk mencarikan asisten untuk Dimas belum berakhir.

Tapi, Adinda hanya diam dengan wajah datarnya.

"Dinda!" Kiara bahkan langsung memegang lengan Adinda karena ketakutan bukan main. Dia sangat merasa terancam saat ini.

"Kopi itu sudah dingin, buatkan yang baru!" titah Dimas.

"Kalian berdua cepat lakukan yang diperintahkan, Pak Presdir," kata Gilang agar kedua wanita itu gegas pergi.

Adinda pun mengikuti Kiara seiring tarikan pada tangannya.

Dia masih belum mengerti mengapa bisa dunia begitu sempit.

Sampai-sampai dimana pun berada maka Dimas juga ada di sana.

"Mengenaskan...." lirih Adinda mengatai nasib sendiri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mulyani Santia
Alurnya bikin bingung, teralu tiba2, cerita nya lagi pagi, siang, sore atau malamnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status