Di sisi lain, Adinda yang kini sudah berada di kamarnya pun duduk di lantai.
Sepatu hak tingginya diletakkan asal di sampingnya.Matanya menatap kakinya yang sedikit lecet dan itu wajar, mengingat dia berjalan kaki dengan sangat jauh.Saat dia sedang larut dalam pikirannya tiba-tiba pintu pun terbuka menampakkan seorang pria di sana.Dimas baru saja sampai di rumah.Pria itu tersenyum sinis saat melihat wajah Adinda yang hanya melihat dirinya yang melangkah masuk."Dasar lelaki tidak punya hati," gumam Adinda.Tapi Dimas pun memilih untuk tidak perduli pada Adinda, meskipun tahu wanita itu sedang kelelahan setelah berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh.Sesaat kemudian Dimas pun kembali pergi dengan tangannya memegang berkas untuk dia bawa.Adinda menyimpulkan bahwa pria itu pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal.Untuk memikirkan sesuatu tentang Dimas sepertinya tak akan ada habisnya. Sehingga, dia pun memilih untuk menepikan sejenak pikirannya dan mencari keberadaan ponselnya.Adinda yang menemukan ponsel jeleknya tergeletak asal di atas ranjang pun segera meraihnya.Meskipun jelek tapi ponsel itu sangat bermanfaat bagi dirinya."Kiara?"Adinda melihat cukup banyak panggilan masuk dari temannya.Dia pun kembali menghubungi Kiara. Ingin tahu apa yang membuat wanita itu menghubungi dirinya dengan panggilan tak terjawab sampai 20 kali.
"Ada apa?" tanya Adinda saat Kiara sudah menjawab panggilan tersebut.Deg!Adinda syok kala mendengarkan apa yang disampaikan oleh temannya. Hari ini adalah hari magang pertamanya?!
Gegas dirinya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian memakai kemeja berwarna putih dengan dipadu rok berwarna hitam selutut."Akh!"Adinda meringis saat kakinya yang lecet hendak memakai sepatu.Tapi, dia tak peduli. Dia tetap memakainya dan segera menuju tempat tujuannya mengendarai ojek.Sesampainya di sana dia pun segera turun dari ojek, setelah membayar dia pun kembali merapikan rambut, pakaian, serta melihat kakinya.Sedangkan tangannya memegang tas dan sebuah almamater kampus."Lama banget, sih? Ini udah telat, baru juga magang," kesal Kiara yang dari tadi begitu kesulitan untuk menghubungi Adinda."Maaf," kata Adinda dengan perasaan bersalah.Dia juga tak akan seperti ini jika bukan karena Dimas, belum lagi kakinya yang lecet sangat menyiksa dirinya."Cari tempat magang itu sulit, Dinda!""Iya, iya, maaf," kata Adinda lagi sambil melihat gedung bertingkat di hadapannya, "kita masuk sekarang?""Cepat, kita udah telat banget."Setelah memasuki lobby keduanya pun melihat sekitarnya.Tak lama, seorang pria pun menghampiri mereka berdua dan menjelaskan tugas mereka.Kini, keduanya berada di pantry untuk membuat secangkir kopi."Magang cuman di suruh buatkan kopi?" Adinda menatap gelas di tangannya dengan nanar.Itu adalah secangkir kopi seperti yang diperintahkan padanya."Udahlah, kita nurut aja. Biar cepat kuliah selesai," bisik Kiara agar tak di dengar oleh pria yang kini mengawasi mereka dari kejauhan.Setelah itu, Adinda pun mengikuti langkah kaki seorang pria yang membawanya menuju lantai tertinggi gedung tersebut.Ting!Adinda keluar dari lift setelah yang lainya, dan kini memasuki sebuah ruangan yang dia juga tak tahu itu ruangan apa."Cepat masuk!" titah pria itu yang Adinda dan Kiara pun tak tahu siapa namanya.Lagi-lagi Adinda pun menurutinya.Namun, mendadak Adinda dibuat syok berat karena Dimas yang kini duduk di kursi yang bertuliskan--Presiden Direktur --Tahu ini artinya apa...?Dimas adalah pemimpin perusahaan tersebut!"Ya, ampun...! Dimana pun ada dia," gumam Adinda.Beruntung suaranya tak terdengar, sehingga tak menimbulkan masalah.Dia tak bisa membayangkan bila kehilangan tempat magang.Adinda benar-benar butuh perusahaan itu untuk segera menyelesaikan kuliahnya."Letakkan kopi itu!" perintah Dimas mendadak.Adinda pun mengangguk dan meletakkan pada meja sesuai dengan yang diperintahkan padanya.Meskipun saat ini dia sedang sangat tidak baik-baik saja, tetapi ia berusaha tenang."Mereka adalah dua anak magang, Pak," jelas Gilang."Kenapa kau membawa mereka ke sini?" tanya Dimas yang tampaknya tak pernah suka ada orang sembarangan yang masuk ke ruangannya."Maaf, Pak. Mungkin wanita ini bisa menjadi asisten Anda," ucap pria itu lagi.Sudah tak terhitung berapa jumlah wanita yang dicarikan oleh Gilang untuk menjadi asisten Dimas.Mungkin ratusan, ataupun ribuan.Tapi, tak ada satupun di antara mereka yang betah!Selain karena Dimas adalah lelaki yang tak suka kesalahan, Dimas juga agak ... kasar.
Bahkan, dia selalu saja menganggap orang lain salah.Sedikit saja menemukan kesalahan, ada saja benda yang melayang di udara dan membuat mereka ketakutan.Kadang mereka hanya bertahan bekerja selama dua hari saja, bahkan ada yang hanya hitungan jam.Tentunya karena tak ingin nyawa melayang karena memiliki bos tempramental.Jadi, Gilang berharap kali ini yang terakhir. Sungguh, dia juga lelah terus mencari asisten untuk Dimas entah sampai kapan.Karyawan di perusahaan itu pun tak ada yang mau, meskipun ditawarkan gaji yang besar.Bahkan berkali-kali lipat dari gaji yang kini mereka terima, sayangnya tak ada yang mau dengan alasan--mereka masih ingin hidup dan bernapas dengan baik.Karyawan sampai memilih menduduk saat Dimas melewati mereka."Sampah?" ucap Dimas tiba-tiba.
Dia baru menyadari bahwa di hadapannya ada Adinda, wanita bau kencur yang membuatnya harus menjalani pernikahan paksa.
Sekaligus, wanita yang membuat hubungannya dengan Megan harus terhambat.Padahal, dia sudah ingin kembali bersatu dengan mantan istrinya itu setelah sekian lama berpisah."Ini kopinya, Pak." Gilang mendekatkan secangkir kopi buatan Adinda pada Dimas.Dimas pun menatap kopi tersebut.Gilang berharap untuk kali ini rasa kopi itu bisa sesuai dengan lidah Dimas.Kemudian Dimas pun mengambilnya dan menyeruputnya, dan sesaat kemudian gelas pun terbang karena lemparan Dimas.Hingga berakhir dengan mengenaskan saat membentur dinding.Krang!Noda hitam menempel di dinding, sedangkan serpihan kaca pun berceceran di lantai.Gilang pun menutup mata sejenak, karena sepertinya untuk kali inipun perjuangannya untuk mencarikan asisten untuk Dimas belum berakhir.Tapi, Adinda hanya diam dengan wajah datarnya."Dinda!" Kiara bahkan langsung memegang lengan Adinda karena ketakutan bukan main. Dia sangat merasa terancam saat ini."Kopi itu sudah dingin, buatkan yang baru!" titah Dimas."Kalian berdua cepat lakukan yang diperintahkan, Pak Presdir," kata Gilang agar kedua wanita itu gegas pergi.Adinda pun mengikuti Kiara seiring tarikan pada tangannya.Dia masih belum mengerti mengapa bisa dunia begitu sempit.Sampai-sampai dimana pun berada maka Dimas juga ada di sana."Mengenaskan...." lirih Adinda mengatai nasib sendiri."Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu."Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya."Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.Perempuan itu terdiam. Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya."Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda."Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada mej
"Minum!" titah Adinda dengan tatapan matanya yang berapi-api.Apa yang dilakukan oleh Dimas sangat tidak manusiawi dan Adinda bukan wanita lemah yang bisa dijadikan budak dengan sesukanya.Ingat pagi tadi juga Dimas sudah membuatnya berjalan kaki sejauh tiga kilometer.Membuat kakinya lecet dan terasa nyeri.Lantas sekarang pria itu lagi-lagi berulah dan itu sudah sampai pada batas kesabaran Adinda yang hanya manusia biasa."Semua ada batasnya. Dan, anda sudah terlalu jauh melewati batas itu!" papar Adinda.Dimas pun tak tinggal diam dia mencengkram tangan Adinda yang berani memegang rahangnya.Akan tetapi saat itu kaki Adinda langsung bergerak cepat dengan mendorong kursi yang masih di duduki oleh Dimas.Kursi tersebut pun berputar dan membuat cengkraman Dimas pun terlepas.Meskipun kaki Adinda terasa sakit tapi dia tidak perduli lagi.Baginya pelajaran berharga untuk membuat Dimas mengerti jauh lebih penting.Dan Adinda pun akhirnya dengan cepat memutar kedua tangan Dimas ke belakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Napas hangat Dimas begitu terasa di tengkuk leher Adinda.Dinikmatinya momen-momen saat Adinda memohon padanya untuk dilepaskan.Tapi, pria itu jelas tak mungkin melepaskannya.Karena, memang inilah yang diinginkan oleh Dimas: melihat wajah Adinda yang penuh dengan ketakutan, serta tidak berdaya dalam menghadapi dirinya.Jika sebelumnya Dimas hanya mengancam, tapi tidak dengan kali ini.Tidak akan ada lagi ampun untuk wanita kurang ajar itu."Tuan Dimas, jangan lakukan ini pada ku," mohon Adinda, tidak ada hentinya.Dimas justru tersenyum. Srak!Dengan cepat, tangan kekarnya merobek pakaian Adinda dan melemparkan dengan asal.Adinda pun semakin panik saat tubuhnya tanpa sehelai benang itu pun terpampang nyata di hadapan Dimas.Dia mencoba untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya.Namun, sia-sia karena malam ini Dimas sepertinya dikuasai oleh kemarahan.Kedua tangan Adinda pun ditekan erat. Gelengan kepala wanita itu justru membuat senyum miring tampak muncul di bibir Dimas.Dibe
Siraman itu sepertinya berhasil.Kelopak mata Adinda kini tampak bergerak, hingga perlahan terbuka.Dengan kepala yang terasa pusing, dia pun mencoba untuk mendudukkan tubuhnya."Akh," rintih Adinda merasa sakit di sekujur tubuhnya.Sekujur tubuhnya terasa remuk karena Dimas, belum lagi kesucian yang telah dia jaga selama 20 Tahun lamanya pun direnggut paksa.Rasanya sangat miris sekali hidupnya.Menikah dengan paksa dan orang itu bukan seseorang yang dia cintai.Kemudian, pria yang menjadi suaminya adalah seorang duda beranak satu.Belum lagi perbedaan usia yang sangat jauh.Ditambah lagi pria itu sangat kasar dan tidak tahu bagaimana cara menghargai seorang wanita.Dosa apa yang ia lakukan sehingga harus mendapatkan jalan hidup yang begitu terjal.Karena saat ini Adinda bukan hanya lelah badan. Tetapi, juga lelah perasaan.Adinda pun menarik selimut untuk menutupi dirinya.Kemudian mengusap wajahnya yang basah karena siraman air yang dilakukan oleh Dimas.Matanya melihat Dimas yang
Di sisi lain, Adinda menenangkan dirinya dengan membersihkan diri secara menyeluruh.Begitu selesai, ia pun keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di tubuhnya. Dapat dilihatnya, Dimas masih berdiri di sana.Apakah Adinda peduli?Jelas, tidak.Bahkan dia sengaja memakai handuk milik Dimas. Padahal, pria itu tidak suka ada barang miliknya yang dipakai oleh orang lain.Termasuk handuk yang biasa dia gunakan Dimas.Sialnya Adinda malah lancang memakainya.Rasanya, wanita itu semakin menjadi-jadi setelah Dimas merenggut kesuciannya.Bahkan, Adinda hanya tersenyum miring saat melewati dirinya.Dimas yang tidak suka dengan sikap Adinda pun mencengkram erat lengan Adinda.Membuat langkah kaki Adinda pun terhenti, dia pun melihat tangan Dimas yang masih mencengkram erat lengannya.Kemudian melihat wajah Dimas dengan berani."Beraninya kamu menatapku?!" geram Dimas.Tatapan Adinda yang seakan menantangnya membuat seorang Dimas kehilangan kesabarannya."Saya bisa melakukan hal lebih dari
"Bodoh! Untuk menyelidiki satu wanita jalang itu saja kau tidak becus!" Brak!Dimas melempar sebuah laptop ke arah Gilang yang untungnya dapat menghindar.Peduli setan dengan laptop seharga jutaan dolar itu hancur berantakan di lantai.Dimas sangat kecewa dengan kerja Gilang yang tidak bisa membuatnya puas.Dia sudah meminta Gilang untuk menyelidiki tentang Adinda, terutama kelemahan Adinda agar bisa dia kendalikan. Akan tetapi tidak menghasilkan apa-apa.Membuat amarahnya semakin membuncah."Maaf, Pak Presdir," Gilang menundukkan kepalanya sambil berdoa semoga saja dia masih bisa bernapas dengan baik setelah ini."Baiklah, jadikan wanita itu asisten saya! Cepat!""Baik, Pak Presdir," cepat-cepat Gilang keluar dari ruangan tersebut.Dia akan menghubungi Adinda dan menjadikan wanita itu sebagai asisten Dimas.Seperti yang diperintahkan padanya.Dimas meninju udara.Mungkin dengan menjadikan wanita itu sebagai asistennya bisa membuat wanita itu segera tunduk padanya.Bahkan dia tidak
"Apa jadwal saya hari ini?" Adinda pun melihat pada tab tersebut.Namun, pikiran Dimas saat ini bagaimana caranya untuk bisa membuat Adinda memiliki kesalahan."Ada meeting di restoran permata hijau, sekarang," jawab Adinda.Dimas pun segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan.Sedangkan Adinda mengikuti dari belakang.Dengan sengaja Dimas melangkah cepat agar Adinda kesulitan untuk mengimbangi.Tubuh Adinda memang kecil, tapi dia juga tidak kalah cepat dalam berjalan.Bahkan dia berjalan sangat lincah meskipun dengan sepatu hak tingginya.Memegang tab di tangannya dan saat itu Dimas berhenti di depan sebuah mobil."Buka pintunya, itu tugas mu!" kata Dimas.Adinda pun membuka pintu mobil bagian kemudi."Kau pikir saya yang mengemudi dan kau duduk manis di belakang? Kau pikir kau itu siapa?" tanya Dimas meremehkan Adinda.Adinda pun menutup pintu bagian kemudi dan berpindah membuka pintu mobil bagian belakang.Setelah menatap tajam Adinda, kini Dimas pun duduk di sana."Kau yang m