"Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.
Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu.
"Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya."Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.Perempuan itu terdiam. Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya."Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda."Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada meja saya?" tanya Dimas dengan suaranya yang berat dan tertahan.Baik.Adinda pun mengerti, kemudian dia pun kembali mengambil secangkir kopi tersebut dan memegangnya kembali."Siapa lagi yang meminta kau melakukan itu?" tanya Dimas lagi.Adinda pun menghela nafas panjang mendengar ucapan Dimas yang sangat membingungkan itu."Letakkan!" titah Dimas dengan tetapan mata yang berapi-api.Apa kesalahan Adinda sehingga Dimas begitu membenci Adinda?
Itu karena Adinda masuk kedalam hidupnya tanpa dia inginkan!Tapi, Adinda pun memilih untuk diam. Dia melakukan apa yang diperintahkan oleh Dimas--meletakkan kembali secangkir kopi buatannya pada meja.Seulas senyuman sinis pun kembali tampak di bibir Dimas.Dia pun memperhatikan secangkir kopi di atas meja.Dan tiba-tiba saja Dimas memasukkan sebuah ponsel ke dalam gelas tersebut.Adinda pun terkejut seketika itu, dia pun memeriksa saku kemejanya untuk memastikan bahwa itu bukan ponselnya.Tapi tidak.Adinda sangat yakin jika itu adalah ponsel miliknya dan dia juga tak sadar kapan ponselnya bisa sampai di tangan Dimas.Sepertinya sebelumnya terjatuh.Dengan wajah paniknya dia pun melihat Dimas.Pria itu masih saja menatapnya dengan tatapan mata elangnya.Secepat mungkin Adinda pun berusaha untuk menyelamatkan ponsel bututnya.Meskipun demikian ponsel itu sangat dia butuhkan, sehingga Adinda sangat berharap ponselnya masih bisa digunakan setelah ini.Lagi-lagi Dimas tersenyum melihat wajah panik Adinda yang sedang berusaha untuk membersihkan ponselnya dari kopi yang menempel.Kemudian tampak ada perasaan lega karena ponselnya masih menyala.Paling tidak ponselnya masih bisa digunakan.Kemudian dia pun kembali melihat Dimas, ada rasa kesal yang dia rasakan karena ulah pria itu.Tapi apakah Dimas perduli?Tidak sama sekali.Dimas pun menyadarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya, mengangkat kakinya ke atas meja dengan angkuhnya.'Gembel ini akan aku buat menyesal karena sudah lancang masuk ke dalam hidupku,' batin Dimas mulai berbicara."Bersihkan sepatu saya!" titah Dimas.Adinda merasa itu bukan suatu hal yang wajar, dia memilih diam sambil berdiri di tempatnya."Kau tidak mau?" tanya Dimas kemudian dia pun menjeda ucapannya dan tersenyum miring, "kau bisa keluar dari sini, dan saya pastikan tidak akan ada tempat untuk mu di perusahaan manapun!" lanjut Dimas lagi.Dimas tersenyum penuh kemenangan melihat wajah Adinda yang tampak terkejut mendengar apa yang dikatakan olehnya.Lihat saja, Dimas akan menjadi manusia paling mengerikan yang pernah ditemui oleh Adinda.Sampai-sampai wahai itu trauma berat karena sudah bersedia menjadi istrinya.Brak!Tiba-tiba saja Dimas menendang meja, membuat benda yang ada di atasnya pun berserakan di lantai.Tatapan mata Dimas tertuju pada Adinda dengan begitu tajam.Dia geram karena wanita sialan yang ada dihadapannya itu belum juga melakukan hal yang dia perintahkan."Cepat!""Sial, sepertinya aku harus berhadapan dengan pasien rumah sakit jiwa," gumam Adinda.Dia pun mengepalkan tangannya sambil menahan rasa kesal yang bergejolak di dadanya, Dimas sungguh sangat menjengkelkan."Kenapa kau masih diam? Kerjakan bodoh!" sergah Dimas.Gilang yang berdiri tepat di depan daun pintu pun sejenak menutup mata dan menghela nafas panjang.Karena sudah pasti dia masih harus mencari seorang wanita yang siap menjadi asisten Dimas.Tapi dia juga diperintahkan oleh Laras untuk membuat Adinda yang menjadi asisten Dimas.Ini sangat berat sekali.Karena dibalik masuknya Adinda ke perusahaan tersebut adalah campur tangan Laras.Tapi tidak, karena saat itu Adinda pun berjongkok di hadapan Dimas.Membuat Dimas tersenyum puas melihat Adinda yang sangat rendah sekali di hadapannya."Buatkan kopi yang baru!" titah Dimas.Kopi yang baru?Adinda pun kini berdiri karena bingung dengan Dimas, sebelumnya dia diminta untuk membersihkan sepatu.Namun, kini berpindah harus membuatkan kopi yang baru?Harus berapa kali dia membuatkan kopi untuk pria gila di hadapannya itu."Kenapa masih di sini, tolol!""Cepat lakukan yang diperintahkan, Pak Presdir," kata Gilang yang sebenarnya juga kasihan pada Adinda.Baiklah Adinda pun akhirnya mengikuti perintah Dimas, hingga kini kembali dengan secangkir kopi di tangannya.Sudah untuk ketiga kalinya dia membuatkan kopi, bagaimana dengan selanjutnya?Apakah masih harus membuat lagi?"Lap sepatu saya!" titah Dimas sambil duduk di kursinya dan mulai menyeruput kopi yang baru dibuatkan oleh Adinda.Adinda pun mengambil tisu dan berjongkok kembali."Tidak dengan tisu!"Adinda pun menatap Dimas, dia tidak mengerti dengan maksud dari pria itu."Tundukkan kepala mu, tolol! Dan, lap pakai tangan mu langsung. Tanpa tisu atau lainya!"Adinda pun memilih untuk diam dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Dimas, meskipun ini sangat bertolak belakang dengan batinnya.Tapi dia juga butuh tempat untuk magang agar kuliahnya lekas selesai.Belum lagi biaya kuliahnya yang begitu mendesak.Namun, tiba-tiba saja ada yang mengalir tepat di atas tangannya dan itu adalah kopi buatannya dengan sengaja ditumpahkan oleh Dimas.Adinda pun berdiri dengan tegak, dia menatap wajah Dimas dengan tatapan mata penuh dengan kemarahan.Tapi Dimas tersenyum sinis melihat Adinda.Hingga perlahan Adinda pun melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Dimas.Sesaat kemudian mengambil alih gelas di tangan Dimas, tampak masih tersisa kopi di dalamnya."Kau mau apa?" tanya Dimas.Adinda pun tersenyum miring kemudian dia pun mencengkram erat rahang Dimas.Mata Gilang bahkan membulat melihat apa yang terjadi di hadapannya.Ini adalah hal yang sangat mencengangkan! Apa yang akan dilakukan oleh Adinda selajutnya?!"Minum!" titah Adinda dengan tatapan matanya yang berapi-api.Apa yang dilakukan oleh Dimas sangat tidak manusiawi dan Adinda bukan wanita lemah yang bisa dijadikan budak dengan sesukanya.Ingat pagi tadi juga Dimas sudah membuatnya berjalan kaki sejauh tiga kilometer.Membuat kakinya lecet dan terasa nyeri.Lantas sekarang pria itu lagi-lagi berulah dan itu sudah sampai pada batas kesabaran Adinda yang hanya manusia biasa."Semua ada batasnya. Dan, anda sudah terlalu jauh melewati batas itu!" papar Adinda.Dimas pun tak tinggal diam dia mencengkram tangan Adinda yang berani memegang rahangnya.Akan tetapi saat itu kaki Adinda langsung bergerak cepat dengan mendorong kursi yang masih di duduki oleh Dimas.Kursi tersebut pun berputar dan membuat cengkraman Dimas pun terlepas.Meskipun kaki Adinda terasa sakit tapi dia tidak perduli lagi.Baginya pelajaran berharga untuk membuat Dimas mengerti jauh lebih penting.Dan Adinda pun akhirnya dengan cepat memutar kedua tangan Dimas ke belakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Napas hangat Dimas begitu terasa di tengkuk leher Adinda.Dinikmatinya momen-momen saat Adinda memohon padanya untuk dilepaskan.Tapi, pria itu jelas tak mungkin melepaskannya.Karena, memang inilah yang diinginkan oleh Dimas: melihat wajah Adinda yang penuh dengan ketakutan, serta tidak berdaya dalam menghadapi dirinya.Jika sebelumnya Dimas hanya mengancam, tapi tidak dengan kali ini.Tidak akan ada lagi ampun untuk wanita kurang ajar itu."Tuan Dimas, jangan lakukan ini pada ku," mohon Adinda, tidak ada hentinya.Dimas justru tersenyum. Srak!Dengan cepat, tangan kekarnya merobek pakaian Adinda dan melemparkan dengan asal.Adinda pun semakin panik saat tubuhnya tanpa sehelai benang itu pun terpampang nyata di hadapan Dimas.Dia mencoba untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya.Namun, sia-sia karena malam ini Dimas sepertinya dikuasai oleh kemarahan.Kedua tangan Adinda pun ditekan erat. Gelengan kepala wanita itu justru membuat senyum miring tampak muncul di bibir Dimas.Dibe
Siraman itu sepertinya berhasil.Kelopak mata Adinda kini tampak bergerak, hingga perlahan terbuka.Dengan kepala yang terasa pusing, dia pun mencoba untuk mendudukkan tubuhnya."Akh," rintih Adinda merasa sakit di sekujur tubuhnya.Sekujur tubuhnya terasa remuk karena Dimas, belum lagi kesucian yang telah dia jaga selama 20 Tahun lamanya pun direnggut paksa.Rasanya sangat miris sekali hidupnya.Menikah dengan paksa dan orang itu bukan seseorang yang dia cintai.Kemudian, pria yang menjadi suaminya adalah seorang duda beranak satu.Belum lagi perbedaan usia yang sangat jauh.Ditambah lagi pria itu sangat kasar dan tidak tahu bagaimana cara menghargai seorang wanita.Dosa apa yang ia lakukan sehingga harus mendapatkan jalan hidup yang begitu terjal.Karena saat ini Adinda bukan hanya lelah badan. Tetapi, juga lelah perasaan.Adinda pun menarik selimut untuk menutupi dirinya.Kemudian mengusap wajahnya yang basah karena siraman air yang dilakukan oleh Dimas.Matanya melihat Dimas yang
Di sisi lain, Adinda menenangkan dirinya dengan membersihkan diri secara menyeluruh.Begitu selesai, ia pun keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di tubuhnya. Dapat dilihatnya, Dimas masih berdiri di sana.Apakah Adinda peduli?Jelas, tidak.Bahkan dia sengaja memakai handuk milik Dimas. Padahal, pria itu tidak suka ada barang miliknya yang dipakai oleh orang lain.Termasuk handuk yang biasa dia gunakan Dimas.Sialnya Adinda malah lancang memakainya.Rasanya, wanita itu semakin menjadi-jadi setelah Dimas merenggut kesuciannya.Bahkan, Adinda hanya tersenyum miring saat melewati dirinya.Dimas yang tidak suka dengan sikap Adinda pun mencengkram erat lengan Adinda.Membuat langkah kaki Adinda pun terhenti, dia pun melihat tangan Dimas yang masih mencengkram erat lengannya.Kemudian melihat wajah Dimas dengan berani."Beraninya kamu menatapku?!" geram Dimas.Tatapan Adinda yang seakan menantangnya membuat seorang Dimas kehilangan kesabarannya."Saya bisa melakukan hal lebih dari
"Bodoh! Untuk menyelidiki satu wanita jalang itu saja kau tidak becus!" Brak!Dimas melempar sebuah laptop ke arah Gilang yang untungnya dapat menghindar.Peduli setan dengan laptop seharga jutaan dolar itu hancur berantakan di lantai.Dimas sangat kecewa dengan kerja Gilang yang tidak bisa membuatnya puas.Dia sudah meminta Gilang untuk menyelidiki tentang Adinda, terutama kelemahan Adinda agar bisa dia kendalikan. Akan tetapi tidak menghasilkan apa-apa.Membuat amarahnya semakin membuncah."Maaf, Pak Presdir," Gilang menundukkan kepalanya sambil berdoa semoga saja dia masih bisa bernapas dengan baik setelah ini."Baiklah, jadikan wanita itu asisten saya! Cepat!""Baik, Pak Presdir," cepat-cepat Gilang keluar dari ruangan tersebut.Dia akan menghubungi Adinda dan menjadikan wanita itu sebagai asisten Dimas.Seperti yang diperintahkan padanya.Dimas meninju udara.Mungkin dengan menjadikan wanita itu sebagai asistennya bisa membuat wanita itu segera tunduk padanya.Bahkan dia tidak
"Apa jadwal saya hari ini?" Adinda pun melihat pada tab tersebut.Namun, pikiran Dimas saat ini bagaimana caranya untuk bisa membuat Adinda memiliki kesalahan."Ada meeting di restoran permata hijau, sekarang," jawab Adinda.Dimas pun segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan.Sedangkan Adinda mengikuti dari belakang.Dengan sengaja Dimas melangkah cepat agar Adinda kesulitan untuk mengimbangi.Tubuh Adinda memang kecil, tapi dia juga tidak kalah cepat dalam berjalan.Bahkan dia berjalan sangat lincah meskipun dengan sepatu hak tingginya.Memegang tab di tangannya dan saat itu Dimas berhenti di depan sebuah mobil."Buka pintunya, itu tugas mu!" kata Dimas.Adinda pun membuka pintu mobil bagian kemudi."Kau pikir saya yang mengemudi dan kau duduk manis di belakang? Kau pikir kau itu siapa?" tanya Dimas meremehkan Adinda.Adinda pun menutup pintu bagian kemudi dan berpindah membuka pintu mobil bagian belakang.Setelah menatap tajam Adinda, kini Dimas pun duduk di sana."Kau yang m
Di saat yang sama, Megan mendatangi rumah Laras secara langsung.Dia ingin kembali pada Dimas. Selain karena ada Moza, dia juga tahu jika Dimas akan menjadi pewaris dari kerajaan bisnis Laras yang terkenal dengan kekayaannya mencapai triliunan rupiah.Jadi, dengan penuh percaya diri, dia menemui Laras untuk berbicara, "Saya tahu anak Ibu hanya menikahi wanita gembel itu karena paksaan dari, Ibu." Megan tersenyum pada wanita yang kini duduk di hadapannya.Sementara itu, Laras hanya tersenyum mendengar ucapan dari mantan istri putranya tersebut."Kebahagiaan Dimas ada pada saya, bukankah, seorang ibu ingin kebahagian untuk anaknya?" tambah Megan dengan senyuman penuh kebanggaan."Saya pun mencintai dia. Jadi, hari ini saya memberanikan diri untuk meminta, Ibu merestui kami kembali," tambah Megan lagi.Laras pun mengangguk membuat Megan merasa lega.Ah, rasanya tidak mungkin tapi sepertinya apa yang akan menjadi tujuannya akan tercapai.Perusahaan keluarganya diambang kebangkrutan. Sehi