Share

Bab 7

"Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.

Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu.

"Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya.

"Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.

Perempuan itu terdiam.  Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya.

"Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.

Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.

Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.

Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.

Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda.

"Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada meja saya?" tanya Dimas dengan suaranya yang berat dan tertahan.

Baik.

Adinda pun mengerti, kemudian dia pun kembali mengambil secangkir kopi tersebut dan memegangnya kembali.

"Siapa lagi yang meminta kau melakukan itu?" tanya Dimas lagi.

Adinda pun menghela nafas panjang mendengar ucapan Dimas yang sangat membingungkan itu.

"Letakkan!" titah Dimas dengan tetapan mata yang berapi-api.

Apa kesalahan Adinda sehingga Dimas begitu membenci Adinda?

Itu karena Adinda masuk kedalam hidupnya tanpa dia inginkan!

Tapi, Adinda pun memilih untuk diam. Dia melakukan apa yang diperintahkan oleh Dimas--meletakkan kembali secangkir kopi buatannya pada meja.

Seulas senyuman sinis pun kembali tampak di bibir Dimas.

Dia pun memperhatikan secangkir kopi di atas meja.

Dan tiba-tiba saja Dimas memasukkan sebuah ponsel ke dalam gelas tersebut.

Adinda pun terkejut seketika itu, dia pun memeriksa saku kemejanya untuk memastikan bahwa itu bukan ponselnya.

Tapi tidak.

Adinda sangat yakin jika itu adalah ponsel miliknya dan dia juga tak sadar kapan ponselnya bisa sampai di tangan Dimas.

Sepertinya sebelumnya terjatuh.

Dengan wajah paniknya dia pun melihat Dimas.

Pria itu masih saja menatapnya dengan tatapan mata elangnya.

Secepat mungkin Adinda pun berusaha untuk menyelamatkan ponsel bututnya.

Meskipun demikian ponsel itu sangat dia butuhkan, sehingga Adinda sangat berharap ponselnya masih bisa digunakan setelah ini.

Lagi-lagi Dimas tersenyum melihat wajah panik Adinda yang sedang berusaha untuk membersihkan ponselnya dari kopi yang menempel.

Kemudian tampak ada perasaan lega karena ponselnya masih menyala.

Paling tidak ponselnya masih bisa digunakan.

Kemudian dia pun kembali melihat Dimas, ada rasa kesal yang dia rasakan karena ulah pria itu.

Tapi apakah Dimas perduli?

Tidak sama sekali.

Dimas pun menyadarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya, mengangkat kakinya ke atas meja dengan angkuhnya.

'Gembel ini akan aku buat menyesal karena sudah lancang masuk ke dalam hidupku,' batin Dimas mulai berbicara.

"Bersihkan sepatu saya!" titah Dimas.

Adinda merasa itu bukan suatu hal yang wajar, dia memilih diam sambil berdiri di tempatnya.

"Kau tidak mau?" tanya Dimas kemudian dia pun menjeda ucapannya dan tersenyum miring, "kau bisa keluar dari sini, dan saya pastikan tidak akan ada tempat untuk mu di perusahaan manapun!" lanjut Dimas lagi.

Dimas tersenyum penuh kemenangan melihat wajah Adinda yang tampak terkejut mendengar apa yang dikatakan olehnya.

Lihat saja, Dimas akan menjadi manusia paling mengerikan yang pernah ditemui oleh Adinda.

Sampai-sampai wahai itu trauma berat karena sudah bersedia menjadi istrinya.

Brak!

Tiba-tiba saja Dimas menendang meja, membuat benda yang ada di atasnya pun berserakan di lantai.

Tatapan mata Dimas tertuju pada Adinda dengan begitu tajam.

Dia geram karena wanita sialan yang ada dihadapannya itu belum juga melakukan hal yang dia perintahkan.

"Cepat!"

"Sial, sepertinya aku harus berhadapan dengan pasien rumah sakit jiwa," gumam Adinda.

Dia pun mengepalkan tangannya sambil menahan rasa kesal yang bergejolak di dadanya, Dimas sungguh sangat menjengkelkan.

"Kenapa kau masih diam? Kerjakan bodoh!" sergah Dimas.

Gilang yang berdiri tepat di depan daun pintu pun sejenak menutup mata dan menghela nafas panjang.

Karena sudah pasti dia masih harus mencari seorang wanita yang siap menjadi asisten Dimas.

Tapi dia juga diperintahkan oleh Laras untuk membuat Adinda yang menjadi asisten Dimas.

Ini sangat berat sekali.

Karena dibalik masuknya Adinda ke perusahaan tersebut adalah campur tangan Laras.

Tapi tidak, karena saat itu Adinda pun berjongkok di hadapan Dimas.

Membuat Dimas tersenyum puas melihat Adinda yang sangat rendah sekali di hadapannya.

"Buatkan kopi yang baru!" titah Dimas.

Kopi yang baru?

Adinda pun kini berdiri karena bingung dengan Dimas, sebelumnya dia diminta untuk membersihkan sepatu.

Namun, kini berpindah harus membuatkan kopi yang baru?

Harus berapa kali dia membuatkan kopi untuk pria gila di hadapannya itu.

"Kenapa masih di sini, tolol!"

"Cepat lakukan yang diperintahkan, Pak Presdir," kata Gilang yang sebenarnya juga kasihan pada Adinda.

Baiklah Adinda pun akhirnya mengikuti perintah Dimas, hingga kini kembali dengan secangkir kopi di tangannya.

Sudah untuk ketiga kalinya dia membuatkan kopi, bagaimana dengan selanjutnya?

Apakah masih harus membuat lagi?

"Lap sepatu saya!" titah Dimas sambil duduk di kursinya dan mulai menyeruput kopi yang baru dibuatkan oleh Adinda.

Adinda pun mengambil tisu dan berjongkok kembali.

"Tidak dengan tisu!"

Adinda pun menatap Dimas, dia tidak mengerti dengan maksud dari pria itu.

"Tundukkan kepala mu, tolol! Dan, lap pakai tangan mu langsung. Tanpa tisu atau lainya!"

Adinda pun memilih untuk diam dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Dimas, meskipun ini sangat bertolak belakang dengan batinnya.

Tapi dia juga butuh tempat untuk magang agar kuliahnya lekas selesai.

Belum lagi biaya kuliahnya yang begitu mendesak.

Namun, tiba-tiba saja ada yang mengalir tepat di atas tangannya dan itu adalah kopi buatannya dengan sengaja ditumpahkan oleh Dimas.

Adinda pun berdiri dengan tegak, dia menatap wajah Dimas dengan tatapan mata penuh dengan kemarahan.

Tapi Dimas tersenyum sinis melihat Adinda.

Hingga perlahan Adinda pun melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Dimas.

Sesaat kemudian mengambil alih gelas di tangan Dimas, tampak masih tersisa kopi di dalamnya.

"Kau mau apa?" tanya Dimas.

Adinda pun tersenyum miring kemudian dia pun mencengkram erat rahang Dimas.

Mata Gilang bahkan membulat melihat apa yang terjadi di hadapannya.

Ini adalah hal yang sangat mencengangkan! Apa yang akan dilakukan oleh Adinda selajutnya?!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Marliya Badawi
I like .... ceritanya bagus
goodnovel comment avatar
Nining Vitra
good cerita ....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status