Sudah hampir tiga tahun Nabila menjadi seorang janda, padahal dia masih bersuami.
Nabila memandangi pantulan tubuhnya di cermin. Melihat baik-baik di mana kekurangannya.Padahal tidak ada yang kurang. Dia masih sangat cantik, kulitnya putih bersih, semua anggota tubuhnya pun masih sangat indah meski dia pernah melahirkan dan menyusui anak yang kini sudah berusia hampir dua tahun.Nabila sangat merawat bentuk tubuhnya agar selalu terlihat cantik di mata suaminya.Tapi sampai sekarang, Dewa—suaminya, belum pernah sekalipun mendatanginya. Jangankan mendatanginya, menatap dirinya pun seperti enggan. Mereka pisah kamar dari awal pernikahan.Bayangkan! Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar. Bagaimana pun, Nabila seorang wanita dewasa dan normal. Dia juga memiliki kebutuhan biologis yang harus terpenuhi.Namun jika demikian, maka jangan salahkan Nabila jika dia melakukannya dengan caranya sendiri.Kendati Nabila tahu, perbuatan ini sangat berdosa dan sangat dilarang di dalam agama yang dia yakini. Tapi Nabila pikir, seperti ini masih lebih baik daripada dia berselingkuh dengan laki-laki di luar sana yang bakal menjadi masalah baru dalam hidupnya.Tidak sedikit yang memilih jalan hidup seperti itu dan pada akhirnya, masa depan mereka hancur. Anak menjadi korban dan hidupnya tak pernah tenang.Mungkin orang-orang—terutama kedua orang tua mereka, menganggap Nabila dan Dewa adalah pasangan yang harmonis dan jauh dari kata pertengkaran. Karena begitu yang kerap terlihat jika keduanya sedang bersama di setiap kesempatan.Tapi jauh di belakang pasang mata banyak orang, keduanya adalah pasangan yang sangat dingin. Jarang terlibat pembicaraan apalagi sekadar duduk berdua.Nabila dan Dewa justru mirip seperti kedua orang yang asing, namun terpaksa tinggal bersama dalam satu atap.Dan mungkin bila satu sampai dua tahun pernikahan—Nabila masih memakluminya. Wajar jika pria itu masih marah dan kecewa dengan kesalahan besar yang dia lakukan. Sebab Nadia telah menodai cinta suci mereka.Tapi sampai di tahun ketiga ini, sepertinya kesabaran Nabila sudah mulai menipis. Godaan setan mulai membisik di kanan kiri telinganya, memerintahkannya untuk bercerai saja dan segera mencari lelaki yang lebih baik dari Dewa. Dari segi apapun.** *“Ayaaahh!” panggil Zaki pada Dewa yang kini sedang menuruni tangga, “Ayah! Jaki puna mainan balu!”Pria berusia 26 tahun itu hanya menatap Zaki sekilas, sebelum dia kembali melanjutkan langkahnya keluar. Mengabaikan Zaki yang kini terus berlari mengejar untuk memperlihatkan pesawat barunya.“Ayah liat, Jaki puna mainan balu...”Mendengar Zaki terus meneriaki ayahnya, Nabila pun keluar dari dapur untuk segera melihat apa yang dilakukan oleh sang anak.Khawatir Zaki mengejar-ngejar lelaki itu seperti biasanya hanya untuk mencari perhatian.Benar saja. Pemandangan yang terlihat, Zaki menangis dan terus memanggil Dewa. Menarik perhatiannya agar Dewa mau melihat apa yang dia tunjukkan, namun tak dihiraukan oleh pria itu. Seolah Zaki tak pernah ada.Wajah Dewa fokus lurus tanpa ekspresi. Mengaitkan tali sepatunya sebelum dia keluar rumah.“Ayah liat, Jaki puna mainan balu. Liat ini, Ayah, liaat...” rengek Zaki tak lelah menunjukkan mainan pesawat barunya.“Zaki, udah, Nak. Zaki main sama Ibu aja, ya?” Nabila meraih tubuh Zaki yang kini memberontak dan ingin tetap berada di dekat laki-laki yang dia anggap ayahnya.“Jaki mau sama Ayah, mau sama Ayahh!”“Ayah mau berangkat kerja, Nak!”Nabila pasrah saat Zaki harus terlepas dari tubuhnya karena tenaga sang anak jauh lebih kuat. Zaki kembali mengejar Dewa, saat laki-laki itu justru mendorong tubuh kecil Zaki hingga terjatuh dan meninggalkannya begitu saja.“Ayaaah! Ayaaaah!”Nabila segera menubruk tubuh Zaki lagi, mencegah bocah itu agar tak kembali mengejar.Dibawanya Zaki masuk ke dalam rumah. Zaki bahkan tak memedulikan rasa sakitnya. Dia hanya inginkan ayahnya, karena nama itu yang terus Zaki teriakkan.“Ayaahh!”“Tolongin aku, Dar. Dewa bener-bener udah keterlaluan,” ujar Nabila pada temannya di sambungan telepon.** *“Yang sabar ya, Bil. Aku cuma bisa jadi pendengar kalau kamu butuh tempat sampah.”Dara, sahabat Nabila datang ke rumah untuk menenangkan Nabila. Diraihnya Nabila ke dalam pelukan.Sedikitnya, Dara paham seperti apa rumah tangga sang teman karena mereka sering bertemu dan bercerita.Ah, bukan Nabila yang sengaja menceritakannya, tetapi dirinyalah yang memaksanya untuk menjawab pertanyaan.Sebab yang kerap terjadi saat mereka bertemu, Dara selalu mendapati mata Nabila sembab seperti habis menangis.Belakangan sudah tidak terlalu parah. Dulu, lebih parah saat Nabila baru saja melahirkan. Jangan ditanya lagi bagaimana keadaan Nabila. Nabila di matanya sangat menyedihkan.Kantung matanya menghitam, tubuhnya kurus, rambutnya berantakan macam tak pernah disisir. Daster sobek adalah pakaiannya sehari-hari.Konon, Dewa tidak pernah tersentuh bagaimana Nabila mengalami hari-harinya yang cukup berat. Lantaran juga harus berhadapan dengan mertua dan saudara iparnya yang sangat cerewet.“Kalau nggak tahan, kamu bisa bilang udah kok, Bil,” ujar Dara usai mengikis jarak antara keduanya.“Iya, aku udah capek banget, tapi aku juga nggak bisa melepas dia. Aku nggak tau harus gimana, aku pun bingung sama diriku sendiri,” katanya frustrasi.Perasaan Nabila sudah hampir habis di orang pertama dan Nabila takut, tak bisa mencintai orang lain lagi. Lagipula belum tentu, dia bisa mendapatkan yang lebih baik.Nabila tak bisa membayangkan jika nasibnya justru akan lebih menderita daripada sekarang.“Kasihan Zaki, Bil. Dia butuh ayah yang tulus menyayanginya.”“Iya, aku tau. Aku egois, ya?”“Banget. Kamu egois banget.” Dara menekankan kalimatnya.“Kapan Dewa bisa liat aku ya, Dar?”“Cuma orang bego yang masih berharap seperti itu setelah tiga tahun diabaikan.”“Tapi penantian dia lebih lama dari aku. Kami pacaran semenjak SMA, sampai kuliah dan menikah. Berapa taun coba? Tapi aku malah hamil anak orang lain. Kadang kalau dipikir-pikir, kesalahan aku lebih besar daripada dia.”“Coba kamu telaah lagi deh, Bil. Itu beneran cinta atau cuma perasaan bersalah. Dua antara kata itu adalah hal yang berbeda.”“Dua-duanya, Dar.”“Ibu ....” Langkah kecil Zaki mendekat. Anak itu mengulurkan tangannya meminta untuk diraih.“Daripada kamu sedih terus begini, mendingan kamu kerja aja deh. Kayaknya Zaki udah bisa dititipin ke daycare.”“Kerja lagi? Tapi aku takut kehilangan momenku sama dia. Pertumbuhan dia sangat cepat.”“Kamu juga butuh kewarasan dan itu hanya bisa kamu temukan di luar rumah.”“Begitukah?”Sang teman mengangguk yakin. “Ayo, akan aku bantu.”“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa