Karena kesalahan satu malam yang dilakukannya bersama pria lain, Nabila hamil menjelang pernikahan. Calon suaminya marah besar begitu mengetahui hal tersebut meski dia tetap bersedia menikahinya. Namun dari situlah penderitaan Nabila berasal. Zaki sang suami sangat membencinya. Hampir tiga tahun pernikahan mereka, jangankan pernah tidur satu kamar, saling berbicara pun tidak. Keduanya justru lebih mirip seperti orang asing yang terpaksa hidup bersama dalam satu atap. Nabila ingin meminta cerai, tapi hatinya berat untuk melakukan. Cintanya terlalu besar untuk pria itu.
View MoreNabila dan Zaki sudah tiba di rumah dari jam lima yang lalu, saat Dewa baru sampai di rumah pukul delapan malam. Terhitung telat tiga jam dari biasanya.“Macetnya luar biasa, Bil...Bil...” katanya tanpa Nabila bertanya.“Emang dari mana aja kok, macet?” sindir Nabila tipis-tipis.“Kan aku udah bilang, balik ke kantor karena ada urusan mendadak.”“Oh, iya ya?”“Ini kamu nggak lagi nuduh aku macam-macam kan?” selidik Dewa menatap Nabila penuh arti.“Hah? Nggak padahal. Mas ngerasa gitu emangnya?”“Aku beneran dari kantor, Bil. Nggak dari mana-mana.”'Bohong kamu, Mas, bohong!' isi hati Nabila mencibir kedustaan suaminya.Nabila masih mendiamkan saja kecurigaannya yang semakin menguat dan berpura-pura seolah tak mengetahui apa-apa. Sembari dia mencari bukti kuat lainnya yang terus dia kumpulkan untuk membuat pria itu mengakuinya sendiri, di waktu yang tepat.Meski tak dipungkiri, hatinya terasa sangat sakit. Sangat sakit tak terperi. Lantaran ia tak hanya memikirkan dirinya, tetapi anak
“Sekali lagi Bil.” “Udah Mas cukup...” “Sekali aja, janji...” Dewa memasang wajah memelas. Seperti anak kecil yang tengah meminta jajanan favoritnya. “Tapi perut aku...” Mendengar hal itu Dewa langsung berubah panik. “Perut kamu kenapa?” “Berasa nggak enak, kayak agak kram gitu.” Nabila tidak sedang berbohong, dia memang merasakannya setelah dua kali mereka bertempur cukup lama di jam Cinderella ini. Meski tak separah yang Dewa pikirkan. “Serius, Bil? Kamu jangan bikin aku takut.” “Makanya, udah. Nanti kalau anakmu kenapa-kenapa gimana?” “Kok, kamu nggak bilang sih, Bil, kalau ini bahaya? Aku nggak tau kalau terlalu sering itu nggak boleh.” “Coba Mas banyak belajar lagi soal ... ya, itu, deh.” “Sorry ya, Bil. Sorry. Ok, aku udahan.” Dewa bahkan tak hanya mengakhiri, tapi juga mendatangkan dokter ke sana. Dengan cara meminta tolong pada salah satu pihak pengelola Villa. Nabila yang tak diberitahu nya terkejut, mengapa ada orang berseragam putih masuk dan hendak memeriksa di
Hari sudah cukup siang saat itu, tapi Nabila Masih bergelung di tempat tidur dengan pakaian setengah telanjangnya. Nabila masih sangat mengantuk gara-gara kerjaan Dewa semalam, tapi anaknya sudah terdengar ribut saja agar ia segera beranjak dari sana.“Jaki mau salapan, Bu. Ayo kita salapan. Mau nasi goleng...” rengeknya terdengar di samping telinga persis, sedangkan tangan kecilnya berusaha menepuk-nepuk pipinya untuk membangunkan.“Zaki sarapannya sama ayah, ya. Nanti sekalian main di bawah,” bujuk Dewa.“Maunya salapan sama ibuuu, mainnya sama ibu juga,” tolak Zaki menjauhkan tangan Dewa yang hendak meraihnya. “Ssst, dengerin Ayah.” Dewa meminta Zaki untuk menatap matanya. “Adik di perut Ibu masih ngantuk, kasihan kalau Kaka Zaki paksain bangun sekarang.”“Adik culang bisa sama ibu telus tapi Jaki engga.” Zaki malah menangis, sehingga Nabila terpaksa membuka kelopak matanya. Mati-matian dia menahan rasa kantuk sampai matanya memerah dan kepalanya terasa pening sebelah.“Apa, Saya
“Ya nggak gitu juga konsepnya Nabila sayangkuuuu. Kan udah jadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Jadi kamu nggak usah merasa nggak enak atau semacamnya. Kamu itu diambil dari mama sama Papa untuk dia bahagiakan, bukan sebaliknya. “Tapi kalau kamu rela ikhlas seperti itu, ya, terserah. Kalau Mama sih, nggak mau ya. Terlebih kalau suami Mama gajinya besar. Mendingan Mama yang simpen dong, buat ditabung kek, atau beli-beli perhiasan. Soalnya laki-laki kalau punya banyak uang, biasanya dia suka berulah. Beda otaknya sama perempuan yang lebih memikirkan banyak hal terutama di masa yang akan mendatang.” “Maa, jangan nakut-nakutin, dong. Nggak mungkinlah Mas Dewa kayak gitu...” ujar Nabila yang sebenarnya sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Nggak nakut-nakutin. Siapa pula yang nakut-nakutin kamu, Bil? Ini kan, umpamanya. Ya Mama heran aja—rumah ini kamu yang nyicilin, terus kalau ada kekurangan juga kamu yang menuhin. Mama pikir enak bener
“Mual lagi?” Dewa bertanya saat mendapati istrinya keluar dari kamar mandinya dengan wajah pucat dan gestur tubuh yang lemas. Nabila mengangguk. Wanita itu mengusap wajahnya yang basah dengan tissue, kemudian bercermin di depan meja riasnya. “Nggak tahu kenapa, anakku yang kedua ini Masya Allah banget, Mas. Padahal yang pertama nggak ada tuh, yang namanya morning sicknes. Mungkin karena tahu aku sendirian ... jadi nggak manja kayak sekarang ini.” “Bukan karena dia cewek?” menurut Dewa. “Kata Mama juga begitu, tapi entahlah.” “Dek, jangan nakal, ya. Jadi anak baik. Kasihan ibu,” ujar Dewa mengusap-usap perut datar Nabila. “Kamu masih bisa berangkat kerja? Kalau nggak, jangan dipaksa.” “Bisa, Mas. Tenang aja. Cuma pagi, kok, gejalanya. Kalau siang ok-ok aja tuh. Makanya aku gas makan siangnya. Kemarin aja makan steak daging, dapat banyak.” Dewa meraih Nabila ke dalam pelukan. “Makasih udah mau sabar nerima aku lagi ya, Bil. Padahal nggak ada alasan buatmu mempertahankan laki-laki
Nabila sedang berada di ruang rapat sekarang. Mereka sedang membahas perencanaan syuting video iklan yang akan dilakukan oleh tim ADT Media Minggu ini. Yakni penentuan tempat, jadwal produksi, pematangan naskah, dan yang paling utama adalah penetapan anggaran.“Nah, ini yang menjadi permasalahan utama kita saat ini, Pak. Permintaan produksi sedang cukup melonjak sekarang, namun harus kita akui, kita mengalami keterbatasan,” ujar seseorang yang menduduki kursi manajer keuangan.“Kita bisa menurunkan biaya produksi,” balas Aditya yang kemudian langsung disahuti oleh Nabila.“Tapi menurunkan biaya produksi juga bisa menghambat semuanya, Pak. Dan terus terang saya keberatan.”“Nggak ada cara lain untuk mengoptimalkan anggaran yang ada, Nabila.”“Ada cara lainnya sebenarnya, Pak,” sahut sang sekretaris.Aditya mempersilahkan.“Biarkan semuanya berjalan sambil menunggu para klien melakukan pelunasan.”“Apa ini menjamin?”“Kita akan melakukannya semaksimal mungkin.”“Yang lain ada yang mau m
“Habis makan-makan di mana?” tanya Dewa ketika Nabila dan Zaki tiba di rumah dan kebetulan, dia sudah sampai lebih dulu setengah jam yang lalu.“Cafe Remaja, Mas. Cafe favorit aku. Masih ingat?”“Ingat lah. Cafe Remaja itu kan favorit kita, bukan cuma kamu aja.”“Mas masih sering ke sana?” tanya Nabila antusias. Nabila senang karena Dewa ternyata masih mengingat kenang-kenangan mereka sewaktu pacaran.“Sering,” sahut Dewa cepat, namun segera menambahkan penjelasan agar Nabila tak salah paham dengannya, “biasa—buat ketemuan sama klien. Kan biasanya aku yang menentukan tempatnya.”“Oh...”“Kalau aku tau kalian makan di sana udah pasti aku jemput,” kata Dewa lagi.“Nggak apa-apa, Mas. Lain kali ini aja, kok. Yang penting kita udah nyampe rumah kan sekarang.”Dewa mengangguk mengerti, sebelum pria itu kembali bertanya, “Vitamin sama obatnya nggak lupa diminum kan?”“Tinggal vitaminnya yang belum.”Tanpa disuruh, Dewa menyediakan air putihnya, serta plastik obat yang mereka dapatkan dari R
Nabila melihat jarum jam di tangan kirinya, wanita itu agak cemas karena ia sedang diburu waktu. Sebentar lagi mungkin Dewa akan pulang, sementara Mama Dina juga akan ke rumah. Masalahnya, keduanya tidak boleh datang bersamaan di satu waktu, sebab ada hal yang akan mereka bicarakan tanpa pria itu. “Apa aku ajak makan di luar aja ya, biar lebih aman?” Nabila segera menghubungi mamanya untuk meminta pendapat. “Masih belum pulang juga?” ujar wanita itu begitu telepon mereka tersambung. “Iya, Ma. Tapi bentar lagi selesai, kok. Cuma masalahnya Dewa juga pasti bentar lagi pulang. Gimana kalau kita ketemuannya di luar aja, alasannya mau makan bareng atau apa, kek, biar nggak kaget kalau tiba-tiba dia nongol di waktu yang nggak tepat.” “Ok, di Cafe Remaja aja. Mama tunggu di sana, ya,” to the point sekali jawaban wanita itu. Untungnya tepat karena Cafe Remaja merupakan salah satu Cafe favoritnya. Nabila segera berkemas. Menuju ke lokasi dengan menggunakan taksi online sekaligus menjemp
“Ya, Ma?” Nabila menjawab telepon ibunya. “Kalian udah balik?” “Udah tadi siang, jam sebelasan kayaknya.” “Oh, ya udah kalau gitu, mah. Kondisi kamu gimana? Udah baikan kan? Nggak ada yang dirasain lagi?” “Nggak, kok. Alhamdulillah udah sehat banget, udah berasa lebih segeran daripada kemarin.” “Obat, vitamin jangan lupa diminum. Jangan ngapa-ngapain dulu, sementara biar Dewa aja yang ngurus semuanya. Kalau bisa, minta dipesenin katering aja sama dia biar kamu bisa dapat lauk beragam—nggak monoton kayak masakanmu sehari-hari. Kamu kan lagi butuh banyak nutrisi. Bolehlah masak, tapi sesekali aja biar nggak terlalu capek juga.” “Iya, Maa.” “Banyakin minum air putih!” kata Mama Dina lagi dengan penuh penekanan. “Iya, Maa, iyaaa.” “Bumer datang?” “Cuma waktu itu doang yang di RS,” kali ini, Nabila menjawabnya dengan nada berbisik. Lantaran khawatir Dewa yang berada di depan mendengar suaraya. “Besok Mama ke rumahmu, lanjutin yang kemarin. Kamu udah janji, lho. Kalau
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.