Keesokan harinya, kondisi kesehatan Meisya belum benar-benar membaik. Tenggorokannya masih belum bisa menerima asupan air. Apalagi makanan. Sehingga Meisya hanya memperoleh tenaga dari cairan infua saja. Kedua orang tuanya menatap puteri kesayangan;si bontot calon dokter yang kini terbaring lemah tanpa bisa makan dan minum apapun.
Tak jauh dari sana, Reza ikut tertunduk sedih ditemani oleh mama dan papanya. Ia tidak tahu bagaimana keadaan Meisya tiba-tiba seperti ini. Padahal, waktu pulang dari rumah Amira ....Tiba-tiba saja, mata Reza berbinar saat mengingat nama bocah SMP itu. Meisya memetik buah apel yang sudah dilarang oleh Amira. Mungkinkah gadis itu bisa membantunya menyembuhkan Meisya."Ada apa, Za?" tanya Yasmin pada puteranya, saat lelaki itu berjalan keluar ruang perawatan VIP dengan tergesa."Sebentar, Ma," jawab Reza yang sudah berada di luar. Lelaki itu berlari ke taman luar rumah sakit yang terletak di lantai tiga. TugSejak saat itu, Amira, Meisya, dan Reza berteman semakin akrab. Gadis itu tak pernah lagi menolak saat diantar ke sekolah oleh Reza, atau sekedar makan baso bersama dengan Meisya. Amira serasa memiliki kakak sekaligus abang.Gadis itu juga merasa senang, karena kebun apel ajaib miliknya kembali tumbuh subur. Itu karena, Meisya mengembalikan buah yang ia petik pada Amira dan sekaligus mengucapkan permintaan maaf yang tulus atas keegoisannya. Ketiganya menjadi sangat dekat dan sangat bersahabat. Tak jarang, Meisya dan Reza membantu Amira merawat kebun apelnya yang sudah mulai tumbuh.Kedekatan mereka bahkan menjadi bahan candaan Yasmin;saat menghadiri acara sukuran sunatan Mahesa dan Mahendra siang ini.Mama dari Reza datang bersama suaminya dan juga ketiga anaknya. Mereka banyak berbincang ringan sambil sesekali tertawa. Orang tua dari Meisya pun turut diundang. Ketiga keluarga besar ini, bagaikan sudah bersaudara lama dan dekat.
"Sya, sepertinya aku jatuh cinta pada Amira."Hening beberapa saat. Wanita bermata abu lensa kontak itu merasakan ini hanya sebuah halusinasinya saja. Diberanikannya menatap Reza yang kini menunduk tanpa melepas genggaman tangannya dari gadis itu.Meisya membuang pandangan sambil terus berusaha menahan air matanya. Mencoba melepaskan genggaman tangan Reza, tapi tak bisa."Trus, kamu maunya bagaiamana?" tanya Meisya dengan suara bergetar menahan tangis."Aku hanya tak ingin membohongi perasaanku saja, Sya. Maafkan aku." Reza mengangkat wajahnya. Menatap Meisya yang air beningnya sudah tumpah membasahi kedua pipinya."Oke, kamu sudah mengutarakannya. Sudah tenangkan sekarang. Oh, mungkin maksud kamu kita putus saja? Biar kamu bisa memadu kasih dengan bocah dukun itu.""Sya ....""Maaf ya, Za. Kita udah pacaran sejak SMA dan hanya karena bocah dukun kamu berpaling dari aku? Oke, kamu sudah masuk dalam perangka
Reza berkendara santai menuju apartemen Meisya. Lelaki muda itu bahkan sempat mampir membeli martabak telur super untuk ia bawa ke sana. Tak lupa minuman kekinian yang ada bubblenya;minuman kesukaan Meisya. Dalam hati ia berkata, walau tak bisa menganggap Meisya sebagai pacar lagi, tetapi ia tetap bisa berteman, atau mungkin bersahabat.Reza memarkirkan sepeda motor maticnya di lobi parkir paling bawah. Lelaki itu merasa seperti ada yang mengintai, Reza menoleh-tak ada siapa-siapa di sana. Parkiran motor sepi karena baru saja azan magrib. Tak menghiraukan halusinasinya, Reza masuk ke dalam lift dan memencet angka enam pada tombol lift. Digenggamnya dua bungkus makanan dan juga minuman dengan hati riang. Ia yakin, Meisya akhirnya menyutujui keputusannya tadi pagi.Azan magrib masih menggema. Reza memutuskan untuk menumpang solat di apartemen mantan pacarnya itu. Karena sudah mengetahui kode buka pintu apartemen, Reza langsung saja memencet papan tombol yang ada
Gadis yang bulan depan akan berusia empat belas tahun itu, masih saja menangis menutupi wajahnya dengan bantal tidur. Sepulang dari sekolah ia tidak keluar kamar lagi, sehingga membuat san ibu kebingungan. Makan malam pun ia lewatkan begitu saja. Tak ada yang tahu Amira kenapa. Aminarsih bertanya pada Adam, tetapi sepengetahuan Adam, Amira pulang bersama teman kembar tiganya. Ami juga menelepon Bu Dewi dan dari beliau juga menyampaikan hal yang sama, bahwa Amira pulang bersama Andrea, Aleta, dan Andini.Berbekal nomor yang diberikan wali kelas Amira, kini Aminarsih tengah melakukan panggilan ke nomor rumah teman anaknya itu. Sudah tiga kali memanggil, tapi belum juga diangkat padahal hari masih sore.“Hallo, assalamualayku. Siapa ini?” sapa riang suara di seberang sana.“Wa’aalykumussalam. Hallo, saya ibunya Amira. Maaf, saya bicara dengan siapa ya?”“Oh, Tante Aminarsih. Saya Andrea, Tante.”
Dua hari tidak masuk sekolah, karena Amira masih harus mengontrol emosinya. Apalagi masih sangat sedih atas kehilangannya Om Reza yang ternyata diam-diam ia sukai. Tak banyak bicara, tersenyum, hanya sesekali menyahut, dan sesekali memberikan seringai pada ledekan teman-temannya.Kadang, ia merindukan keisengan Deni, Roni, Acel, dan teman-teman lelaki lainnya pada rambutnya. Namun, kemarin rambut itu sudah berubah menjadi lurus dan panjang. Yah, walau tak selurus penggaris, tetapi penampilan Amira berubah seratus persen dan membuat semua teman di kelas tas mengenalinya.Sang papa yang memintanya untuk meluruskan rambut. Menjadi Amira yang baru, yang kuat, dan mampu berprestasi di sekolah. Ingat, tak ada lagi yang namanya jatuh cinta dengan siapa pun itu, sampai memang waktunya tiba."Gue baru sadar, kalau lo itu benar-benar cantik. Mau rambut tawon, mau rambut jalan tol. Gaya apa aja pasti cantik," puji Andrea pada Amira yang diikuti anggukan d
Amira menghentikan kayuhan sepedanya. Ia menoleh sekilas dan melihat ada lelaki yang hampir tiga minggu ia rindukan. Wajahnya dibuat sedatar mungkin, lalu tanpa menyahut, Amira kembali mengayuh sepedanya. Hatinya berdebar tak karuan. Belum pernah rasanya seperti ini. Ditambah lagi, Reza mengatakan saya rindu. Namun Amira tahu, jika itu hanya bualan.Hampir semua lelaki pandai membual, kecuali sang papa. Takkan ada lelaki seperti papanya. Kayuhan yang awalnya santai cenderung pelan, berubah menjadi kencang. Apalagi lelaki itu masih terus mengikuti Amira."Mira, saya mau bicara. Makan baso di depan mau tidak? Saya akan ijin Tante Ami sekarang," rengek lelaki itu dengan wajah memelas. Sayang sekali, Amira tak dapat melanjutkan kayuhannya, karena Reza sudah turun dari motor dan memegang sepedanya."Gak mau! Mira mau pulang," balas Amira dengan air mata bersiap tumpah. Ish, cengeng sekali diriku ini. Umpat Amira kesal dengan dirinya sendiri. Amira b
Sepuluh hari sebelum ulang tahun Amira.Pagi tak menyampaikan kabar baik hari ini. Masih sama seperti kemarin. Hujan rintik-rintik sejak malam. Tanah yang dipijak terasa amat beku tanpa setitik tanda-tanda kehangatan akan muncul. Lelaki itu hanya bisa memeluk erat bantal kursi, menaruh gadunya di sana sambil memandangi air hujan dari jendela kamarnya. Merasakan kebekuan hati yang sama. Rindu dan kesal itu menjadi satu. Namun jika membayangkan akan benar-benar meninggalkan itu terasa amat sakit.Sepuluh hari sudah Reza memilih berdiam diri di rumah. Tidak kuliah, tidak berkumpul bersama teman-teman, apalagi berjumpa dengan Meisya. Entah apa yang membuatnya begitu berat menjalankan tanggung jawab untuk Meisya. Hatinya terlalu berat untuk seorang gadis kecil bernama Amira.Jika dibilang lebay, ya ... dia memang lebay;bahkan cengeng. Untuk urusan percintaan sekelas usia dua puluh satu tahun, tentulah ia termasuk kategori cengen
"Reza! Tunggu!" Meisya segera bangun dari duduknya. Terlambat, Reza sudah berada di atas motornya dan melihat kekasihnya dengan tatapan sinis."Za, tunggu! Gue bisa jelasin!" rengek Meisya dengan air mata berlinang, sambil berlari kwluar dari pagar."Tak perlu ada penjelasan untuk suatu kebohongan!"Breem!Reza melesatkan motornya meninggalkan Meisya yang menangis, berteriak memanggil namanya. Ada senyum terbit di bibir lelaki itu. Ada batu karang yang menyudutkan hatinya berakhir dengan hancur. Kelegaan karena dosa yang tak pernah ia buat membuat seakan saat ini dirinya dikelilingi oleh para bidadari cantik berwajah Amira.Jujur, takkan mungkin ada pria yang tidak tergoda oleh kemolekan, kecerdasan, dan kecantikan yang ada pada Meisya. Ia pun merasakan hal yang sama dan jatuh cinta untuk waktu yang lama pada seorang Meisya. Namun, ada hal yang tidak dihilangkan dari h