Ruang perawatan intensif itu hening. Hanya suara monitor detak jantung dan desisan lembut dari tabung oksigen yang memecah sunyi. Lampu ruangan redup, menghindarkan pasien dari silau yang bisa menambah tekanan. Tirai gorden sedikit terbuka, membiarkan semburat cahaya jingga menyelinap masuk melalui jendela kaca yang sedikit berembun. Udara di dalam ruangan tetap dingin, namun tak cukup untuk mengusir bayangan tadi pagi.
Tavisha membuka matanya perlahan. Kelopak matanya berat, seperti digantungi oleh batu. Penglihatannya buram dalam beberapa detik, tapi perlahan mulai fokus. Warna putih mendominasi pandangan. Bau antiseptik menyeruak tajam di indera penciuman. Hal itu, menyadarkan bahwa dirinya sedang ada di rumah sakit.
Ia tidak langsung bergerak. Dadanya terasa sesak, meski tidak seberat beberapa jam sebelumnya. Ada rasa mengganjal di tenggorokan. Nafasnya masih pendek, tapi tidak lagi menyakitkan.
Ketika kesadarannya kembali utuh, otaknya langsung memutar ulang potongan-potongan ingatan yang berserakan. Sarapan tadi pagi dengan semangkuk salad. Rasa aneh di tenggorokan. Membuatnya sesak dan mengaburkan pandangan.
Kini—ia ditinggal sendirian.
Ia menoleh perlahan ke sisi ranjang. Tak ada siapa-siapa. Hanya kursi kosong. Jantungnya berdegup tak menentu. Di mana Yudha? Bukankah pria itu yang seharusnya ada di sana? Dan bertanggung jawab atas kejadian yang dialaminya?
Namun, suara kecil membuyarkan lamunannya.
“Bu Tavisha?”
Tavisha mengerjap pelan. Dari sisi lain ruangan, sosok seorang wanita muncul. Seragam hijau lumutnya menyatu dengan nuansa militer di sekitar mereka. Potongan rambutnya sebahu, tampak rapi di balik topi kecil yang tergantung di jemari. Di dada kirinya tersemat name tag kecil bertuliskan Lettu Bening A. Suryadarma.
“Lo siapa?” tanya Tavisha, suara seraknya nyaris tak terdengar.
Bening tersenyum tenang. Ia mendekat dan menyesuaikan posisi infus yang tergantung di tiang penyangga.
“Saya Bening, perwira kesehatan dari korps wanita TNI AU. Saya yang menemukan Ibu pingsan di rumah tadi pagi.”
Tavisha mengerutkan kening. “Rumah?”
“Ibu ditemukan tidak sadarkan diri di dekat meja makan. Kapten Yudha meminta saya mengecek kondisi Anda karena beliau tidak bisa langsung pulang. Saya juga menyuntikkan EpiPen dan menghubungi ambulans,” jelasnya lembut, suaranya datar namun tetap mengandung empati.
Sejenak, Tavisha tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Hatinya mencelos. Ia mengingat semua. Salad yang ia santap pagi itu, disiapkan oleh suaminya. Dressing yang membuat tenggorokannya terasa terbakar. Dan sekarang—ia bahkan tidak melihat pria itu disana.
“Jadi ... dia nggak di sini?” tanyanya lagi, pelan.
Bening tampak ragu.
“Kapten Yudha harus berangkat dalam misi di luar kota. Tapi sebelum itu, beliau sempat datang ke sini. Saya melihatnya sendiri, beliau berdiri di samping Ibu selama beberapa menit.”
“Terus ... dia pergi begitu aja?” suara Tavisha mulai bergetar.
“Ya. Beliau bilang, Ibu sudah dalam perawatan yang aman. Dan beliau ... menitipkan pesan, agar saya menjaga Ibu sampai beliau kembali.”
Tavisha menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Hatinya tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin sekali marah atau berusaha memaklumi. Namun, ada luka tak kasat mata yang terasa mengendap di dadanya.
“Padahal dia udah hampir bunuh gue kayak begini,” ucapnya lebih pada diri sendiri.
Bening menangkap getar dalam nada suara itu. Ia menunduk, merasa bahwa tak pantas untuk ikut campur urusan suami istri tersebut.
Tavisha kembali melirik Bening.
“Lo tahu kenapa gue sampai sesak napas?”
Bening tampak terkejut. Ia gelagapan sesaat, lalu mengangguk pelan.
“Ya. Dari hasil pemeriksaan dan keterangan Kapten, diduga karena dressing yang mengandung minyak almond.”
Mata Tavisha memanas. Ada air yang mulai menggenang di ujung pelupuknya.
“Jadi sebenarnya dia tahu gue ini alergi almond?”
Suasana mendadak sunyi. Kata-kata itu keluar tanpa bisa tahan. Suaranya terdengar getir, dan setiap kata seolah mengiris perasaannya sendiri.
Bening menunduk dalam, merasa tidak seharusnya berada di tengah dinamika emosional sepasang suami istri. Tapi naluri manusianya tetap bekerja. Ia meraih segelas air dari meja kecil, dan mengulurkannya.
“Minum dulu, Bu. Anda butuh tenaga.”
Tavisha menerima gelas itu. Tangannya masih lemah, namun ia memaksakan diri meneguk sedikit air. Bening kembali duduk di kursi sisi ranjang, diam-diam memperhatikan pasiennya.
“Kenapa lo yang datang ke rumah?” tanya Tavisha, tanpa melihat ke arahnya.
“Karena saya petugas kesehatan yang sedang stand by dan Pandu, asisten Kapten Yudha—minta saya segera ke lokasi.”
“Oh,” gumam Tavisha, sinis.
Bening menoleh, memperhatikan ekspresi Tavisha yang kini kembali muram.
“Lo dekat sama suami gue?” pertanyaan itu terlontar dengan tiba-tiba. Membuat Bening terdiam sejenak.
“Kami satuan kerja, Bu. Saya hormat dengan beliau sebagai atasan.”
Tavisha menatap tajam, meski tubuhnya terasa lelah. “Tapi kayaknya lo tahu banyak soal suami gue. Bahkan, lo bisa masuk rumah dia. Lo tahu pin rumah itu?”
Pertanyaan itu membuat Bening terbatuk. Namun, setelahnya ia tersenyum kecil.
“Kapten Yudha yang memberitahu. Dan saya melakukan itu, karena tugas. Tidak lebih.”
“Oh, dia percaya banget sama lo, ya, berarti.”
Bening hanya diam. Tak berani menanggapi. Hingga, keheningan kembali menyelimuti. Tavisha menunduk, menatap jemari tangannya yang masih lemah.
“Anyway, thanks karena udah selamatin gue.”
“Sudah menjadi kewajiban saya, Bu,” jawab Bening lembut.
Tavisha menarik selimutnya hingga ke dada, lalu memejamkan mata. Tidak ada sahutan.
***
Beberapa hari berlalu. Kondisi Tavisha mulai membaik, namun hatinya masih penuh gejolak. Sepanjang hari, kunjungan silih berganti. Mulai dari ayah, mertua, dan kini sahabat terbaiknya—Samuel.
“Muka asem banget, ada apa?” tanya seorang pemuda yang baru masuk sambil membawakan coklat panas kesukaan Tavisha.
“Bosen gue.”
“Salah sendiri menjemput maut.”
Samuel tahu banyak tentang Tavisha. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Bahkan, ketika mereka masih duduk di bangku sekolah menangah pertama. Dan kini, mereka kuliah di tempat dan jurusan yang sama. Samuel jelas tahu, kenapa Tavisha sampai berakhir di rumah sakit.
“Gue nggak tahu kalau tuh makanan ada almondnya, ya.”
“Seenggaknya kalau lidah lo mati rasa, hidung lo jangan ikutan juga. Masa nggak kecium tuh aroma almond.”
Tavisha mendesah sambil menggedikkan bahu.
“Kalau kesini cuma mau buat mood gue hancur. Mending lo pergi deh!” usir Tavisha.
“Begitu aja marah. Nih, gue bawain coklat panas.”
Samuel menyodorkan satu cup coklat panas ke arah perempuan itu. Jujur saja, Tavisha itu sulit sekali beradaptasi dengan lingkungan baru. Keberadaan Samuel disana, membuatnya sedikit nyaman. Meski gemuruh dadanya masih berdesir hebat karena sosok yang seharusnya bertanggung jawab justru menghilang tanpa jejak.
Tavisha jadi bertanya-tanya—apa pria itu sungguh tidak peduli atau terlalu terjebak dalam tugas hingga mengabaikan istrinya yang nyaris kehilangan nyawa?
“Dasar brengsek!” umpat Tavisha setelah menyeruput coklat panas tersebut. Samuel yang mendengar, hampir tersedak.
“Lo ngatain gue brengsek?”
“Bukan lo, tapi tuh lelaki!”
Tanpa disadari, seseorang dari balik pintu mendengar percakapan mereka—meskipun samar-samar.
***
Dahlia keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan sang menantu dan memberinya makan. Hormon yang dialami Tavisha memang tidak biasa. Perempuan itu sangat rapuh. Seolah jika dipegang sedikit saja mampu menghancurkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Yudha langsung menghampiri. Ada kecemasan di wajah yang tak bisa ia tutupi. “Bagaimana Tavisha, Bu?"“Dia tidur lagi setelah makan dan minum vitamin.”Terdengar hela nafas lega setelahnya. Dahlia lantas menyelipkan tangannya di sela lengan putranya sambil membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Duduk sini, kita ngobrol sebentar.”Yudha hanya mengangguk pelan. “Jangan terlalu keras dengan Tavisha, Nak,” nasehat sang ibu setelah berhasil duduk di sofa ruang tamu bersama putranya. Namun, tidak ada sahutan yang berarti dari bibir Yudha. Pria itu hanya bergeming, seakan berpikir apa benar ia terlalu keras pada istrinya? Padahal, ia sudah berusaha untuk bisa menahan semua ego dan amarah yang terpendam di kepala hanya demi tidak menyakiti
Yudha membiarkan tangis itu pecah. Ia membiarkan perempuan rapuh dan tak berdaya itu meluapkan segala kesedihannya melalui tangisan. Ibunya bilang, perempuan hamil itu perasaannya sangat sensitif. Ia bisa menangis hal-hal bahkan sekecil apapun. Apalagi Tavisha yang tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya. Setelah lama menunggu, tangis itu akhirnya berubah jadi sebuah keheningan. Yudha menilik sang perempuan yang tengah berada dalam pelukan. Tak ada suara selain deru napas teratur. Yudha bisa menebak bahwa perempuan itu sudah tertidur. Ia pun menyelipkan tangannya ke celah leher dan kaki sang perempuan. Kemudian berdiri membopongnya menuju ranjang.Dengan sangat hati-hati, Yudha meletakkan sang istri, seakan takut membuatnya terbangun. Setelahnya, ia menyingkap rambut dan mengusap sisa air mata yang ada di kelopaknya.“Maafkan saya Tavisha.”“…”“Saya menyayangi kamu lebih dari apapun.”“…”Ungkapan hati seorang Yudha yang tak pernah secara jelas terucap di hadapan istrinya. Ia s
Ketika kembali ke kediamannya, Yudha mendapati sang istri lagi-lagi merenung di ujung jendela kamar. Tatapannya kosong sambil memeluk kedua kakinya. Ada perasaan sesak saat dirinya harus melihat keadaan Tavisha yang semakin hari semakin menyedihkan. Ia tidak ingin psikologis perempuan itu terganggu. Terlebih ada bayi dalam kandungannya yang harus mendapatkan perhatian lebih. “Tavisha?” Yudha mendekat, duduk di hadapan perempuan itu. Jemarinya menarik sofa sang istri agar lebih dekat. Kemudian menelaah setiap guratan yang tampak di wajah. “Ada apa?” tanya Yudha, suaranya rendah nyaris tanpa ekspresi. “...” Namun yang ditanya lagi-lagi tak memberinya jawaban. Yudha hampir frustasi. Ia tidak pernah melihat sisi Tavisha yang sebegini rapuh. Dan itu—membuat dirinya merasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak bisa menenangkan hati perempuannya. Tapi, ia sadar. Sebagai abdi negara, ia tidak bisa selalu menemani Tavisha. Bahkan, jika ada operasi yang mengharuskannya pergi, ia tidak bi
Setelah melihat keadaan istrinya, Yudha memutuskan untuk secara terang-terangan mendatangi sang ayah di kediamannya. Sore itu, Yudha tiba di kediaman Dirgantara ketika langit mulai meredup. Hanya menyisakan cahaya jingga yang mengitari halaman. Lantas, ia turun dari mobil, menutup pintu tanpa suara berlebih.Kali ini, langkahnya terasa begitu berat. Terlebih, saat ia mulai melewati pintu utama. Yudha kembali berpikir, kapan terakhir dirinya berbicara serius empat mata dengan sang ayah? Ah, ia pun teringat saat makan malam terakhir di kediamannya. Ketika, Tavisha pertama kali menyebut operasi langit merah dalam acara makan malam tersebut. Bagi Yudha, sang ayah bak bayangan tegas dalam hidupnya. Pria penuh wibawa itu, nyaris tak tersentuh oleh apapun. Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Begitu melihat Yudha, wanita paruh baya itu buru-buru menunduk. “Selamat sore, Tuan Muda.” “Bapak ada di dalam?” “Ada. Beliau di ruang kerja.”Yudha mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruma
Setelah semua riuh pertengkaran mereda malam itu, rumah besar keluarga Tandjung tenggelam dalam kesunyian. Dokter sudah pulang, meninggalkan pesan agar Tavisha banyak beristirahat. Seisi rumah pun berangsur hening. Namun, Yudha tidak lekas meninggalkan kediaman itu. Ia duduk di ruang tamu cukup lama, punggungnya bersandar pada sofa dengan pandangan kosong. Rasanya ia masih mendengar suara lirih Tavisha, kalimat-kalimat getir yang menuduh sekaligus menolak kehadirannya. Kepalanya berat, tapi setiap kali menutup mata, wajah pucat istrinya yang tak sadarkan diri kembali muncul. Akhirnya, Yudha memilih tidur di kamar tamu. Lampu sengaja tidak dimatikan. Tubuhnya berbaring, tetapi pikiran terus berkelana. Tentang rahasia yang belum ia buka, tentang kenyataan kehamilan yang baru diketahuinya, juga tentang kemungkinan kehilangan kepercayaan Tavisha sepenuhnya. Di kamar utama, Tavisha terjaga. Tubuhnya lemah, tapi ia tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya sering beralih ke pintu, menunggu
“Jawab aku, Mas! Bapak kamu yang ngebunuh Mama, ‘kan?!” tanya Tavisha dengan nada berapi-api. Tatapannya menusuk tajam. Suaranya menggelegar hebat dengan sisa tangisan yang belum sepenuhnya reda. Yudha menahan napas. Tubuhnya kaku seolah terhantam oleh kenyataan. Kata-kata itu terlalu berat untuk dijawab, tapi diam justru membuatnya terlihat lebih bersalah. “Itu tidak benar,” ucap Yudha, lirih. “Kalau nggak benar, mana buktinya?!” Tavisha menekan suaranya. “Kenapa kamu selama ini nutup-nutupin, Mas? Kenapa kamu melarang aku buat cari tahu? Apa karena takut aku bongkar aib keluarga kamu?” “Bukan begitu.” Yudha menggeleng cepat, mencoba mendekat. “Saya cuma—” “Cuma apa?” Tavisha mundur selangkah. “Cuma memilih jadi anak baik buat bapaknya, sementara aku kehilangan Mama tanpa tahu siapa yang membunuhnya?!” Nada getir itu menggema di ruangan kaca. Napas Tavisha memburu, dadanya naik turun tak teratur. Sedangkan Yudha berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. “Saya tidak perna