"Non, Nona, apa Anda sudah selesai?" tegur sebuah suara, pada Elena yang kini melamun.
Emma, pelayan yang dari tadi membantunya menyiapkan keperluannya, termasuk membangunkan dia yang sempat tidur di kamar mandi, kini menatapnya khawatir. Membuat perhatian Elena pun langsung teralihkan. Dia tersadar dari lamunannya."Apa?""Jika Anda sudah selesai makan, saya akan merapikan kembali penampilan Anda. Tuan akan segera ke sini.""Tuan? Maksudmu, pria tua tadi? Ini sudah malam, apa yang akan dia lakukan? Lalu, Emma, bisakah aku mendapatkan pakaianku lagi? Ini terlalu terbuka!"Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Elena saat ini. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa Darryl akan ke kamarnya. Setelah membuatnya ketakutan, pria itu bahkan sulit dia temui. Sekarang, Darryl malah akan menemuinya dan dia memakai pakaian tipis begini.Elena tidak suka. Gaun tidur yang dia dikenakan juga hanya sebatas paha dan sangat menerawang, juga memperlihatkan tubuh bagian atasnya. Dia seperti wanita penghibur jika begini. Apalagi wajahnya harus dirias segala. Dia tidak benar-benar mau dijadikan wanita penghibur 'kan?"Apa yang Anda katakan, Nona? Tuan akan sangat menyukai pakaian Anda. Malam ini, Anda harus berhasil memuaskan Tuan. Tolong layani Tuan dengan baik dan jangan sampai Tuan marah.""Apa? Layani? Layani apa maksudmu?" Elena membalikkan tubuhnya dan langsung menepis tangan Emma yang hendak menyentuh wajahnya. Sebuah alarm tanda bahaya tiba-tiba berbunyi di kepalanya. Dia mengartikan kata 'melayani' dengan maksud lain yang sama sekali tidak dia harap dengar."Apa Anda tidak tahu? Bukankah Anda datang untuk menghibur malam Tuan?""Siapa yang bilang! Aku diculik! Bukan datang sukarela! Apa kau pikir aku akan menjadi jalang untuknya?"Firasat Elena benar dan saat itu juga, dia sontak langsung berdiri dari duduknya. Menjauhi Emma dengan panik. Dia tidak mau, dia tidak mau dijadikan wanita penghibur. "Aku tidak mau jadi jalangnya!""Nona, Anda mau ke mana?" tanya Emma saat Elena mendekat ke arah pintu dan membukanya sekuat tenaga, tapi tak berhasil karena pintu itu dikunci. "Nona, kemarilah! Biarkan saya merapikan penampilan Anda!""TIDAK! Aku tidak mau! Berikan kuncinya! Tolong berikan kuncinya!" Elena berharap Emma mau memberikannya, tapi wanita dewasa tersebut tampak tak begitu peduli."Nona, tolong duduk! Tuan akan segera datang. Anda akan dalam masalah."Elena menggeleng. Dia sadar Emma tidak mau menurut. Tentu saja, dia juga tidak mau mendengarnya. Elena tidak ingin dijadikan wanita penghibur pria tua yang haus belaian itu. Hingga dia tanpa pikir panjang terpaksa mendorong Emma sampai terjatuh dan langsung menggeledah pakaian wanita itu. Tentu saja dia bisa mendapatkan kuncinya dengan mudah."Nona jangan! Tuan akan marah!"Elena tak mendengar. Dia membuka pintu tersebut dan hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tak disangka, di saat Elena berpikir dia bisa bebas, seseorang sudah ada di hadapannya. Membuat tubuhnya sontak membatu ketika melihat di hadapannya ternyata adalah pria tua yang tadi."Tuan! Nona mau melarikan diri, tolong maafkan saya," ujar Emma yang takut disalahkan. Dia buru-buru bangun dari lantai dan menunduk takut. Tubuhnya tampak bergetar."Melarikan diri?""Aku tidak mau melayanimu! Aku bukan wanita penghibur!" seru Elena dengan cepat. Dia berusaha mendongak ke atas. Menatap Darryl dengan berani, meski saat pria itu menatapnya, dia jadi ketakutan. "Tolong menyingkir dari sana!""Apa?""Apa kau tuli? Menyingkir dari hadapanku!"Elena menaikkan nada suaranya. Kepalang kesal, dia tak peduli lagi soal Darryl. Dia hanya ingin pulang sekarang, tapi sayangnya, pria itu tak bergerak sedikit pun dari pintu. Hingga Elena yang bingung, pada akhirnya memukul perut Darryl dengan harapan tubuh pria itu akan memberinya jalan. Akan tetapi, alih-alih terdorong dan bergeser dari tempatnya, tubuh Darryl justru tidak goyah sedikit pun."Nona, tolong berhenti!"Emma mendekat, mencoba mengingatkan dan hendak menarik Elena, tapi Darryl sudah mengangkat tangannya. Lalu tiba-tiba, pria itu mencengkeram lengan kecil Elena dan menyeret gadis itu masuk kembali ke dalam. Tanpa perasaan, Darryl langsung mendorong kasar tubuh Elena ke ranjang dan membuat gadis itu memekik kaget. Gaun milik Elena sedikit tersingkap dan memperlihatkan pahanya di hadapan Darryl."Pergi sekarang, aku akan mengurus gadis nakal ini," ucap Darryl tanpa melirik ke arah Emma. Pelayannya yang kini buru-buru membereskan makanan yang tadi dimakan Elena, lalu pergi dari kamar itu dengan penuh ketakutan.Elena masih di sana. Menahan kesal karena diperlakukan kasar dan tak bisa menahan kekuatan pria itu. Dia mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap Darryl yang berdiri sambil membuka kancing kemejanya. Memperlihatkan sedikit bulu dada milik pria itu. Elena mendadak ketakutan, tapi dia masih berusaha berani. "Mau apa kau?""Apalagi? Bersenang-senang.""Aku tidak mau! Aku tidak mau melayanimu! Jangan lakukan itu!"Darryl berhenti, tapi dia masih dalam posisi berdiri dan memandang lekat Elena. Mata tajamnya menyusuri tubuh gadis itu dengan sangat lancang. "Kau tidak sedang dalam posisi bisa menolakku. Pamanmu sudah menyerahkanmu sebagai jaminan.""Tapi aku tidak ada hubungannya dengan utang Omku! Kenapa kau tidak bawa dia dan melakukannya?""Aku masih normal dan kau cukup menarik."Elena tersentak. Dia kaget saat Darryl tiba-tiba mendekat dan menyentuh kepala belakangnya. Tubuhnya merinding ketakutan. Sorot mata Darryl seperti seekor binatang buas yang akan melahapnya begitu saja. Dia membencinya. Sangat. "Kau pria tua tidak tahu malu! Aku tidak mau melakukannya! Cuih!"Elena meludah secara spontan dan itu mengenai pipi Darryl. Sesaat, pria itu kaget atas tindakan kurang ajar Elena. Matanya pun tiba-tiba berubah tajam. Darryl tampak mengusap pipinya sambil menahan marah.Elena mengkerut. Nyalinya mendadak ciut saat menyadari dirinya telah melakukan kesalahan. Darryl seperti berniat membunuhnya sekarang. "Aku—AKHH!"Elena memekik tepat saat kepalanya didorong kuat dan sebuah tangan mencengkeram lehernya. Membuat dia kesulitan untuk bernapas. Apa pria itu akan membunuhnya? Elena merasakan aura kematian yang begitu dekat dengannya. Dia melihat Darryl yang menatapnya begitu dingin. Urat-urat leher pria itu menonjol seolah menunjukkan bahwa Darryl tengah marah."L-lepashh ....""Kau benar-benar kurang ajar. Kau harusnya menyadari di mana tempatmu!" Darryl menekankan setiap kalimatnya dengan memperkuat cengkeramannya, sampai Elena kesulitan bernapas.Wanita yang beberapa detik sebelumnya bersikap kurang ajar, kini tampak menyedihkan. Darryl bisa saja membunuhnya saat ini juga. Dia bisa menghilangkan jejak kematian Elena dengan mudah, tapi melihat wanita itu tersiksa dan meneteskan air mata, tangannya tanpa sadar melonggarkan cengkeramannya. Walau dia tak melepaskan leher Elena."Menyedihkan. Pamanmu yang tidak berguna itu mengatakan aku bebas melakukan apa pun padamu. Dia menjadikanmu jaminan. Harusnya aku membunuhmu, tapi kupikir, lebih baik aku membunuh Pamanmu," ujar Darryl sembari menyentuh kaki Elena dengan satu tangannya yang bebas. Wanita itu cukup menarik dan cantik.Tak dapat dipungkiri, Darryl sedikit tertarik untuk menyalurkan hasratnya pada Elena, mengingat sudah cukup lama semenjak istrinya meninggal, dia belum pernah menyentuh wanita lain lagi. Ya, Darryl pernah menikah dan dia memiliki seorang putra kecil yang mungkin saat ini tengah terlelap di kamarnya. Sayang, sebuah insiden kecelakaan pesawat membuat istrinya meninggal. Menyisakan dirinya dengan sang putra berdua saja."Tentukan pilihanmu, Elena, kau mau melayaniku atau mau kubunuh?"Elena tersentak. Tubuhnya bergetar takut. Dia merasakan ancaman yang nyata. Dia tidak mau dibunuh dan juga tidak mau melayani Darryl. Dia bukan jalang dan dia datang ke sini bukan karena kemauannya, tapi jika dia mengatakan itu, dia akan mati."Elena ...."Suara Darryl menggelitik telinganya. Menghantarkan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Dia melirik pria itu dan menyadari jika tangan besar yang mencengkeram lehernya telah terangkat. Namun justru, wajah pria itu berada begitu dekat dengannya. Hingga Elena memilih untuk memalingkan wajahnya. Dia tidak mau menatap wajah pria kejam itu."Jika kau tidak menjawab, aku akan menganggap kau setuju melayaniku."Tubuh Elena menegang. Dia mendadak kaku saat merasakan tubuh Darryl di atasnya. Pria itu hendak menciumnya, tapi tak berhasil karena Elena memalingkan wajahnya dengan cepat, yang berakhir dengan Darryl mengecup tengkuknya.Elena kaget dan tubuhnya meremang. Dia panik, hingga matanya sontak melihat sekeliling dan mencari cara untuk menghentikan pria itu, sebelum dirinya dinodai. Elena harus kabur. Dia tidak mau berakhir menjadi wanita penghangat ranjang. Hingga saat Darryl mulai mencumbunya, Elena yang berusaha untuk mencari sesuatu untuk melawan, tak sengaja melihat sebuah lampu tidur yang berada di dekatnya.Detik itu juga, tanpa mau membuang banyak waktu, Elena yang takut dengan Darryl langsung menarik lampu itu dan membuat penerangan meredup. Tepat saat itu, Darryl menyadari ada sesuatu, tapi sebelum tahu apa yang terjadi, Elena sudah memukulkan lampu tidur yang berukuran cukup besar itu ke kepala Darryl dan langsung menendang tubuh yang memerangkapnya."Mati kau, bajingan!"Beberapa bulan kemudian. Perut Elena sudah semakin besar dan hari ini, dia sudah bersiap untuk melahirkan. Elena sudah berada di rumah sakit, tepatnya di kamar persalinan karena sejak kemarin, dia terus mengalami kontraksi. Darryl pun berada di sana untuk menemaninya. Darryl kalut dan khawatir. Dia bahkan memilih untuk tidak masuk kantor hari ini karena ingin menemani Elena melahirkan. Ezekiel sendiri berada di rumah dan tidak dia izinkan ikut, meski anak itu terus merengek dari semalam. “Makanlah! Aku tahu kau khawatir.”Sebuah suara terdengar. Mengalihkan perhatian Darryl dari lamunannya. Dia mendongak, menatap seorang lelaki yang tidak lain adalah Marcell. Ya, lelaki itu memang ada di sana dan menemaninya sejak semalam. Semua karena dia yang kalut, langsung menghubungi Marcell tanpa pikir panjang. Tentu saja Marcell mengomel dan membentaknya, tapi saat dia mengatakan Elena akan melahirkan, lelaki itu langsung datang dan membantunya membawa ke rumah sakit.Darryl pun sontak melir
Satu minggu kemudian. Elena melenguh dalam tidurnya. Dia menguap sebelum akhirnya membuka mata. Elena berkedip menatap langit-langit kamar. Dia masih mengumpulkan semua kesadarannya, sebelum kemudian melirik jam di sebelahnya yang menunjukkan pukul empat sore. Elena terdiam, sampai matanya membulat dan dia langsung duduk. Dia menyadari kalau dirinya sekarang berada di kamar, padahal seingatnya dia tadi sedang duduk menonton film di ruang tengah. Apa yang terjadi? Siapa yang memindahkannya? Elena kembali melirik jam dan matanya sontak membulat ketika dia teringat jika ini sudah sore. Suaminya sudah pasti pulang. "Darryl?"Elena berpikir Darryl mungkin sudah pulang, seketika dia langsung memanggil. Elena juga akhirnya bangun dan berjalan keluar kamar dengan hati-hati. Perutnya yang sudah semakin besar, membuat dia menjadi cepat lelah dan jalannya jadi lebih lambat. Untunglah, rumah ini memiliki lift, jadi dia tidak perlu kelelahan naik turun tangga ke lantai bawah. "Darryl?" Elena k
Hari pernikahan tiba. Setelah menunggu selama seminggu, akhirnya hari pernikahan Elena dan Darryl terjadi hari ini. Sebuah gaun indah telah dipakainya. Gaun itu membungkus tubuh dan perutnya yang besar dengan sempurna. Kehamilan Elena terlihat, tapi tentu saja gaun itu tidak membuatnya sesak. Riasan sederhana dengan rambut yang ditata sedemikian rupa, membuatnya terlihat sangat sempurna. Dia berdiri di depan pintu masuk aula pernikahan. Elena tidak sendirian, ada Marcell yang telah bersamanya dengan pakaian yang sangat rapi. Lelaki itu tampak menunjukkan kesedihan yang mendalam. Matanya memerah seperti habis menangis. Penampilannya yang rupawan, tidak menutupi wajahnya yang berantakan. "Kau siap?" Marcell menoleh ke arah Elena. Dia berusaha untuk tidak menangis dan memerhatikan betapa cantiknya wanita itu. Sayangnya, wanita itu akan segera menjadi milik orang lain. "Ya, Kak." Senyum Elena tampak merah. Dia seolah menjadi orang paling bahagia saat ini. Meski ekspresinya telah m
Setelah pembicaraan panjang dan penuh keseriusan, akhirnya Marcell mengizinkan Darryl untuk menikahi Elena. Meski dia sendiri harus hancur. Namun walau begitu, kesepakatan di antara mereka terjadi. Elena akan tetap tinggal bersama dengan Marcell, sampai hari pernikahan. Marcell juga yang akan menjadi walinya. Dia yang akan memastikan Elena baik-baik saja sampai ke tangan Darryl. Darryl pun tidak punya alasan untuk menolak. Dia menyetujui syarat yang diberikan Marcell. "Tante, di perut ini, ada dedeknya Iel, ya?" tanya Ezekiel yang duduk di samping Elena. Keduanya kini berada di ruang tengah saat Darryl dan Marcell sedang bicara. Camilan kesukaan Elena pun terlihat di atas meja. Menemaninya berdua dengan Ezekiel. "Iya, Sayang, ini adalah adikmu. Coba kamu elus." Elena meraih tangan Ezekiel dan meletakkannya di perutnya. "Wah, gerak, Tante!"Mata Ezekiel tampak berbinar senang ketika melihatnya. Dia senang karena dia akhirnya akan memiliki adik. "Iel mau lihat dedeknya Iel. Kapan di
Elena mengetuk pintu rumahnya dengan gugup. Dia baru pulang saat hari sudah sore dan pasti Marcell telah pulang. Elena takut bertatap muka dengan sepupunya, apalagi tadi dia sudah meninggalkan Marcell begitu saja dan mengikuti Ezekiel. Namun, tetap saja, ini adalah hal yang harus dihadapinya. Dia harus pergi menemui lelaki itu dan mengatakan semuanya. Tak berapa lama setelah dia mengetuk pintu, pintu pun terbuka dan menampilkan Marcell dengan wajah datar. Elena tidak melihat tatapan senang di wajah sepupunya. "Kakak.""Masuklah, ini sudah sore.""Baik." Elena mengangguk. Dia mengikuti langkah Marcell yang mengajaknya masuk ke dalam. Pintu pun ditutupnya dengan cepat. Elena berusaha menyusul langkah Marcell yang tampak terburu-buru. "Kakak, tunggu! Aku ingin bicara sesuatu denganmu."Marcell yang awalnya berjalan lebih dulu, berhenti dan langsung berbalik ke arah Elena. Dia menghela napas kasar. "Aku juga. Ayo duduk!"Tanpa banyak kata, Elena segera duduk di kursi. Berhadapan langsung
"Aku harap Ezekiel suka." Elena berjalan bersama dengan Siena menuju ke arah kamar di mana Darryl dirawat. Tangannya menenteng makanan yang dipesannya untuk Ezekiel. Lalu dia menoleh ke arah Siena. "Terima kasih, ya, kamu sudah mau mendengarkan ceritaku.""Ya, Elena, santai saja. Aku mengerti perasaanmu, yang penting sekarang semuanya aman. Lalu, apa kau mau kembali pada Darryl?"Elena terdiam sesaat, tanpa menghentikan langkahnya. Pipinya tampak memerah dan dia mengangguk malu-malu. "Aku tidak bisa melupakannya. Aku sangat mencintainya.""Syukurlah, Elena, aku harap Darryl segera pulih dan kalian bisa bersama lagi.""Terima kasih, Siena."Tidak ada lagi percakapan setelah itu, Elena terus melangkah di lorong rumah sakit sambil memikirkan, bagaimana caranya dia memberitahu Marcell soal keputusannya ini. Dia berharap, kakak sepupunya itu tidak akan marah. Saat berjalan bersama, Elena melihat kamar Darryl ada di depannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk melihat keadaan pria itu