“Nona ....” Posy memanggil. Dia mendekati Sirena seraya suara kereta kuda terdengar.
Sirena menoleh pada kereta kediaman Arsenio yang datang dari arah barat menuju gerbang utama rumahnya. Dia segera bangkit. Begitu pula dengan Shafira yang hendak mengantarnya.“Ibu.” Sirena berjalan berdampingan dengan Shafira menuju kereta kediaman Tuan Arsenio di depan pagar. “Maukah Anda minum teh bersama saya, besok?”Shafira menatap ragu. Dia hanya tidak percaya putri tiri yang selama ini waspada kepadanya, mulai membuka hati. Bahkan mengajaknya minum teh lebih dulu.“Aku tak keberatan. Datanglah ke tempatku besok. Aku akan meminta para pelayan menyiapkan jamuan untukmu,” jelas Shafira dengan mengulas senyum lembut.Sirena mengangguk pelan. Dia mengalihkan tatapannya pada Arsenio yang keluar kereta kuda untuk menuntunnya masuk ke dalam kendaraan miliknya.“Hati-hati.” Shafira mengulas senyum lembut ketika dia dan putri tirinya saling bertatapan.Perubahan Sirena tampaknya tidak terlalu buruk.“Ya, Ibu. Saya harap Anda tidak berada di luar terlalu lama. Angin musim gugur sudah mulai dingin.” Sirena membalas dengan lembut.Hubungan keduanya terlihat baik. Itu membuat beberapa pelayan kediaman Sharon atau pihak Arsenio bertanya-tanya mengapa hal tersebut bisa terjadi.Sebab kabar tentang buruknya hubungan Nyonya Shafira dan Nona Sirena sudah menyebar ke segala penjuru kekaisaran. Maka pemandangan yang mereka lihat kali ini memang sangat langka.“Kita berangkat," pinta Arsenio. Lelaki tampan itu menatap Sirena yang tenang di kursi seberang. Gadis itu terus memejamkan mata seakan tak ingin bertatapan dengan dirinya.“Kamu lelah?” Arsenio melempar sebuah pertanyaan.“Ya. Cukup lelah.” Sirena membuang napas kasar seusai menjawab. “Para pelayan membangunkan saya pagi-pagi untuk bersiap. Mandi, SPA, memakai gaun bahkan harus memilih sepatu selama satu jam.”Gadis itu mendongak. Dia melihat wajah Arsenio yang datang dan menatap dingin ke arahnya.“Tapi yang paling menjengkelkan adalah mengingat saya hanya akan memakan beberapa potong kue kering dan secangkir teh setelah perang di pagi hari. Itu menyebalkan ... saya ingin makan sesuatu yang lebih kenyang setelah membuang korset di pinggang saya!” keluhnya lantang.Arsenio sampai terdiam dengan wajah kaget mendengar kalimat panjang yang hanya berisikan protes tanpa kata kiasan itu.“Kamu jadi sangat jujur, ya?” sindir Arsenio.Sirena mengangguk sebelum kembali memejamkan matanya untuk beristirahat. “Tolong bangunkan saya jika kita sudah dekat.”Arsenio tidak membalas dan hanya menatap Sirena yang benar-benar tertidur sepanjang waktu menuju Istana Kekaisaran. “Sampai kapan kamu akan tidur?” Arsenio mengetuk punggung tangan Sirena yang berpangku tangan di atas paha—dengan jari telunjuknya.Sirena mulai membuka mata dan mengumpulkan kesadaran. “Selamat siang, Tuan ....” Dia tersenyum lembut.Tampaknya kesadaran Sirena belum sepenuhnya pulih sampai dia berani mengucap salam dengan wajah polos seperti itu.Arsenio membuang napas lembut dan geleng-geleng melihat kelakuannya. “Kita sudah hampir sampai. Jika kamu masih terus bertindak dengan gegabah, aku akan meninggalkan kamu di kereta.”“Hem ....” Sirena hanya bergumam. Kini kedua matanya sudah terbuka lebar dan menatap ke luar jendela kereta kuda. Kesadarannya telah kembali sepenuhnya.Matahari sudah hampir di tengah. Padahal mereka berangkat sangat pagi. Namun ternyata jarak Istana Kekaisaran dengan wilayah Sharon memang cukup jauh.“Sadarlah. Jangan sampai membuat keributan!" tegas Arsenio bangkit dari kursi untuk membuka pintu, lalu berjalan keluar.Mereka sudah sampai di depan gerbang gedung perjamuan dan harus segera turun agar tidak membuat bangsawan yang menunggu di belakang kereta kuda mereka menunggu terlalu lama.“Jika masih mengantuk, kamu bisa menggenggam tanganku sepanjang jalan menuju aula pesta.”Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Sirena. Sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk menuntun keluar Lady yang pergi bersama dengannya. Itu sebuah etika kesopanan untuk ksatria terhadap lady.“Terima kasih. Namun kebaikan Anda terlalu berlebihan kepada musuh,” celetuk Sirena sambil menggenggam tangan Arsenio dan melangkah keluar dengan susah payah karena model gaun yang cukup berlebihan.“Lady Sirena!” Beberapa nona bangsawan mendekat Sirena dengan wajah cerah.Senyum yang mereka perlihatkan cukup tulus sampai Sirena tidak harus waspada atau curiga pada mereka.Sirena membalas senyum mereka dengan ramah dan menyapa, “Selamat siang, Lady ... Florentina?”“Ah ... kenapa Anda memanggil begitu. Bukankah kita sudah semakin dekat?!” Wanita muda bersurai pirang itu terlihat kecewa. “Tolong panggil saya Lista, Nona Sirena.”Sirena mengangguk ambigu dan menatap Arsenio yang diam di sebelahnya—memperhatikannya dengan tatapan intens.“Kami akan memberi salam kepada Yang Mulia Permaisuri terlebih dahulu.” Sirena tersenyum lembut. Dia yang harus tersenyum sepenjang hari mulai merasa muak dengan kebiasaan para wanita bangsawan. “Kalau begitu kami permisi lebih dulu.”“Baiklah, Nona Sirena. Cepatlah kembali agar kita bisa mengobrol,” ucap Lady Maya, wanita bersurai merah dengan kulit yang sedikit gelap, dengan ramah.“Saya akan segera kembali," balas Sirena.Kedua pasangan itu meninggalkan kerumunan para Lady dan berjalan cepat meninggalkan taman gedung perjamuan.“Kamu terlihat tidak nyaman bersama mereka. Bukannya empat orang gadis bangsawan itu adalah teman dekatmu?” tanya Arsenio.Sirena mendongak agar dia bisa menatap Arsenio dengan baik. “Memang. Mereka adalah teman baik saya ... namun saya cukup lelah terus tersenyum di depan mereka. Bibir saya bisa sobek jika terus di paksakan,” jelasnya tak acuh.Arsenio kembali di buat termenung dengan perkataan to the poin tersebut. Kepribadian, cara berjalan dan caranya berbicara sangat berbeda dengan Sirena yang pernah dia temui.“Jika kamu merasa sakit, kamu bisa katakan padaku.” Lelaki itu menatap tunangannya dengan lekat. “Aku akan mengantar kamu pulang.”Sirena tak langsung menjawab. Dia termenung melihat sikap baik Arsenio yang tak pernah bisa dia terima dengan lapang dada. Kebaikan dari Arsenio masih terasa aneh walau Sirena tahu Arsenio tulus memperlakukannya.“Saya akan berusaha untuk tidak menyusahkan Anda, Tuan ....” “Kami memberikan salam pada bulan Kekaisaran Firaz. Semoga Anda panjang umur dan sehat selalu.”Sirena dan Arsenio membungkuk sesuai etika. Semua pandangan para bangsawan tertuju pada mereka. Entah baik atau buruk, yang jelas Arsenio atau Sirena tak pernah nyaman dengan hal tersebut.“Lihat siapa yang datang!” Permaisuri Lister menyambut gembira kedatangan mereka.Wanita bersurai merah dengan kulit seputih susu itu tampak sangat gembira melihat pasangan keponakannya. Dia bahkan sampai bangun dari kursi untuk menyambut kedatangan keduanya secara langsung.“Aku tidak sabar mendengar kabar pesta pernikahan kalian diadakan. Kalian sangat cocok. Apa lagi nanti saat memakai gaun pernikahan. Iya, kan?!" ucap sang Permaisuri dengan lantang.Suasana yang tadinya terasa damai, kini mulai terasa mencengkeram dan canggung karena perkataan permaisuri Lister yang tidak pernah peka dengan situasi sekitarnya. Pertanyaan sensitif itu membuat raut wajah Arsenio tampak kusut.“Anda bisa menantikannya, Permaisuri.” Sirena menjawab dengan tegas. Dia mengambil alih perhatian yang tertuju pada calon suaminya. “Kami akan segera mengirim undangannya dalam satu minggu.”Arsenio membulatkan mata. Dia menatap tajam ke arah Sirena yang mengutarakan hal mengejutkan tanpa sempat berdiskusi dengannya lebih dulu.“Kami akan segera mengirim undangan pernikahan secepatnya kepada Anda dan Baginda Kaisar.” Sirena tersenyum cantik. “Mohon nantikan hari itu, Yang Mulia ... dan tolong berkati kami sebagai pengantin saat upacara pernikahan.”“Tentu saja, Lady. Kau adalah menantuku ... aku akan memberikan berkat padamu. Kau tak perlu khawatir hohoho ...," sahut Permaisuri Lister gembira.Sementara Arsenio membulatkan mata sambil menatap tidak percaya interaksi keduanya. Lebih tepatnya pada Sirena yang menatapnya dengan senyum lebar nan cantik.“A-apa kau sudah gila, Sirena?!” cicit Arsenio geram.“Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d
“Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk. “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T
BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan
Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.” “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na
Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu
Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari