Share

6. Gagal

Penulis: Harmony^-
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-15 18:50:10

“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti.

Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya.

“Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang.

Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum.

Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.”

Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh.

“Vian.” Arsenio memanggil.

Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar.

“Anda memanggil saya, Tuan?”

Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut layaknya seorang ksatria—menunggu perintah atasan dengan patuh layaknya anjing Doberman yang terlatih walau terlihat garang.

“Rusak semua roda kereta kuda kediaman.” Arsenio tersenyum sinis melihat tatapan Vian yang bingung. “Buat aku tak bisa pergi ke kediaman Sharon karena tak memiliki kendaraan yang layak.”

Vian mengangguk mengerti. Ternyata itu alasannya. Dia bangkit dan pergi. "Laksanakan, Tuan.”

Mengendap-endap berjalan memasuki kandang kereta kuda. Alih-alih melakukan apa yang di minta oleh Tuannya, lelaki bersurai hitam dengan potongan cepak di sisi depan dan panjang di bagian belakang itu memilih berbaur dengan para kusir yang sedang makan siang.

“Huf!” Sand menghela napas lega.

Dia datang dengan berlari dari paviliun utama ke kandang kuda untuk memastikan Vian—prajurit bayangan Arsenio—tidak mengacaukan hari penting ini.

“Kau kira aku akan melakukan sesuatu yang gila?” Vian menatap wajah lelah Sand dengan tatapan tajam. Dia tidak senang di fitnah. Karena itu dia melempar tatapan permusuhan.

“Padahal aku belum mengatakan apa pun. Tapi kamu sudah berburuk sangka.” Sand duduk di atas balok jerami. Dia menuang bir buah yang diminum para kusir ke dalam mulutnya beberapa teguk. “Tapi syukurlah kamu tidak melalukan perintah gila itu ...."

Vian memutar bola matanya malas. “Sir. Einar dari kediaman Sharon mengirimkan pesan lewat burung merpati pagi tadi. Dia memintaku untuk tidak mempersulit Tuannya karena Nona Sirena tidak dalam keadaan baik.”

Sand menaikkan sebelah alis. “Sir. Einar? Pasti lelaki itu mengancam kamu, mangkanya kamu takut, kan? Jika di lihat dari hubungan kalian berdua, pasti begitu ....”

“Terserah.” Vian bangun dari tempat duduknya. “Aku harus bersiap untuk mengawal Tuan keluar. Jadi urus sisanya—jangan biarkan Tuan marah padaku. Awas saja jika lelaki cerewet itu sampai meninggikan suaranya satu oktaf. Aku akan langsung membuangmu ke hutan Naga!" ucapnya lalu pergi.

Sand menggeleng ampun. Dia melihat seorang kusir yang ada di sebelahnya dan meminta untuk segera bersiap mengantar kepergian Tuan mereka ke kediaman Sharon.

Satu jam kemudian, para pelayan telah siap mengantarkan kepergian Tuan mereka ke depan kediaman. Penampilan Arsenio sangat rapi dan menawan. Balutan setelan putih berpadu warna biru tua sangat pas untuk orang berkulit putih seperti dirinya.

“Aku sudah minta Vian untuk merusaknya.” Arsenio menahan napas. Dia terlihat kaget dan kesal melihat sebuah kereta kuda mewah yang terparkir satu meter di depan pintu utama kediamannya. “Dia pasti tidak melakukan tugasnya dengan baik. Aku akan menghukumnya nanti!” batinya kesal.

“Mari kita berangkat, Tuanku.” Sand tersenyum lebar seraya dia membukakan pintu kereta kuda untuk Arsenio.

“Menyebalkan. Ini pasti ulahmu,” pekik Arsenio kesal melihat wajah cerah Tuan Sand yang tidak goyah walau mendapat teguran keras darinya.

“Saya anggap itu sebagai ucapan terima kasih, Tuan ....”

“Ck ... sial.”

 

“Nona, Anda bisa menunggu di sana. Saya sudah menyiapkan jamuan kecil untuk Anda sembari menunggu kedatangan Tuan Duke.” Posy mengarahkan langkah Sirena menuju sebuah meja di tengah taman.

Meja itu di lengkapi dengan payung besar yang menghalau sinar matahari di atasnya. Ada dua orang pelayan yang menunggunya—siap untuk menemani kegiatan Sirena.

Tempat berteduh yang nyaman telah di siapkan dengan baik oleh Posy. Ya, dia memang pelayan yang paling bisa Sirena andalkan.

“Kamu sudah bekerja keras, Posy.” Sirena memuji sambil mengulas senyum tulus.

Posy membungkuk hormat. Dia memasang senyum cantik di wajah mungilnya. “Terima kasih, Nona.”

Sirena berjalan dengan anggun mendekati tempat tersebut, namun ketika dia hendak duduk, seorang wanita paruh baya menempati tempat duduknya dan mengacuhkan kehadiran Sirena.

“Ny-Nyonya ....” Posy menatap cemas.

Dia sudah menyiapkan tempat itu dengan susah payah untuk Sirena. Mulai dari membawa bangku serta meja, lalu menggelar payung dan menyiapkan makanannya.

Namun semua usaha kerasnya itu tidak bisa di nikmati oleh Tuannya. Tapi malah di rebut oleh Shafira—Ibu tiri Sirena yang terkenal membenci dan jahat pada Sirena.

Shafira menoleh pada Sirena yang terdiam di sampingnya. Tanpa mengatakan apa pun gadis berusia tujuh belas tahun itu memandang tempat Shafira duduk.

“Apa ini tempatmu?” Shafira menatap putri tirinya dengan tatapan lekat.

Dia mengharapkan perlawanan, namun sejauh apa pun dia membuat ulah. Sirena tidak pernah marah dan selalu mengalah. Jika saat itu terjadi Shafira selalu merasa menjadai adik perempuan yang menyebalkan.

“Tidak.” Sirena menggeleng pelan. “Saya akan pergi ke luar dengan Tuan Duke sebentar lagi.”

“Ah, kamu akan pergi ke Istana Kaisar dengan beliau?”

Sirena mengangguk. “Karena itu ....” dia berjalan ke sisi seberang tempat Shafira duduk dan menempati tempat tersebut. “Lebih baik saya menghabiskan sedikit waktu dengan Ibunda terlebih dulu.”

Sirena menatap Posy. Dia memberikan kode untuk menuang segelas teh untuknya—pelayan itu segera menurut dan menjaga jarak dari meja Tuannya setelah melaksanakan tugas.

“Bagaimana kabar Ibu? Saya dengar Anda sakit dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur.” Sirena menyesap tehnya dengan tenang. Dia terlihat lebih dewasa dan kalem. “Saya minta maaf karena tidak bisa berkunjung ... situasi saya juga sedang sulit saat itu.”

“Aku tahu.” Shafira terus memperhatikan Sirena.

Anak perempuan yang bisanya membuat keributan karena temperamennya tidak stabil, kini sangat tenang dan anggun layaknya seorang nona bangsawan yang berpendidikan.

“Kamu, apakah ... ada masalah yang mengganggumu akhir-akhir ini?” Shafira mencoba mendekatkan diri. “Kamu bisa menceritakannya pada Ibu jika berkenan. Siapa tahu ... Ibu bisa membantumu, kan?”

Sirena diam cukup lama. Mereka berdua bertatapan beberapa saat—seakan sedang berusaha menerka apa yang ada di dalam pikiran lawan bicaranya.

“Anda tidak perlu khawatir, Ibu. Saya sudah berusia tujuh belas tahun. Tidak seharusnya saya merepotkan Anda. Terlebih ... saat kesehatan Anda sedang memburuk seperti sekarang," jelas Sirena dengan tenang.

Shafira mengerutkan kening samar. “Apa ... yang terjadi kepadanya? Dia terlihat ... asing?” pikirnya bingung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Tawanan Duke Utara    56. Siluman

    “Nyonya Sirena. Bolehkah saya masuk?” Posy berdiri di depan kamar Sirena dengan membawa nampan berisikan sarapan untuk Nyonyanya. Sementara wanita muda yang berada di dalam kamarnya hanya menunduk dalam tanpa bisa menegakkan punggung dan lehernya dengan baik. Hantu Sirena merasa cemas. Dia tak lagi bisa mengendalikan dirinya. Padahal ini adalah tubuhnya. Namun dia seperti berada di dalam tubuh orang asing yang tak mau menuruti perintahnya. “Tubuh sialan! Milik siapa kau sebenarnya? Aku adalah pemilik aslimu.” Sirena menghardik dalam hati. “Cih, sekarang kau lebih nyaman di isi jiwa wanita kurang ajar itu dari pada diriku? Yang benar saja.” “Nyonya?” Posy mengerutkan kening samar. Dia mendengar seseorang bergumam sendiri di dalam kamar. Dia yakin itu suara Tuannya. Namun jika benar begitu, kenapa Sirena tak menjawab panggilannya? “Apakah Anda membutuhkan bantuan saya?” tanya Posy, sekali lagi. “Letakkan d

  • Istri Tawanan Duke Utara    55. Kontraktor

    “Terima kasih sudah mengantarku.” Pelayan perempuan itu menunduk hormat dan melihat kepergian Ozias beberapa saat, sebelum meninggalkan tempat. Dari kejauhan Ozias bisa melihat lelaki berambut coklat dengan mata biru melihatnya dengan tatapan tertegun. “Ozias?” gumam lelaki itu, senang melihat kawannya. Berbeda dengan lawan bicaranya yang terus menatap dingin—seakan melihat musuh. Melihat itu, Theo paham jika sekarang bukan saatnya berbincang ramah dengan seorang teman. “Aku datang untuk bertemu Kakakku. Dia di dalam, kan?” tanya Ozias, dingin. Theo mengangguk.  “Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Anda." Ozias hanya mengangguk dan mengikuti langkah Theo yang membawanya masuk ke dalam menara. Mereka menaiki tangga yang akan membawa keduanya ke puncak menara. “Bagaimana keadaan Kakakku?” Nada bicara Ozias melunak. Kini dia tak perlu memasang kewaspadaan tinggi karena hanya ada dirinya dan T

  • Istri Tawanan Duke Utara    54. Kedatangan Ozias

    BRAK! Arsenio menghantam meja. Beberapa puing kayu kokoh itu rontok ke atas karpet berbulu. Martell menatap takut. Dia tak pernah melihat Arsenio semarah ini selama satu tahun terakhir. Melihatnya kembali temperamental, tampaknya Nyonya Duchess yang baru selalu berhasil mengendalikan Duke mereka yang pandai mengontrol emosi. “Bisa-bisanya wanita itu membuatku kesal.” Arsenio mengepalkan tangannya semakin kencang. Dua urat menonjol di bawah dagu Arsenio membuat Martell menelan ludahnya susah—dia sangat tegang sekarang. “Yang Mulia, Tuan Frederick akan pergi ke desa untuk mencari informasi kemunculan pada monster.” Martell berusaha mengalihkan topik. Dia berharap Arsenio melupakan masalah Sirena dan fokus pada pekerjaan saja. Setidaknya itu lebih baik dari pada mengingat kenangan buruk yang membuat Tuannya menjadi emosional. “Aku sudah tahu. Frederick menyampaikannya padaku kemarin. Lalu, bagaimana dengan

  • Istri Tawanan Duke Utara    53. Intimidasi

    Posy terdiam beberapa saat. Melihat reaksi Vian dan Cavan yang cukup kebingungan, tampaknya hanya Theo yang bisa melihat sosok menyeramkan itu. “Anda, bisa melihatnya?” tanya Posy, terlihat cukup terusik. Lelaki bermata biru laut itu menganggukkan kepala. “Dari awal. Dalam wujud yang nyata.” Dia melirik ke arah sudut ruangan. “Bahkan sekarang, dia ada di sini—mengawasi kita.” Posy menatap ke beberapa sudut, termasuk sudut yang di lihat oleh Theo dengan tatapan waspada. Sayangnya, dia tidak bisa melihat wanita itu kecuali wanita itu menampakkan diri di hadapannya. “Besok saya akan mengaturkan pertemuan Anda dengan Nyonya.” Posy menatap waspada. “Yang bisa melihat wanita itu secara berkala hanya Nyonya ... jadi, bisakah Anda membicarakan hal ini kembali bersama dengan Nyonya besok?” Theo mengangguk. “Baiklah.”   “Nyonya.” Posy membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Na

  • Istri Tawanan Duke Utara    52. Hadiah

    Sirena berjalan masuk ke dalam menara tempatnya tinggal dengan langkah sempoyongan. Seperti yang dia duga, Arsenio telah menempatkan banyak pengawal untuk mengawasinya. Bahkan mereka bukanlah pengawal biasa. Karena baik Sirena atau Posy dapat merasakan kekuatan besar di dalam tiga lelaki berpakaian serba hitam itu. “Yang Mulia, Anda kembali?” Vian bergegas mendekat. Sayangnya, langkah Vian harus berhenti saat Posy menghalanginya dari Sirena. “Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Vian?” Posy menatap tajam. Dia terlihat waspada. “Apa Anda di tugaskan menjaga Nyonya Duchess?” Vian menatap dalam diam beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelah mengetahui pikiran lawannya. “Ya. Tuan Duke memerintahkan kami—“ “Posy. Sudahlah. Jangan berdebat.” Sirena memijat pelipisnya. “Pergilah ... kamu ingin bertemu dengan Lucas, kan?” Posy menatap ragu. Meninggalkan Tuannya sendirian dalam pengawasan tiga serigala cukup membu

  • Istri Tawanan Duke Utara    51. Balas Dendam

    Sirena menatap kaget tumpukan mayat di depan mereka. Begitu pula dengan Posy yang memperlihatkan reaksi yang sama. “Para pelayan mengatakan, bahwa di desa ini terkena wabah hitam. Tiap malam satu keluarga akan mati. Mayat mereka berlumuran darah walau tidak di temukan luka di tubuh mereka,” jelas Posy. Wanita berambut coklat tua dengan mata hijau itu menatap nanar tumpukan mayat manusia dengan bau yang menyengat. “Sungguh aneh,” gumamnya, tidak habis pikir. Suara langkah kaku seseorang membuat kedua wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat lelaki bertudung hitam ada di dekat tumpukan orang-orang, seakan bersiap membakar mayat-mayat itu dengan obor di tangannya. “Ternyata ada penonton yang datang.” Lelaki berjubah hitam itu menoleh. Dia memperlihatkan wajah tampannya dengan berani. Bahkan tersenyum lembut pada Posy dan Sirena. Posy maju selangkah, menghalangi pandangan lelaki itu dari

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status