Share

6. Gagal

“Yang Mulia, saya harap Anda tidak lupa janji Anda kemarin.” Tuan Sand tersenyum penuh arti.

Sementara lelaki muda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja bangun dan langsung di todong dengan fakta menyakitkan itu hanya menguap, lalu menatap datar ajudannya.

“Jika kau mengingatkan aku tanpa bergerak, aku akan membuat wanita itu menunggu lama seperti kemarin.” Arsenio beranjak turun dari ranjang.

Ia berjalan mendekat meja kecil di samping ranjang dan menuang segelas air untuk dia minum.

Tuan Sand tersenyum melihat respons datar tanpa niat itu. “Baik. Saya akan segera panggil pelayan untuk membantu Anda bersiap dan menyiapkan kereta kuda.”

Arsenio mengangguk. Dia melihat kepergian Sand dengan acuh tak acuh.

“Vian.” Arsenio memanggil.

Seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan topeng menutup sebagian wajahnya berdiri tepat di balik pintu kaca yang menyekat antara balkon luar dan sisi dalam kamar.

“Anda memanggil saya, Tuan?”

Lelaki itu menjawab panggilan. Dia berlutut layaknya seorang ksatria—menunggu perintah atasan dengan patuh layaknya anjing Doberman yang terlatih walau terlihat garang.

“Rusak semua roda kereta kuda kediaman.” Arsenio tersenyum sinis melihat tatapan Vian yang bingung. “Buat aku tak bisa pergi ke kediaman Sharon karena tak memiliki kendaraan yang layak.”

Vian mengangguk mengerti. Ternyata itu alasannya. Dia bangkit dan pergi. "Laksanakan, Tuan.”

Mengendap-endap berjalan memasuki kandang kereta kuda. Alih-alih melakukan apa yang di minta oleh Tuannya, lelaki bersurai hitam dengan potongan cepak di sisi depan dan panjang di bagian belakang itu memilih berbaur dengan para kusir yang sedang makan siang.

“Huf!” Sand menghela napas lega.

Dia datang dengan berlari dari paviliun utama ke kandang kuda untuk memastikan Vian—prajurit bayangan Arsenio—tidak mengacaukan hari penting ini.

“Kau kira aku akan melakukan sesuatu yang gila?” Vian menatap wajah lelah Sand dengan tatapan tajam. Dia tidak senang di fitnah. Karena itu dia melempar tatapan permusuhan.

“Padahal aku belum mengatakan apa pun. Tapi kamu sudah berburuk sangka.” Sand duduk di atas balok jerami. Dia menuang bir buah yang diminum para kusir ke dalam mulutnya beberapa teguk. “Tapi syukurlah kamu tidak melalukan perintah gila itu ...."

Vian memutar bola matanya malas. “Sir. Einar dari kediaman Sharon mengirimkan pesan lewat burung merpati pagi tadi. Dia memintaku untuk tidak mempersulit Tuannya karena Nona Sirena tidak dalam keadaan baik.”

Sand menaikkan sebelah alis. “Sir. Einar? Pasti lelaki itu mengancam kamu, mangkanya kamu takut, kan? Jika di lihat dari hubungan kalian berdua, pasti begitu ....”

“Terserah.” Vian bangun dari tempat duduknya. “Aku harus bersiap untuk mengawal Tuan keluar. Jadi urus sisanya—jangan biarkan Tuan marah padaku. Awas saja jika lelaki cerewet itu sampai meninggikan suaranya satu oktaf. Aku akan langsung membuangmu ke hutan Naga!" ucapnya lalu pergi.

Sand menggeleng ampun. Dia melihat seorang kusir yang ada di sebelahnya dan meminta untuk segera bersiap mengantar kepergian Tuan mereka ke kediaman Sharon.

Satu jam kemudian, para pelayan telah siap mengantarkan kepergian Tuan mereka ke depan kediaman. Penampilan Arsenio sangat rapi dan menawan. Balutan setelan putih berpadu warna biru tua sangat pas untuk orang berkulit putih seperti dirinya.

“Aku sudah minta Vian untuk merusaknya.” Arsenio menahan napas. Dia terlihat kaget dan kesal melihat sebuah kereta kuda mewah yang terparkir satu meter di depan pintu utama kediamannya. “Dia pasti tidak melakukan tugasnya dengan baik. Aku akan menghukumnya nanti!” batinya kesal.

“Mari kita berangkat, Tuanku.” Sand tersenyum lebar seraya dia membukakan pintu kereta kuda untuk Arsenio.

“Menyebalkan. Ini pasti ulahmu,” pekik Arsenio kesal melihat wajah cerah Tuan Sand yang tidak goyah walau mendapat teguran keras darinya.

“Saya anggap itu sebagai ucapan terima kasih, Tuan ....”

“Ck ... sial.”

 

“Nona, Anda bisa menunggu di sana. Saya sudah menyiapkan jamuan kecil untuk Anda sembari menunggu kedatangan Tuan Duke.” Posy mengarahkan langkah Sirena menuju sebuah meja di tengah taman.

Meja itu di lengkapi dengan payung besar yang menghalau sinar matahari di atasnya. Ada dua orang pelayan yang menunggunya—siap untuk menemani kegiatan Sirena.

Tempat berteduh yang nyaman telah di siapkan dengan baik oleh Posy. Ya, dia memang pelayan yang paling bisa Sirena andalkan.

“Kamu sudah bekerja keras, Posy.” Sirena memuji sambil mengulas senyum tulus.

Posy membungkuk hormat. Dia memasang senyum cantik di wajah mungilnya. “Terima kasih, Nona.”

Sirena berjalan dengan anggun mendekati tempat tersebut, namun ketika dia hendak duduk, seorang wanita paruh baya menempati tempat duduknya dan mengacuhkan kehadiran Sirena.

“Ny-Nyonya ....” Posy menatap cemas.

Dia sudah menyiapkan tempat itu dengan susah payah untuk Sirena. Mulai dari membawa bangku serta meja, lalu menggelar payung dan menyiapkan makanannya.

Namun semua usaha kerasnya itu tidak bisa di nikmati oleh Tuannya. Tapi malah di rebut oleh Shafira—Ibu tiri Sirena yang terkenal membenci dan jahat pada Sirena.

Shafira menoleh pada Sirena yang terdiam di sampingnya. Tanpa mengatakan apa pun gadis berusia tujuh belas tahun itu memandang tempat Shafira duduk.

“Apa ini tempatmu?” Shafira menatap putri tirinya dengan tatapan lekat.

Dia mengharapkan perlawanan, namun sejauh apa pun dia membuat ulah. Sirena tidak pernah marah dan selalu mengalah. Jika saat itu terjadi Shafira selalu merasa menjadai adik perempuan yang menyebalkan.

“Tidak.” Sirena menggeleng pelan. “Saya akan pergi ke luar dengan Tuan Duke sebentar lagi.”

“Ah, kamu akan pergi ke Istana Kaisar dengan beliau?”

Sirena mengangguk. “Karena itu ....” dia berjalan ke sisi seberang tempat Shafira duduk dan menempati tempat tersebut. “Lebih baik saya menghabiskan sedikit waktu dengan Ibunda terlebih dulu.”

Sirena menatap Posy. Dia memberikan kode untuk menuang segelas teh untuknya—pelayan itu segera menurut dan menjaga jarak dari meja Tuannya setelah melaksanakan tugas.

“Bagaimana kabar Ibu? Saya dengar Anda sakit dan tidak bisa beranjak dari tempat tidur.” Sirena menyesap tehnya dengan tenang. Dia terlihat lebih dewasa dan kalem. “Saya minta maaf karena tidak bisa berkunjung ... situasi saya juga sedang sulit saat itu.”

“Aku tahu.” Shafira terus memperhatikan Sirena.

Anak perempuan yang bisanya membuat keributan karena temperamennya tidak stabil, kini sangat tenang dan anggun layaknya seorang nona bangsawan yang berpendidikan.

“Kamu, apakah ... ada masalah yang mengganggumu akhir-akhir ini?” Shafira mencoba mendekatkan diri. “Kamu bisa menceritakannya pada Ibu jika berkenan. Siapa tahu ... Ibu bisa membantumu, kan?”

Sirena diam cukup lama. Mereka berdua bertatapan beberapa saat—seakan sedang berusaha menerka apa yang ada di dalam pikiran lawan bicaranya.

“Anda tidak perlu khawatir, Ibu. Saya sudah berusia tujuh belas tahun. Tidak seharusnya saya merepotkan Anda. Terlebih ... saat kesehatan Anda sedang memburuk seperti sekarang," jelas Sirena dengan tenang.

Shafira mengerutkan kening samar. “Apa ... yang terjadi kepadanya? Dia terlihat ... asing?” pikirnya bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status