"Tuan, Ketua menanyakan misi akhir kita kemarin." Dhruv menyela aktifitas Jaeden yang sedang membolak-balik sebuah dokumen.
"Kau tidak melaporkannya?" Jaeden balik bertanya, keduanya saling pandang. Dhruv gelagapan seraya menggelengkan kepalanya. "Anda belum memerintahkan apapun...." "Aku akan melaporkannya." Tampak Jaeden memijit pelipis, dia sedang mempertimbangkan sesuatu agar rencananya berjalan lancar. Dia tidak bisa melapor dengan tangan kosong. Dia harus memiliki bukti agar ketua mempercayainya. Untuk yang pertama kalinya Jaeden melanggar perintah dari sang atasan. Hanya untuk melindungi makhluk lemah yang ia temui. "Apa kau sudah siapkan?" Dhruv mengangguk sebagai tanda bahwa ia melaksanakan seperti apa yang Jaeden perintahkan. "Apa sesuai kriteria?" Dhruv mengangguk lagi, dia tidak banyak bicara walau di hatinya menyimpan rasa was-was. "Baiklah, kalau begitu nanti malam kita eksekusi." Di sisi lain, Keola menggedor pintu kamar sampai kedua tangannya kesakitan. Namun, tidak ada satu pun orang di luar sana membukakan pintunya. Mustahil rasanya dia keluar dari kamar ini dengan meminta bantuan pelayan yang ada di mansion ini. Mereka pastinya lebih mematuhi perintah atasan. Keola mendengar deru mesin mobil di luar sana, dia segera membuka jendela yang memiliki akses ke balkon. Itu Tuan Jae dengan beberapa anak buahnya yang mengekor di belakangnya. Setelah Jaeden pergi, Keola menatap hamparan luas padang rumput di depan sana. Tiba-tiba satu ide muncul, dia memperkirakan resiko jika dia melompat ke bawah dari balkon tersebut. Tidak, pasti sakit dan bisa menimbulkan cidera serius. Balkon ini lumayan tinggi, jika salah melompat saja kemungkinan akan patah tulang dan Keola akan kesulitan untuk kabur. Keola harus memikirkan matang-matang agar tidak menyakitinya. Ceklekkk.... "Nona?" Lamunan Keola buyar saat Nancy memasuki kamar. Wanita yang tak lagi muda itu membawa nampan makanan dan minuman. Keola mengurungkan niatnya untuk lompat dari balkon. Dia menghampiri Nancy dengan senyum merekah. "Diminum dulu, Nona. Jasmine tea bisa menenangkan hati anda," ucap Nancy penuh ramah. Keola hanya menuruti permintaan Nancy, lagi pula dia juga haus. "Nona, maafkan Tuan Jae." "Tidak akan." Keola bersungut kesal, "Tuanmu itu sangat jahat, dia hampir membunuhku tadi malam. Siapa yang akan memaafkannya? Aku? Tidak akan." Nancy menghela napas, dia sangat tahu pribadi Jaeden. Selama ini Nancy menginginkan kehidupan Jaeden yang normal saja, bisa hidup tenang, menikah, dan mempunyai anak. Sayang, sepertinya hal itu mustahil. Namun, Nancy memiliki harapan saat malam itu Jaeden membawa Keola ke mansion ini. Walau dengan cara yang salah, Nancy berharap Keola bisa mengubah kehidupan Jaeden yang kelam. "Tuan aslinya orang yang baik." "Ya, jika kau melihat kebaikannya dari lubang semut." "Nona...." "Aku tidak akan pernah sudi menikah dengannya." Keola seolah meludah, dia sangat murka saat Jaeden ingin menikahinya. "Apakah tuan berkata seperti itu?" Keola mengangguk, bahkan sampai sekarang dia ingat raut wajah Jaeden saat mengatakannya. Ada secercah harapan dikedua mata Nancy, dia akan menyatukan dua manusia yang ditakdirkan bertemu ini. Dua manusia yang awalnya bukan siapa-siapa dan tiba-tiba akan berubah menjadi pasangan. Ya... Nancy memiliki tugas baru yaitu mempersatukan Keola dengan Jaeden. Harapan satu-satunya agar Jaeden bisa keluar dari lingkaran setan itu. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Tuhan mengizinkan mereka berdua bertemu malam itu. Sekarang waktunya mencari cara agar keduanya bisa saling membutuhkan. Nancy yakin jika hidup bersama-sama rasa cinta itu akan tumbuh. *** Kini sinar matahari yang berkuasa disiang hari berganti dengan dinginnya cahaya bulan dimalam hari. Hanya saja, Keola masih tetap terkurung di kamar gelap ini. Keola kehabisan cara untuk mengusir Nancy yang terus saja menemaninya di kamar Jaeden. Keola harus kabur, dia harus melompat dari balkon seperti rencananya yang sudah ia susun. Dimalam hari inilah waktu yang tepat untuk lari karena mungkin saja penjagaan di bawah sana tidak begitu ketat. Tengah malam nanti, saat semua orang tertidur lelap Keola akan melakukan apapun untuk bisa keluar dari sini. Tidak peduli seperti ucapan Jaeden bahwa di mansion ini ada harimau, Jaeden pasti hanya ingin menakutinya. "Nancy," bisik Keola di depan wajah kepala pelayan itu. Tadinya Nancy menawarkan diri untuk tidur bersama Keola, Nancy berpikir bahwa Keola akan takut tidur sendirian di kamar yang nuansanya gelap ini. "Nancy, apa kau tidur?" Keola mengepalkan kedua tangannya. Nancy tertidur lelap, waktunya untuk Keola melancarkan aksinya. Dia melepas kain gorden, untung saja jendela di kamar ini begitu tinggi dan kain gordennya mengikuti bentuk jendelanya. Keola tidak perlu susah payah mencari kain panjang. Setelah mengikat kain gorden pada salah satu besi pembatas balkon, Keola memastikan lagi bahwa ikatannya kuat. Barulah Keola terjun layaknya orang handal tanpa rasa takut. "Berhasil." Tanpa alas kaki, tanpa pelindung diri, Keola berlari sekencang mungkin dan sekuat tenaga. Dia menuju gerbang hitam tinggi. Keola menghembuskan napas lega, gerbangnya tidak terkunci. Seketika dia meremehkan ucapan Jaeden padanya siang tadi. "Cih katanya akan ada penjagaan ketat. Tapi mana? Mudah sekali bagiku untuk keluar dari mansion ini." Keola menyusuri hamparan padang rumput. Kakinya mulai kedinginan, tetapi niatnya tak pernah surut. Walaupun rumput-rumput basah ini membuatnya beku, Keola terus berlari. Sampai pada satu titik dia menemukan benteng tinggi sebagai pembatas antara wilayah mansion dan jalanan kota. Pintu benteng yang terbuat dari besi kokoh tanpa ada celah sedikitpun terkunci dengan gembok yang besar pula. Sepanjang benteng ini ditumbuhi dengan tumbuhan liar yang bergelantungan pada dinding benteng. Sungguh, sekali lihat saja seperti pintu masuk menuju rumah hantu. "Bagaimana caranya aku bisa keluar?" Keola menatap lekat tumbuhan liar itu, ada duri disetiap rantingnya, tetapi sepertinya kuat untuk menahan tubuh Keola. "Aku pasti bisa." Tekadnya mengalahkan rasa takut. Dia memanjat benteng tinggi itu dengan berpijak pada ranting tumbuhan. "Sial tinggi sekali." Bebas.... Keola bebas.... Bahkan benteng tinggi itu bisa ia taklukan. Jalanan kota sangat sepi, dia berjingkrak kegirangan. Seolah semesta mendukungnya, tampak ada mobil taksi menuju kearahnya. Segera Keola menghentikan mobil itu dan masuk ke dalam. "Pak, tolong antarkan saya ke Greenhouse." Hanya rumah sahabatnya yang saat ini ia pikirkan. Tidak akan aman jika Keola pergi ke apartemennya. Jaeden bisa dengan mudah menemukannya lagi. Di sanalah Keola akan berlindung untuk sementara waktu sampai ia berhasil menghubungi kedua orang tuanya. Pasti ayahnya sudah tau bahwa dirinya dalam bahaya. Ayahnya tidak akan tinggal diam jika dia terluka seujung jari pun. Tok... Tok... Tok... Sudah hampir jam dua pagi, pasti sahabatnya sedang mengarungi alam mimpi. "Galena...." Keola berteriak, dia penuh ketakutan. Entahlah, rasanya dia seperti buronan. Keola ingin segera bersembunyi. Tok... Tok... Tok... "Gal... Ini aku, Keola." Ceklek... Untungnya, Keola bisa bernapas lega. "Key?" Keola segera memeluk sahabatnya. Dia menangis karena takut. Galena yang syok, segera menuntun Keola untuk masuk ke dalam rumah. "Apa yang terjadi denganmu?""Ceritakan padaku, Key. Apa yang terjadi denganmu?"Keola menangis tergugu dalam pelukan sahabatnya. Tubuhnya gemetar, tangan dan kakinya sedingin es. Dia baru saja lepas dari maut mematikan. Ya... Akhirnya dia bisa jauh dari cengekeraman Jaeden. Keola tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia terus berada dalam mansion itu, pasti dia akan gila. Galena memeluk erat tubuh Keola. Dia hanya bisa menjadi penenang, dan dia tidak ingin memaksa Keola untuk cerita apa yang telah terjadi dengannya. Jika Keola siap dia pasti akan membuka suara dan mencurahkan semuanya. "Tenanglah, kamu aman bersamaku." Galena yakin telah terjadi sesuatu sampai-sampai membuat Keola ketakutan seperti ini. Mungkinkah keluarganya atau teman kerjanya? Untuk sementara Galena hanya bisa menepuk punggung Keola agar tenang. "Bisakah kau menolongku? Aku ingin menelepon keluargaku," cicit Keola dengan isak tangisnya. Galena melepaskan pelukannya, dia menatap lekat kedua manik mata Keola. "Tentu saja." Galena bangki
"Tuan, Ketua menanyakan misi akhir kita kemarin." Dhruv menyela aktifitas Jaeden yang sedang membolak-balik sebuah dokumen. "Kau tidak melaporkannya?" Jaeden balik bertanya, keduanya saling pandang.Dhruv gelagapan seraya menggelengkan kepalanya. "Anda belum memerintahkan apapun....""Aku akan melaporkannya."Tampak Jaeden memijit pelipis, dia sedang mempertimbangkan sesuatu agar rencananya berjalan lancar. Dia tidak bisa melapor dengan tangan kosong. Dia harus memiliki bukti agar ketua mempercayainya. Untuk yang pertama kalinya Jaeden melanggar perintah dari sang atasan. Hanya untuk melindungi makhluk lemah yang ia temui. "Apa kau sudah siapkan?" Dhruv mengangguk sebagai tanda bahwa ia melaksanakan seperti apa yang Jaeden perintahkan."Apa sesuai kriteria?" Dhruv mengangguk lagi, dia tidak banyak bicara walau di hatinya menyimpan rasa was-was. "Baiklah, kalau begitu nanti malam kita eksekusi."Di sisi lain, Keola menggedor pintu kamar sampai kedua tangannya kesakitan. Namun, tidak
"I caught you."Doorrr....Suara senapan itu menggema di udara. Bruk....Keola terjatuh, dia pingsan. Nancy yang tak jauh darinya segera menghampiri Keola dan menyandarkannya di pangkuan. Nancy menatap sinis kearah Jaeden yang berjalan begitu ringan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Jaeden apa yang kau lakukan, huh? Kau menakutinya." Nancy berteriak kencang, tetapi ocehannya sama sekali tidak membuat Jaeden takut. Justru pria itu terkekeh melihat reaksi Nancy yang berlebihan. "Aku hanya bermain-main dengannya.""Dasar anak nakal.""Aku sedang menangkap kelinci ini." Jaeden mengangkat kelinci yang sudah mati di tangannya. Satu pukulan mendarat di punggung Jaeden. Satu-satunya orang yang berani memukul bahkan memarahi Jaeden adalah Nancy. Wanita berumur hampir setengah abad inilah yang merawat Jaeden dari masih bayi, karena itulah Jaeden tidak pernah marah atau pun kesal terhadap Nancy karena dia sendiri menganggap Nancy seperti ibunya. "Jae kalau kau bersikap seperti ini tidak
"Ah silau sekali."Keola menutup wajahnya, sinar matahari menghangatkan seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan, dia membuka kedua mata. Pandangan pertamanya saat ini adalah sebuah kamar dengan nuansa hitam putih yang terasa asing baginya. "Di mana aku?" Keola bangkit, seketika rasa perih menjalar dari tangan keseluruh tubuhnya. "Ah sakit sekali tanganku." Keola menahan tangan kanannya yang nyeri. Keola mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi semalam. Setelah berusaha kabur dari kumpulan manusia jahat, Keola tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya. "Aku tidak jadi dibunuh? Apakah ini rumah pria itu?"Keola bangkit, dia menatap tubuhnya yang terpasang baju kaos pria yang kebesaran di tubuhnya. Tidak mungkin pria itu yang memasangkannya bukan? Astaga seketika Keola melindungi tubuhnya dengan kedua tangan. Pria itu mungkin telah melihat setiap inci dari tubuhnya. Keola memejamkan kedua mata, dia sangat malu dan begitu ceroboh membiarkan seorang pria tak dikenal membawa dirinya ke
"Tolong... Pergilah! Menjauh dariku!"Darah segar keluar dari pergelangan tangan Keola. Rasa sakit seketika menjalar keseluruh tubuh. Namun, tak membuat Keola berhenti untuk terus berlari menghindar dari pria-pria bertubuh besar yang sedang mengejarnya. Keola harus berlari sejauh mungkin jika dia ingin nyawanya terselamatkan. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini, sepulang dari merayakan pesta dirinya diikuti. Tiba-tiba mulutnya dibekap dan dibawa ke tempat yang sepi dan gelap. Instingnya yang kuat bahwa dirinya berada dalam bahaya mencoba meronta, tetapi pergelangan tangannya menjadi korban goresan pisau tajam. Keola berhasil lepas, lalu menyusuri lorong sempit untuk mencari tempat persembunyian. "Aku harus bersembunyi. Sial... Siapa orang-orang itu?" Walaupun dirinya seorang perempuan, tetapi nyalinya cukup besar. Brak... Brak... Brak....Satu pintu ke pintu yang lain, Keola singgah dibeberapa rumah untuk meminta tolong. Namun, tidak ada satu pun rumah itu yang mau mem