Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana.
"Hanna ..." Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna. Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya. ... Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah. Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran. Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh ketakutan. Ibunya, dengan mata yang sedikit memerah, mencoba tersenyum menenangkan. "Amar, tenang dulu, Nak. Kamu baru saja sadar. Jangan terlalu memaksakan dirimu." Amar menepis tangan wanita paruh baya itu. "Jangan sentuh aku, kalian tidak pernah memperdulikan ku. Kalian hanya sibuk dengan urusan kalian sendiri. Hanya Kakek dan Hanna yang peduli tentang kehidupanku," ucapnya dengan intonasi tinggi. "Maafkan kami, Nak." Wanita itu mengusap bulir air mata yang tiba-tiba menggelincir bebas ke pipi. Amar tak bisa menahan diri. Kepanikan menyelimuti diri. Ia mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa berat. "Tidak! Aku harus tahu! Hanna… dia yang mendorongku... dia yang terkena mobil itu! Bagaimana keadaan dia? Di mana dia sekarang?!" Ayahnya menghela napas, wajahnya penuh kebingungan dan kesedihan. "Kami... kami belum tahu, Amar. Saat kejadian itu, kamu langsung dibawa ke sini. Kita di luar negeri sekarang. Kami belum sempat mencari tahu keadaan Hanna." Mendengar jawaban itu, hati Amar seolah hancur berkeping-keping. Rasa marah dan ketakutan bergemuruh dalam diri. Ia menggenggam selimutnya dengan erat, menatap mereka dengan mata yang berkilat. "Bagaimana mungkin kalian tidak tahu? Dia yang telah rela mengorbankan dirinya demi aku. Aku harus pulang... sekarang juga! Aku harus bertemu Hanna!" Kakeknya, yang sejak tadi diam, mendekat dan mencoba menenangkan Amar. "Amar, dengar dulu. Kamu masih lemah. Kita semua ingin tahu keadaan Hanna juga, tapi kamu harus memulihkan diri dulu." Namun, Amar tak peduli. Air mata mulai mengalir di pipinya, dadanya berdegup kencang, penuh dengan kecemasan yang tak tertahankan. "Aku tidak peduli! Aku harus ke Jakarta! Aku harus memastikan dia baik-baik saja! Aku berhutang nyawa padanya, Kek! Bagaimana kalau... bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya?!" Kakek Amar meletakkan tangan di bahu cucunya dengan lembut, meski air mata juga mulai menggenang di matanya. "Amar... kita semua akan mencarinya. Tapi tolong, Nak, jangan sakiti dirimu lebih lagi. Kita akan pulang secepatnya, kita akan cari tahu kabar Hanna." Tapi hati Amar tetap tak tenang. Ia hanya bisa berharap, di setiap denyut jantungnya yang tak beraturan, bahwa Hanna akan selamat—bahwa temannya itu masih hidup, di suatu tempat, menunggunya untuk kembali. Amar merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi jauh di dalam hatinya terasa lebih perih. Bayangan Hanna saat ia mendorongnya menjauh dari mobil yang melaju cepat terus menghantui pikirannya. Ia ingat dengan jelas tatapan mata Hanna, penuh kepedulian dan ketegasan, seolah ia rela melakukan apapun demi menyelamatkan Amar. Dan dalam sekejap, tubuh Hanna yang lemah terlempar, terhempas ke aspal, sementara Amar jatuh ke pinggir jalan, tidak mampu berbuat apa-apa. "Aku harus kembali," pikir Amar. Ia memaksa tubuhnya untuk bergerak, meskipun rasanya setiap otot di tubuhnya berteriak menolak. "Aku harus ke Jakarta. Hanna... dia menyelamatkanku. Bagaimana mungkin aku di sini, sementara dia... dia mungkin..." Pikiran itu tak bisa ia lanjutkan. Dadanya terasa sesak, seperti tercekik oleh rasa bersalah dan ketidakberdayaan. Ibunya mendekati Amar, duduk di tepi tempat tidur dan meraih tangannya. Sentuhan lembutnya terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan badai dalam hati Amar. "Amar, Nak... kami mengerti perasaanmu. Kami tahu betapa pentingnya Hanna untukmu. Tapi... kamu juga penting bagi kami. Kamu masih butuh perawatan. Tolong, beri kami waktu. Begitu kamu lebih kuat, kita akan pulang." "Waktu? Bagaimana kalau aku tidak punya waktu ...?!" Suasana di ruangan itu menjadi tegang. Semua orang terdiam, menahan napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi tak ada yang bisa menjawab ketakutan terbesar yang kini menggantung di udara—tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Hanna. Ayahnya mengusap kasar wajahnya dengan tangan, lalu menatap Amar dengan penuh rasa sakit. "Amar, percayalah. Kami akan melakukan apapun untuk mencari tahu kabar Hanna. Tapi, sekarang kamu harus sembuh dulu. Kamu tidak bisa membantu Hanna jika kamu sendiri masih terluka." Amar ingin berteriak. Ia ingin berlari keluar dari ruangan itu, memaksa tubuhnya untuk pulih dalam sekejap, hanya agar ia bisa pergi ke Jakarta dan memastikan temannya baik-baik saja. Namun, tubuhnya terasa lemah, dan dalam kelemahan itu, kemarahan dan rasa frustrasi menguasainya. "Kalian tidak mengerti," gumamnya, hampir berbisik. "Aku harus tahu sekarang. Hanna... dia satu-satunya yang menyelamatkanku. Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang kalau aku tidak tahu apa yang terjadi padanya?" Kakek Amar, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, akhirnya berbicara lagi. Suaranya rendah, penuh kebijaksanaan, tapi juga terbalut dengan emosi yang mendalam. "Amar, hidup ini kadang penuh dengan ketidakpastian. Kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang bisa kamu yakini, Nak, adalah bahwa kita akan melakukan apapun untuk memastikan orang-orang yang kita cintai selamat. Percayalah padaku. Kita akan segera mencari Hanna. Tapi untuk sekarang, kamu perlu mengumpulkan kekuatanmu dulu." Amar terdiam. Ucapan kakeknya menyentuh bagian terdalam hatinya, meski rasa panik masih membara di dalam dirinya. Ia tahu, dalam logika yang dingin dan tak terhindarkan, bahwa ia tak bisa langsung pergi begitu saja. Tubuhnya masih lemah, dan bahkan jika ia pergi sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Namun hatinya tetap bergolak, tak ingin menerima kenyataan itu. Dalam keheningan yang panjang, air mata Amar akhirnya jatuh. Ia membenci perasaan tak berdaya ini. Ia membenci fakta bahwa ia harus menunggu sementara Hanna mungkin terbaring di suatu tempat, sendirian, terluka. "Aku... aku tidak akan tenang sampai aku tahu dia baik-baik saja," katanya pelan, hampir berbisik pada dirinya sendiri. Ibunya mengusap lembut kepala Amar, sementara ayah dan kakeknya saling bertukar pandang, sadar bahwa perjuangan terbesar Amar belum selesai. Namun mereka tahu, di dalam hati Amar, tak ada yang lebih penting saat ini selain kabar tentang Hanna. "Kami akan segera pulang, Amar," kata ayahnya akhirnya, suaranya penuh janji. "Secepatnya."'Sial! Wanita itu mengetahui aku ketiduran di sini! Pasti dia berpikir yang bukan-bukan! Aku tidak mau kehilangan harga diriku jika sampai dia memiliki pikiran demikian.'"Tuan, kenapa saya bisa di kamar tidur Anda?" Sungguh Damar menganggap itu sebuah pertanyaan b0d0h. Bagaimana ia memiliki pikiran demikian? Sudah jelas-jelas tadi malam keadaannya sangat lemah."Dasar wanita hi na! Kamu jangan anggap aku perduli terhadapmu!"Anna memegang kepalanya, terasa sakit. Damar yang mengetahui itu diam saja. Hampir saja mulutnya keceplosan akan mengutarakan pertanyaan perkara keadaannya. 'Huft ... Hampir saja.'Bibi datang, sebelum ia bertanya ia menundukkan kepala. "Maaf Nyonya ... Bagaimana keadaan Anda sekarang?"Pertanyaan bibi membuat Damar lega. Ia selamat dari cecaran Anna. Meski ia minim bertanya, tapi Damar dapat menangkapnya.Anna mengambangkan senyuman. "Syukurlah, Bu. Anna tidak apa-apa. Keadaan Anna sudah membaik. Bibi tidak perlu khawatir."Mendengar itu Damar sendiri ikut mera
"Anna ... Bangun! Kau dengar suaraku 'kan?" Damar menepuk-nepuk pipi Anna beberapa kali. Wanita itu masih terpejam tubuhnya sangat lemas.Terlihat dari wajah Damar tampak sekali mengkhawatirkan keadaan Anna. "Seharusnya aku tidak menghukum mu dengan cara seperti itu, Anna."Damar berdiri di sisi tempat tidur, perasaannya campur aduk saat memandang Anna yang terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa bersalah yang terus membayanginya. Kenapa ia begitu kejam pada Anna? Bagaimana bisa ia membiarkan perempuan itu menderita hingga kondisinya seperti ini? Penyesalan mulai merayap di setiap sudut hatinya.Suara langkah kaki asisten rumah tangga terdengar mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Anna yang masih terpejam di atas tempat tidur.Bibi ikut gelisah, dengan nada cemas. "Tuan Damar. Kenapa tidak membawa Nyonya Anna ke rumah sakit saja? Dokter keluarga belum juga datang. Saya takut kondisinya makin buruk..."Damar terdiam sejenak,
Malam itu di dalam gudang yang pengap, dada Anna terasa sesak. Benar, ia melihat kesana ke mari tidak ada satu pun pantulan cahaya masuk. Tidak ada satupun cela ventilasi. Anna menekan dadanya kuat-kuat. Teramat sakit. "Apakah aku akan selamat di ruangan ini? Rasanya aku tidak bisa bernafas lagi."Terpaksa Anna menggebrak pintu yang terbuat dari ukiran kayu. Beberapa kali namun tak ada yang menyahut. "Tuan Damar ... Tuan ... Tolong buka pintunya ..." Sesekali ia memukul-mukul pintu itu. 'Amar ... Apakah dengan cara kau menyiksaku seperti ini, kau lebih bahagia?' Anna dengan suara serak, putus asa. “Tuan Damar! Tolong… buka pintunya… Aku mohon… Aku tidak bisa bernapas…!"Suaranya terdengar serak dan lemah, bercampur antara tangis dan keputusasaan. Ia berdiri dan mencoba menggedor pintu lagi dengan sisa-sisa tenaganya, meski tahu tidak ada gunanya.Anna menangis, suaranya semakin lemah, "Tuan Damar, kumohon… lepaskanlah aku dari ruangan ini ..."Namun, di ruang utama rumah, Damar
Saat di dalam kamar Damar... Setelah mengeringkan tubuhnya, Damar menj4tuhkan tubuhnya ke ranjang. Menenggelamkan wajahnya dalam bantal. Pikirannya penuh dengan wajah Anna. Sampai ia kesal tubuhnya ia putar posisi menjadi telentang. Melihat langit-langit kamar, hanya ada bayangan wajah Anna saja, bukan Hanna. "Sial!! Bagaimana bisa aku terus memikirkan Anna?" Beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Untuk menghapus bayangan Anna dalam pikiran. Nyatanya tidak sanggup ia lakukan. "Aku benar-benar sudah sinting!" Setelah mengatakan itu, ia tersenyum sendiri. Merasakan Perhatiannya saat di kolam tadi. Rasanya ingin berlama-lama di sana bersama wanita itu. Saat sadar, Damar gegas duduk dan turun dari kasur. Ia menarik jas abu lalu memasangnya. "Dirumah dengannya, aku akan benar-benar gila!" Setelah memberikan perintah, Asisten Lian bersiap menyiapkan sebuah mobil untuknya. Dengan cepat ia berjalan keluar, menarik handle pintu hampir bert4brak4n dengan Anna yang entah sejak
Damar berteriak pada assisten rumah tangga yang mengantarnya ke mari. Beberapa saat kemudian wanita berseragam itu datang dengan tergopoh-gopoh."Bik! Antar dia ke kamar pembantu! Sebelah gudang!"titah Damar dengan nada tinggi.Wanita itu tidak mengerti. Ia mengernyitkan kening heran. "T-tapi Tuan Muda, kamar itu belum saya bersihkan. Banyak debu dan barang-barang yang tidak terpakai masih berserakan di sana. Kasian Nyonya Anna tidak akan bisa istirahat dengan nyenyak." Wajah Damar tidak terlihat ramah. Ia mengangkat tangannya ke atas, berniat men4mpar wajah asisten rumah tangannya."Berani kau memb4ntahku!!" Namun dengan cepat Anna menahannya. Tangan Damar tertahan di udara. Dengan bantuan Anna ia menurunkan kembali."Tolong, jangan bersikap keras pada orang yang tidak bersalah. Baiklah, saya akan pergi ke sana. Saya yang akan membersihkan ruangan itu sebelum saya tempati." Anna menegaskan kembali jika ia tidak keberatan dengan suruhan Damar padanya."Bagus! Kamu mengerti dengan p
Sesampainya di kediaman Wijaya ...Kakek Wijaya memerintahkan pada Asisten rumah tangga untuk mengantarkan Anna ke kamar Damar. "Mari Nyonya ..." ucapnya ramah, ditambah senyumnya yang menawan. Anna menundukkan kepala pada sang Kakek dan mengikuti langkah asisten menaiki anak tangga menuju lantai atas.Manik mata Anna menatap setiap sudut ruangan yang di lewatinya, dan tanpa sadar ia menabrak wanita berseragam itu yang ternyata berhenti tanpa memberikan aba-aba."Maaf Bik.""Silahkan Nyonya ... Ini ruang kamar Tuan Muda."Belum sempat melangkah ke arah pintu, ia mendengar suara Damar berteriak keras."Demi menjaga hubunganku dengan Kakek, aku terpaksa menikahi wanita h1na itu!! Dan lihatlah dia tidak akan kubiarkan bahagia hidup bersamaku!!" Suaranya begitu keras, hingga membuat uang mendengar ikut berdebar."Nyonya ... Maaf saya tinggal ya, banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan. Permisi.""Ya, Bik."Antara maju atau mundur. Sudah jelas-jelas Damar mengatakan demikian. Lalu un