Share

Bab 4 Kejadian Masa Lalu

Penulis: Iin Romita
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-19 09:24:54

Amar histeris melihat tubuh Hanna terpelanting setelah mobil itu menabrak tubuh kecilnya. Terlihat tubuh gadis itu bersimb4h d4r4h. Bibir kecil Amar ingin berteriak, namun ia juga merasakan sakit luar biasa dikepala. Saat tangannya mengusap kulit kepalanya, ia melihat cairan merah segar disana.

"Hanna ..."

Ingin rasanya Amar berdiri menghampiri Hanna, kala itu banyak kendaraan berhenti dan orang-orang berteriak tentang kejadian menimpa Hanna.

Saat satu kaki berhasil ia gerakkan, namun tiba-tiba pandangannya memudar, Amar tak sadar setelahnya.

...

Amar kecil yang terbaring diatas ranjang, membuka matanya perlahan, mendengar ada suara-suara samar di sekelilingnya, namun tubuhnya masih terasa sangat lemah.

Saat penglihatannya mulai jelas, ia melihat ayah, ibu, dan kakeknya berdiri di dekat tempat tidurnya, terlihat wajah mereka penuh kekhawatiran.

Dengan napas berat, Amar langsung teringat—kejadian itu menghantam pikirannya. "Hanna… Hanna di mana?" tanyanya dengan suara serak, penuh ketakutan.

Ibunya, dengan mata yang sedikit memerah, mencoba tersenyum menenangkan. "Amar, tenang dulu, Nak. Kamu baru saja sadar. Jangan terlalu memaksakan dirimu."

Amar menepis tangan wanita paruh baya itu. "Jangan sentuh aku, kalian tidak pernah memperdulikan ku. Kalian hanya sibuk dengan urusan kalian sendiri. Hanya Kakek dan Hanna yang peduli tentang kehidupanku," ucapnya dengan intonasi tinggi.

"Maafkan kami, Nak." Wanita itu mengusap bulir air mata yang tiba-tiba menggelincir bebas ke pipi.

Amar tak bisa menahan diri. Kepanikan menyelimuti diri. Ia mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa berat. "Tidak! Aku harus tahu! Hanna… dia yang mendorongku... dia yang terkena mobil itu! Bagaimana keadaan dia? Di mana dia sekarang?!"

Ayahnya menghela napas, wajahnya penuh kebingungan dan kesedihan. "Kami... kami belum tahu, Amar. Saat kejadian itu, kamu langsung dibawa ke sini. Kita di luar negeri sekarang. Kami belum sempat mencari tahu keadaan Hanna."

Mendengar jawaban itu, hati Amar seolah hancur berkeping-keping. Rasa marah dan ketakutan bergemuruh dalam diri. Ia menggenggam selimutnya dengan erat, menatap mereka dengan mata yang berkilat. "Bagaimana mungkin kalian tidak tahu? Dia yang telah rela mengorbankan dirinya demi aku. Aku harus pulang... sekarang juga! Aku harus bertemu Hanna!"

Kakeknya, yang sejak tadi diam, mendekat dan mencoba menenangkan Amar. "Amar, dengar dulu. Kamu masih lemah. Kita semua ingin tahu keadaan Hanna juga, tapi kamu harus memulihkan diri dulu."

Namun, Amar tak peduli. Air mata mulai mengalir di pipinya, dadanya berdegup kencang, penuh dengan kecemasan yang tak tertahankan. "Aku tidak peduli! Aku harus ke Jakarta! Aku harus memastikan dia baik-baik saja! Aku berhutang nyawa padanya, Kek! Bagaimana kalau... bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya?!"

Kakek Amar meletakkan tangan di bahu cucunya dengan lembut, meski air mata juga mulai menggenang di matanya. "Amar... kita semua akan mencarinya. Tapi tolong, Nak, jangan sakiti dirimu lebih lagi. Kita akan pulang secepatnya, kita akan cari tahu kabar Hanna."

Tapi hati Amar tetap tak tenang. Ia hanya bisa berharap, di setiap denyut jantungnya yang tak beraturan, bahwa Hanna akan selamat—bahwa temannya itu masih hidup, di suatu tempat, menunggunya untuk kembali.

Amar merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi jauh di dalam hatinya terasa lebih perih. Bayangan Hanna saat ia mendorongnya menjauh dari mobil yang melaju cepat terus menghantui pikirannya.

Ia ingat dengan jelas tatapan mata Hanna, penuh kepedulian dan ketegasan, seolah ia rela melakukan apapun demi menyelamatkan Amar. Dan dalam sekejap, tubuh Hanna yang lemah terlempar, terhempas ke aspal, sementara Amar jatuh ke pinggir jalan, tidak mampu berbuat apa-apa.

"Aku harus kembali," pikir Amar. Ia memaksa tubuhnya untuk bergerak, meskipun rasanya setiap otot di tubuhnya berteriak menolak. "Aku harus ke Jakarta. Hanna... dia menyelamatkanku. Bagaimana mungkin aku di sini, sementara dia... dia mungkin..."

Pikiran itu tak bisa ia lanjutkan. Dadanya terasa sesak, seperti tercekik oleh rasa bersalah dan ketidakberdayaan.

Ibunya mendekati Amar, duduk di tepi tempat tidur dan meraih tangannya. Sentuhan lembutnya terasa menenangkan, tapi tidak cukup untuk meredakan badai dalam hati Amar. "Amar, Nak... kami mengerti perasaanmu. Kami tahu betapa pentingnya Hanna untukmu. Tapi... kamu juga penting bagi kami. Kamu masih butuh perawatan. Tolong, beri kami waktu. Begitu kamu lebih kuat, kita akan pulang."

"Waktu? Bagaimana kalau aku tidak punya waktu ...?!"

Suasana di ruangan itu menjadi tegang. Semua orang terdiam, menahan napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi tak ada yang bisa menjawab ketakutan terbesar yang kini menggantung di udara—tak ada yang tahu apa yang terjadi pada Hanna.

Ayahnya mengusap kasar wajahnya dengan tangan, lalu menatap Amar dengan penuh rasa sakit. "Amar, percayalah. Kami akan melakukan apapun untuk mencari tahu kabar Hanna. Tapi, sekarang kamu harus sembuh dulu. Kamu tidak bisa membantu Hanna jika kamu sendiri masih terluka."

Amar ingin berteriak. Ia ingin berlari keluar dari ruangan itu, memaksa tubuhnya untuk pulih dalam sekejap, hanya agar ia bisa pergi ke Jakarta dan memastikan temannya baik-baik saja. Namun, tubuhnya terasa lemah, dan dalam kelemahan itu, kemarahan dan rasa frustrasi menguasainya.

"Kalian tidak mengerti," gumamnya, hampir berbisik. "Aku harus tahu sekarang. Hanna... dia satu-satunya yang menyelamatkanku. Bagaimana aku bisa hidup dengan tenang kalau aku tidak tahu apa yang terjadi padanya?"

Kakek Amar, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, akhirnya berbicara lagi. Suaranya rendah, penuh kebijaksanaan, tapi juga terbalut dengan emosi yang mendalam. "Amar, hidup ini kadang penuh dengan ketidakpastian. Kita sering dihadapkan pada situasi di mana kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang bisa kamu yakini, Nak, adalah bahwa kita akan melakukan apapun untuk memastikan orang-orang yang kita cintai selamat. Percayalah padaku. Kita akan segera mencari Hanna. Tapi untuk sekarang, kamu perlu mengumpulkan kekuatanmu dulu."

Amar terdiam. Ucapan kakeknya menyentuh bagian terdalam hatinya, meski rasa panik masih membara di dalam dirinya. Ia tahu, dalam logika yang dingin dan tak terhindarkan, bahwa ia tak bisa langsung pergi begitu saja. Tubuhnya masih lemah, dan bahkan jika ia pergi sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Namun hatinya tetap bergolak, tak ingin menerima kenyataan itu.

Dalam keheningan yang panjang, air mata Amar akhirnya jatuh. Ia membenci perasaan tak berdaya ini. Ia membenci fakta bahwa ia harus menunggu sementara Hanna mungkin terbaring di suatu tempat, sendirian, terluka.

"Aku... aku tidak akan tenang sampai aku tahu dia baik-baik saja," katanya pelan, hampir berbisik pada dirinya sendiri.

Ibunya mengusap lembut kepala Amar, sementara ayah dan kakeknya saling bertukar pandang, sadar bahwa perjuangan terbesar Amar belum selesai. Namun mereka tahu, di dalam hati Amar, tak ada yang lebih penting saat ini selain kabar tentang Hanna.

"Kami akan segera pulang, Amar," kata ayahnya akhirnya, suaranya penuh janji. "Secepatnya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
heh pdhal dah Dr kecil yah damar bnr2 satu hati sama Anna tapi knp pas udah besar damar g bisa ngenalin Hanna yg pake gelang hitam yg persis dia bikin nuat Hanna entah matamu yg rabun atw hatimu yg ketutup
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Istri Tuli Yang Kau Campakkan itu Ternyata....   bab 29

    Delia bingung apa yang ingin dijawabnya. Sedangkan ia tak mendengar pria itu mengatakan apa."Hanna ... Sepertinya kamu sangat merindukan tempat ini. Hingga kamu tidak dengar perkataanku."Hanna tersenyum. "Ya, Damar. Banyak kenangan di sini." Tidak berani bicara banyak-banyak takut Damar bertanya macam-macam.Beberapa kali ia bertanya lewat ponselnya pada Asisten Lian, ia tidak ingin salah dalam menjawab. Ia mengetik cepat dalam pesan chat. [Ini rumah siapa, Sayang?]Lian pun lekas membalas. [Rumah Damar, Sayang.]Damar hanya melihat Hanna sepintas. Ia membebaskan dia bermain dengan gawainya. Ia pun tidak curiga dengan mereka.Damar pun berjalan melihat-lihat kondisi ruangan yang tidak terawat itu. Tanpa sadar ia menginjak sesuatu. Melihat ke bawah sebuah pigura yang dijatuhkan Anna tadi.Gegas ia membungkuk untuk mengambil. 'Foto ini terjatuh di lantai. Dan kacanya bersih dari debu. Aneh sekali.' pikir Damar.Menepis semua praduga. Senyum terbit di sudut ditunjukan di bibirnya. Ia

  • Istri Tuli Yang Kau Campakkan itu Ternyata....   Bab 28

    Damar segera memeluk tubuh Delia erat. "Jangan katakan apapun lagi, aku sudah katakan. Tidak terjadi apapun di dalam kamar mandi itu, Hanna. Percayalah."***Pagi itu ..."Tuan Damar, hari ini aku minta izin untuk keluar. Aku sangat merindukan tempat tinggal ku dulu. " Anna berdiri dengan takut—meminta izin pada Damar yang kala itu sedang menyeruput kopi di depan rumah. Tidak sedetikpun ia menengok Anna disampingnya."Tuan ... Apa saya mohon berikan saya izin."Karena risih Damar menoleh cepat. Tangannya yang Kokok dan kekar menggebrak meja. Hingga cangkir berisi kopi yang tinggal separuh itu tumpah."Aku tidak perduli, kamu mau pergi ke manapun! Pergi saja sesuka hatimu, wanita hina!" umpatnya. Setelah itu ia berdiri meninggalkan Anna seorang diri.Karena Damar telah menjawab demikian, ia pun pergi. Anna mengayunkan kakinya pergi, sampai di pintu gerbang, Anna berpapasan dengan Asisten Lian. Pria itu menghentikan mobilnya, dan keluar menghampiri Anna."Maaf Nyonya, saya menghalangi p

  • Istri Tuli Yang Kau Campakkan itu Ternyata....   bab 27

    Sore itu, Anna yang baru selesai mandi di kamar tamunya merasa panik. Keran air tiba-tiba berhenti mengalir saat ia masih penuh dengan busa sabun. Matanya perih karena busa yang masuk ke dalamnya, dan dalam kebingungan, ia meraba-raba keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya.Anna dalam hati, panik. "Aduh, kenapa airnya mati sih sekarang?! Aduh, mataku... Pedih! Bibi! Bibi! Tolong!"Sambil meraba-raba dengan satu tangan, yang lain mengusap-usap matanya yang perih, ia berhasil menangkap lengan seseorang yang ia kira adalah asisten rumah tangga. Tanpa berpikir panjang, Anna langsung ditarik olehnya.Anna berjalan penuh kehati-hatian. Ia mengira seseorang yang berada di hadapannya itu adalah asisten rumah tangga yang akan membantunya. Tapi ..."Bik. Antarkan aku ke kamar mandi kamu Bik! Kran dikamar mandi ku tidak keluar. Cepat Bik, tuntun aku. Mataku pedih sekali. Aku malu jika Tuan Damar nanti melihatku seperti ini, aku takut jika dia berpikir macam-macam terhadapku,

  • Istri Tuli Yang Kau Campakkan itu Ternyata....   Bab 26

    Delia mendekati Anna dan bertanya, "Aku tidak akan membiarkan Damar meninggalkan kamu, Ann."Anna tersenyum tanpa sepengatahuan nya. 'Dasar pembohong besar kau. Bilang saja saat ini kau tengah ketakutan, jika kedokmu Terbongkar!' batin Anna."Sudahlah. Banyak asisten rumah tangga yang akan menemani dia. Lagian, aku tidak ingin melihatnya bermanja-manja di kediaman ku. Aku bisa tegaskan padanya, jika dia bukan siapa-siapaku? Dia hanya istri di atas kertas!!" Berbicara tanpa melihat ke arah Anna. Hanna palsu datang menghampirinya dengan senyum yang tampak tidak tenang, meski dalam hatinya, rasa takut menggeliat. Ia tahu, jika Damar benar-benar akan membawanya ke desa itu, semua kebohongan yang selama ini ia jalin bisa runtuh dalam sekejap. "Aku sudah memutuskan, Hanna. Kita akan pergi ke desa itu sekarang. Hari ini aku mau libur untuk bersamamu saja. Aku ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai," ucap Damar dengan nada datar.Delia terkejut mendengar ketegasan suara Damar. Jan

  • Istri Tuli Yang Kau Campakkan itu Ternyata....   bab 25 Mulut Buaya

    'Sial! Wanita itu mengetahui aku ketiduran di sini! Pasti dia berpikir yang bukan-bukan! Aku tidak mau kehilangan harga diriku jika sampai dia memiliki pikiran demikian.'"Tuan, kenapa saya bisa di kamar tidur Anda?" Sungguh Damar menganggap itu sebuah pertanyaan b0d0h. Bagaimana ia memiliki pikiran demikian? Sudah jelas-jelas tadi malam keadaannya sangat lemah."Dasar wanita hi na! Kamu jangan anggap aku perduli terhadapmu!"Anna memegang kepalanya, terasa sakit. Damar yang mengetahui itu diam saja. Hampir saja mulutnya keceplosan akan mengutarakan pertanyaan perkara keadaannya. 'Huft ... Hampir saja.'Bibi datang, sebelum ia bertanya ia menundukkan kepala. "Maaf Nyonya ... Bagaimana keadaan Anda sekarang?"Pertanyaan bibi membuat Damar lega. Ia selamat dari cecaran Anna. Meski ia minim bertanya, tapi Damar dapat menangkapnya.Anna mengambangkan senyuman. "Syukurlah, Bu. Anna tidak apa-apa. Keadaan Anna sudah membaik. Bibi tidak perlu khawatir."Mendengar itu Damar sendiri ikut mera

  • Istri Tuli Yang Kau Campakkan itu Ternyata....   Bab 24 Keadaannya Buruk

    "Anna ... Bangun! Kau dengar suaraku 'kan?" Damar menepuk-nepuk pipi Anna beberapa kali. Wanita itu masih terpejam tubuhnya sangat lemas.Terlihat dari wajah Damar tampak sekali mengkhawatirkan keadaan Anna. "Seharusnya aku tidak menghukum mu dengan cara seperti itu, Anna."Damar berdiri di sisi tempat tidur, perasaannya campur aduk saat memandang Anna yang terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa bersalah yang terus membayanginya. Kenapa ia begitu kejam pada Anna? Bagaimana bisa ia membiarkan perempuan itu menderita hingga kondisinya seperti ini? Penyesalan mulai merayap di setiap sudut hatinya.Suara langkah kaki asisten rumah tangga terdengar mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Anna yang masih terpejam di atas tempat tidur.Bibi ikut gelisah, dengan nada cemas. "Tuan Damar. Kenapa tidak membawa Nyonya Anna ke rumah sakit saja? Dokter keluarga belum juga datang. Saya takut kondisinya makin buruk..."Damar terdiam sejenak,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status