Setelah keadaan Damar membaik, ia pergi ke Jakarta mencari Hanna. Tidak ada informasi yang jelas mengenai gadis itu, ada yang mengatakan ia di adopsi keluarga kaya dan mereka menyembunyikan identitasnya. Entahlah keluarga Amar tidak dapat menemukannya. Dan terpaksa Damar kecil di ajak tinggal di luar negeri bersama ayah dan ibunya hingga ia dewasa.
Terdengar suara ketukan pintu terdengar keras di telinga Damar. Hingga membuyarkan ingatannya tentang Hanna. "Permisi!" "Masuk!" Wanita menyebalkan itu kembali terlihat dari pandangannya. Damar mengalihkan wajahnya, malas. "Ada perlu apa kau datang ke mari? Apa kau tidak bisa mengerjakan tugasmu dengan baik? Hah!! Aku minta kau mengirimkan hasil pekerjaan itu jam dua siang. Apa telingamu tu li!!" Hentakan itu membuat Anna terkejut. "Maaf, Tuan Damar. Saya hanya memberikan informasi—jika terdapat meeting mendadak bersama pemegang saham terbesar dari perusahaan Adiwijaya Group sebelum jam sebelas." Damar menghembuskan nafas kasar. Anna memperhatikannya. "Cancel!! Hari ini aku tidak ada keinginan untuk bertemu orang luar!" "T—tapi Tuan ..." Damar berdiri dengan cepat, ia mendorong kursi kebelakang dengan kakinya, berjalan mendekati Anna dengan langkah tegap setelah sampai di hadapannya, Damar menarik rambutnya yang panjang. Sorot matanya menakutkan, hingga Anna penutup matanya. "Ah, sakit." "Aku tidak butuh ocehan mu, Anna!! Kau tidak berhak memerintahkanku. Kau tahu!! Aku disini adalah Presiden Direkturnya!! PAHAM!! Aku sama sekali tidak peduli dengan semua ucapanmu!!" bentaknya hingga telinga Anna sakit. Suara dengungan itu makin keras, sampai ia harus menarik benda kecil yang menempel di lubang telinganya. Damar merampas benda dan membantingnya. Karena dilihat tidak rusak, ia gunakan sepatunya untuk menginjaknya hingga remuk. Puas rasanya ia melakukan itu. Anna terkejut. Kali ini ia tidak bisa menangkap suara Damar. Hanya pergerakan mulutnya saja ia bisa lihat kalimat apa yang diucapkan. "Tuan? Anda sangat kejam," pekik Anna tidak percaya. "Ya aku memang kejam! Apa kau tidak tahu? Dasar wanita tu li!! Aku muak melihat wajahmu! Pergi kau dari ruangan ku!!" Samar-samar Anna bisa melihat kalimat yang diucapkan. "Sayang sekali kau tidak bisa mendengarkan teriakanku! Harusnya kau lebih tersiksa karena kau akan tiap saat mendengarkan aku memarahi mu!" ucap Damar. Entahlah kali ini, Anna tidak tahu ia mengucapkan apa. Damar berulang kali mendorong tubuhnya sampai ia harus menyeret tangannya, mengeluarkan Anna dari ruangannya. Perih, sakit hati, itulah yang saat ini dirasakan Anna. Ia yang hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya mencoba untuk tetap tegar dan berdiri kuat. "Tuan Damar. Anda sangat kejam padaku." Anna mengusap kasar bulir airmata yang tiba-tiba menggelincir bebas ke pipi. Ia kebingungan. Tanpa alat bantu pendengaran itu, ia tak dapat menangkap suara apapun. Seseorang menabraknya dari belakang. Ternyata Asisten Lian. "Maaf, Nona. Saya tidak sengaja." Lama Anna merespon. Ia hanya mengulas senyum dan menundukkan kepala, yang tidak dimengerti Asisten Lian. Saat Anna beranjak pergi, dua manik mata Lian fokus menatap sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangan Anna. "Gelang itu?" ucapnya lirih. Ia perhatikan dengan seksama. Cepat ia merogoh saku jasnya. Mengeluarkan sebuah kotak dengan dinding kaca. Ini adalah duplikat gelang. Yang asli hanya di simpan Damar. Terlihat di sana gelang itu memang sama persis. Tak ada bedanya. Pikiran pun mengarah ke sana... "Nona Anna??" ... .... Denting jam berbunyi, pandangan Anna mengarah pada jam dinding. "Sudah pukul dua. Pekerjaan ini hampir selesai." Buru-buru Anna merapikan berkas di mejanya. Dan beranjak dari ruangannya menuju ruangan Damar. "Aku harus buru-buru sebelum pria itu kembali murka. Aku paham pria apa sebenarnya dia." Dengan mengembuskan nafas berat ia sedikit berlari. Anna mengetuk pintu berulang kali. Ia tak tahu bagaimana ia bisa dengar jika Damar sudah mengizinkannya masuk. Terpaksa ia membuka saja pintunya. Ia anggap pria itu sudah menyuruhnya masuk. Anna membuka pintu dengan hati-hati. Saat pintu sebagian terbuka. Kembali ia dikejutkan melihat sosok Damar sudah berdiri di belakang pintu. Dari wajahnya ia tak menunjukkan wajah senang. Sungguh Anna bagaikan hidup dalam penjara. Damar mengangkat tangan, menunjuk jam tangan berwarna hitam dipergelangan nya, tanpa membuka mulut. Jari telunjuk kanan menunjuk angka di sana. Anna melihat di sana jarum jam pendek berada di angka dua dan lebih dua menit. 'Sudah lewat dua menit. Apakah aku sangat terlambat?' "Kau sudah melebihi waktu yang ku sebutkan, Anna!!" ucap Damar. Anna terus memperhatikan gerak bibirnya. "Saya minta maaf, Tuan. Saya hanya terlambat dua menit," ucapnya membela diri. "Dua menit adalah waktu yang sangat berharga bagiku. Bagimu dua menit tidak ada artinya!!" bentak Damar. Damar mengingat, jika dalam waktu dua menit itu ia gunakan untuk menolong Hanna dulu, gadis itu akan selamat dan mereka tidak akan terpisah. Itu adalah kesalahan terbesarnya. Seperti yang sudah dipikirkan Anna, Damar merampas berkas yang di bawa Anna dan menjatuhkan dengan keras ke lantai. Kaki kanan, adalah kaki yang sama saat ia menginjak alat bantu pendengaran Anna. Damar menunduk mengambil berkas kotor itu dan melemparkannya ke tong sampah. 'Dasar pria iblis!' umpat Anna dalam hati. Tak ada pilihan lain, ia terpaksa diam dan tidak membantah. "Kerjakan kembali pekerjaan itu wanita tu li!! Aku tidak mau melihat kegagalanmu bekerja dihari pertamamu!! Kau bisa baca pergerakan mulutku kan!!" Anna mengangguk kepala. Meski sakit rasanya, hampir ia meneteskan air mata. Namun ia tahan saja. Ia menundukkan kepala dan segera pergi. Saat Anna pergi ... "Cih!! Menyenangkan sekali menindas wanita itu seperti ini."'Sial! Wanita itu mengetahui aku ketiduran di sini! Pasti dia berpikir yang bukan-bukan! Aku tidak mau kehilangan harga diriku jika sampai dia memiliki pikiran demikian.'"Tuan, kenapa saya bisa di kamar tidur Anda?" Sungguh Damar menganggap itu sebuah pertanyaan b0d0h. Bagaimana ia memiliki pikiran demikian? Sudah jelas-jelas tadi malam keadaannya sangat lemah."Dasar wanita hi na! Kamu jangan anggap aku perduli terhadapmu!"Anna memegang kepalanya, terasa sakit. Damar yang mengetahui itu diam saja. Hampir saja mulutnya keceplosan akan mengutarakan pertanyaan perkara keadaannya. 'Huft ... Hampir saja.'Bibi datang, sebelum ia bertanya ia menundukkan kepala. "Maaf Nyonya ... Bagaimana keadaan Anda sekarang?"Pertanyaan bibi membuat Damar lega. Ia selamat dari cecaran Anna. Meski ia minim bertanya, tapi Damar dapat menangkapnya.Anna mengambangkan senyuman. "Syukurlah, Bu. Anna tidak apa-apa. Keadaan Anna sudah membaik. Bibi tidak perlu khawatir."Mendengar itu Damar sendiri ikut mera
"Anna ... Bangun! Kau dengar suaraku 'kan?" Damar menepuk-nepuk pipi Anna beberapa kali. Wanita itu masih terpejam tubuhnya sangat lemas.Terlihat dari wajah Damar tampak sekali mengkhawatirkan keadaan Anna. "Seharusnya aku tidak menghukum mu dengan cara seperti itu, Anna."Damar berdiri di sisi tempat tidur, perasaannya campur aduk saat memandang Anna yang terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa bersalah yang terus membayanginya. Kenapa ia begitu kejam pada Anna? Bagaimana bisa ia membiarkan perempuan itu menderita hingga kondisinya seperti ini? Penyesalan mulai merayap di setiap sudut hatinya.Suara langkah kaki asisten rumah tangga terdengar mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Anna yang masih terpejam di atas tempat tidur.Bibi ikut gelisah, dengan nada cemas. "Tuan Damar. Kenapa tidak membawa Nyonya Anna ke rumah sakit saja? Dokter keluarga belum juga datang. Saya takut kondisinya makin buruk..."Damar terdiam sejenak,
Malam itu di dalam gudang yang pengap, dada Anna terasa sesak. Benar, ia melihat kesana ke mari tidak ada satu pun pantulan cahaya masuk. Tidak ada satupun cela ventilasi. Anna menekan dadanya kuat-kuat. Teramat sakit. "Apakah aku akan selamat di ruangan ini? Rasanya aku tidak bisa bernafas lagi."Terpaksa Anna menggebrak pintu yang terbuat dari ukiran kayu. Beberapa kali namun tak ada yang menyahut. "Tuan Damar ... Tuan ... Tolong buka pintunya ..." Sesekali ia memukul-mukul pintu itu. 'Amar ... Apakah dengan cara kau menyiksaku seperti ini, kau lebih bahagia?' Anna dengan suara serak, putus asa. “Tuan Damar! Tolong… buka pintunya… Aku mohon… Aku tidak bisa bernapas…!"Suaranya terdengar serak dan lemah, bercampur antara tangis dan keputusasaan. Ia berdiri dan mencoba menggedor pintu lagi dengan sisa-sisa tenaganya, meski tahu tidak ada gunanya.Anna menangis, suaranya semakin lemah, "Tuan Damar, kumohon… lepaskanlah aku dari ruangan ini ..."Namun, di ruang utama rumah, Damar
Saat di dalam kamar Damar... Setelah mengeringkan tubuhnya, Damar menj4tuhkan tubuhnya ke ranjang. Menenggelamkan wajahnya dalam bantal. Pikirannya penuh dengan wajah Anna. Sampai ia kesal tubuhnya ia putar posisi menjadi telentang. Melihat langit-langit kamar, hanya ada bayangan wajah Anna saja, bukan Hanna. "Sial!! Bagaimana bisa aku terus memikirkan Anna?" Beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Untuk menghapus bayangan Anna dalam pikiran. Nyatanya tidak sanggup ia lakukan. "Aku benar-benar sudah sinting!" Setelah mengatakan itu, ia tersenyum sendiri. Merasakan Perhatiannya saat di kolam tadi. Rasanya ingin berlama-lama di sana bersama wanita itu. Saat sadar, Damar gegas duduk dan turun dari kasur. Ia menarik jas abu lalu memasangnya. "Dirumah dengannya, aku akan benar-benar gila!" Setelah memberikan perintah, Asisten Lian bersiap menyiapkan sebuah mobil untuknya. Dengan cepat ia berjalan keluar, menarik handle pintu hampir bert4brak4n dengan Anna yang entah sejak
Damar berteriak pada assisten rumah tangga yang mengantarnya ke mari. Beberapa saat kemudian wanita berseragam itu datang dengan tergopoh-gopoh."Bik! Antar dia ke kamar pembantu! Sebelah gudang!"titah Damar dengan nada tinggi.Wanita itu tidak mengerti. Ia mengernyitkan kening heran. "T-tapi Tuan Muda, kamar itu belum saya bersihkan. Banyak debu dan barang-barang yang tidak terpakai masih berserakan di sana. Kasian Nyonya Anna tidak akan bisa istirahat dengan nyenyak." Wajah Damar tidak terlihat ramah. Ia mengangkat tangannya ke atas, berniat men4mpar wajah asisten rumah tangannya."Berani kau memb4ntahku!!" Namun dengan cepat Anna menahannya. Tangan Damar tertahan di udara. Dengan bantuan Anna ia menurunkan kembali."Tolong, jangan bersikap keras pada orang yang tidak bersalah. Baiklah, saya akan pergi ke sana. Saya yang akan membersihkan ruangan itu sebelum saya tempati." Anna menegaskan kembali jika ia tidak keberatan dengan suruhan Damar padanya."Bagus! Kamu mengerti dengan p
Sesampainya di kediaman Wijaya ...Kakek Wijaya memerintahkan pada Asisten rumah tangga untuk mengantarkan Anna ke kamar Damar. "Mari Nyonya ..." ucapnya ramah, ditambah senyumnya yang menawan. Anna menundukkan kepala pada sang Kakek dan mengikuti langkah asisten menaiki anak tangga menuju lantai atas.Manik mata Anna menatap setiap sudut ruangan yang di lewatinya, dan tanpa sadar ia menabrak wanita berseragam itu yang ternyata berhenti tanpa memberikan aba-aba."Maaf Bik.""Silahkan Nyonya ... Ini ruang kamar Tuan Muda."Belum sempat melangkah ke arah pintu, ia mendengar suara Damar berteriak keras."Demi menjaga hubunganku dengan Kakek, aku terpaksa menikahi wanita h1na itu!! Dan lihatlah dia tidak akan kubiarkan bahagia hidup bersamaku!!" Suaranya begitu keras, hingga membuat uang mendengar ikut berdebar."Nyonya ... Maaf saya tinggal ya, banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan. Permisi.""Ya, Bik."Antara maju atau mundur. Sudah jelas-jelas Damar mengatakan demikian. Lalu un