"Hentikan ucapanmu itu, Damar!! Tidak sepantasnya kamu berbicara buruk tentang Nona Anna. Kakek tidak mau tahu, saat ini Nona Anna adalah sekretaris pribadimu, ke manapun kamu pergi, dia akan ikut bersamamu! Paham! Kamu tidak bisa membantah perintah Kakek! Acara pertunangan kalian akan Kakek percepat!"
Ke duanya terkejut. Hingga kornea mata mereka saling beradu. "Kek, sudah berapa kali Damar katakan pada Kakek, jika Damar sudah memiliki wanita di hati. Tidak akan ada wanita mana pun yang akan menggantikannya!" Cucu dan kakek itu saling berdebat. Anna hanya diam mendengarnya. "Cukup!! Wanita dua belas tahun lalu yang tak kunjung kau temukan itu, bisa saja dia sudah pergi dan melupakanmu, untuk apa kau menunggunya? Kau hanya buang waktu demi wanita yang tidak jelas keberadaanya!" Pria dengan rahang kokoh itu menghela napas berat. Sorot matanya tajam melihat ke arah Anna. "Beri Damar waktu satu Minggu. Jika dalam waktu yang disebutkan, cucu kakek ini belum menemukannya. Maka Damar akan menuruti semua perintah Kakek," ucapnya terpaksa. Sungguh ia memberikan pernyataan yang berat. "Good. Kakek setuju. Sekarang, antarkan Nona Anna ke ruangannya! Mulai saat ini dia adalah partner kerjamu. Mengerti!" Tanpa basa basi Damar berjalan keluar ruangannya. Kakek menyuruh Anna untuk mengikutinya. Dari kejauhan Kakek tersenyum melihat mereka. Sampai di ruangan tertutup, tak jauh dari ruang kerja Damar. "Kau tidak perlu merasa senang, karena aku harus susah payah mengantarmu. Kau pikir kau siapa?" Anna mengernyit heran. "Aku tidak tahu, bagaimana Kakek bisa menyukaimu." Karena bagiku, kau tidak memiliki daya tarik sama sekali!" Mata Damar menyusuri seluruh bagian wajahnya. Kakinya melangkah maju mendekati tubuh Anna. Hingga Anna melangkah mundur dan berhenti di dinding. Satu tangan Damar kembali menekan dua pipinya. Dari jarak terdekat hembusan nafasnya menyapu seluruh wajah Anna. Pria berkuasa itu bisa melihat wajahnya dengan jelas dari jarak terdekat. Dua manik mata itu hampir tersihir oleh kecantikannya. 'Sial, wanita ini penuh tipu muslihat. Hampir saja, aku tergoda olehnya,' batin Damar baru tersadar. "Turunkan tangan Anda dari wajah saya, Tuan." Bertepatan dengan itu, dering ponsel Damar berbunyi. Gegas ia meraih dari sakunya. Melihat kontak pemanggil. 'Asisten Lian.' "Wanita hina, kau kerjakan semua dokumen di atas meja itu. Serahkan padaku sebelum jam dua nanti. Jika dalam waktu tersebut kau tidak selesai mengerjakannya, aku akan tambah lagi pekerjaanmu. Paham!" Tanpa menunggu Anna menjawab, Damar pergi begitu saja, sembari mengangkat panggilan telponnya. [Tuan, saya telah menemukan keberadaan gadis yang selama ini Anda cari.] Wajah Damar yang semula tegang berubah cerah. Dua sudut bibirnya terangkat sempurna. Bahkan cekungan pipi terlihat sangat jelas. Menunjukkan wajah tampannya. Bahkan mendadak predikat presiden direktur bak monster itu lenyap karena senyumnya. Hampir bibirnya sulit berkata-kata. Saking bahagianya kali ini. [Benarkah, Asisten Lian?] Ia tak percaya dengan yang di dengarnya. [Ya, Tuan. Semua ciri-ciri yang Tuan sebutkan ada padanya. Dia juga memiliki gelang yang sama seperti milik Anda. Secepatnya, saya akan bawa gadis itu ke hadapan Tuan.] [Kuharap kau tidak salah orang, Asisten Lian!] Sedikit tak percaya, tapi, Asistennya tersebut jarang melakukan kesalahan. Ia pun percaya. Mungkin dipikirannya, karena ia menaikkan nominal besar itu, jadi ia mudah untuk dapat menemukannya. Wanita itu cepat di temukan. Entahlah. [Tentu saya sudah selidiki semuanya, Tuan. Saya tidak akan melakukan kesalahan, demi wanita terpilih dihati Tuan tersebut, saya bekerja sangat hati-hati.] [Bagus. Aku tunggu kabar terbaikmu!] Tanpa menunggu kalimat terakhir Asisten Lian, Damar mengakhiri panggilannya. Dalam ruang kerja Damar. Ia memutar kursi kesana ke mari. Hampir tak dapat konsentrasi. Tak sabar menantikan bisa bertemu dengan Hanna. Jari tangan hanya memegang mouse menggeser ke sana ke sini. Tak pasti dengan apa yang akan di kerjakan. "Hanna ... Kita akan bertemu. Setelah dua belas tahun lamanya. Apakah kau semakin cantik di usia kamu yang sudah dewasa. Sungguh aku tak sabar. Akan kukatakan padamu, jika aku hampir gila. Aku tak dapat mencintai wanita lain selain dirimu," ucap Damar sendiri. Setelah senyum yang dikembangkan sedari tadi, wajahnya kini suram. Mengingat kejadian beberapa tahun silam. Bayangan mengerikan kembali mengusik pikirannya. ... "Na, ku pasangkan gelang ini ditangan kamu ya, janji tidak boleh dilepas sampai kapanpun." Pria kecil yang semalaman suntuk merakit dua buah gelang berwarna hitam. Memberikan salah satunya pada gadis kecil itu. Gadis kecil yang tiap saat menemaninya itu mengangguk, dengan senyum manis yang terbit natural. "Baiklah, janji!" Ia mengangkat jari kelingking keatas. "Hanna, terima kasih kamu telah menemani hari-hariku, ya. Didunia ini rasanya aku hanya memiliki kamu dan kakek saja. Mama dan Papaku hanya sibuk bekerja diluar negeri, mengumpulkan uang tanpa peduli bagaimana kehidupanku. Mereka tidak mempunyai kasih sayang untukku." Menceritakan sedikit kesedihannya pada satu sahabatnya. "Tidak boleh bicara macam-macam tentang orang tua Amar, ya? Mereka mencari uang demi Amar. Untuk membiayai kehidupan Amar," tutur Hanna. "Tetap saja mereka tak peduli pada Amar. Amar tak butuh kekayaan Na, yang Amar butuhkan kasih sayang mereka. Oh, ya. Hanna suka gak sama gelang buatan Amar?" "Suka, suka sekali. Terima kasih ya?" Keduanya kala itu tengah berjalan disekitar jalan raya. Sama-sama saling bercanda. Mereka yang masih kecil lupa jika harus waspada. Saat Hanna melihat kebelakang ia melihat sebuah mobil hitam mengkilap melaju kencang ke arah mereka. Dengan cepat Hanna mendorong tubuh Amar ke tepi. Tanpa sengaja kepala Amar terbentur tiang listrik hingga terhuyung jatuh, namun Hanna ...'Sial! Wanita itu mengetahui aku ketiduran di sini! Pasti dia berpikir yang bukan-bukan! Aku tidak mau kehilangan harga diriku jika sampai dia memiliki pikiran demikian.'"Tuan, kenapa saya bisa di kamar tidur Anda?" Sungguh Damar menganggap itu sebuah pertanyaan b0d0h. Bagaimana ia memiliki pikiran demikian? Sudah jelas-jelas tadi malam keadaannya sangat lemah."Dasar wanita hi na! Kamu jangan anggap aku perduli terhadapmu!"Anna memegang kepalanya, terasa sakit. Damar yang mengetahui itu diam saja. Hampir saja mulutnya keceplosan akan mengutarakan pertanyaan perkara keadaannya. 'Huft ... Hampir saja.'Bibi datang, sebelum ia bertanya ia menundukkan kepala. "Maaf Nyonya ... Bagaimana keadaan Anda sekarang?"Pertanyaan bibi membuat Damar lega. Ia selamat dari cecaran Anna. Meski ia minim bertanya, tapi Damar dapat menangkapnya.Anna mengambangkan senyuman. "Syukurlah, Bu. Anna tidak apa-apa. Keadaan Anna sudah membaik. Bibi tidak perlu khawatir."Mendengar itu Damar sendiri ikut mera
"Anna ... Bangun! Kau dengar suaraku 'kan?" Damar menepuk-nepuk pipi Anna beberapa kali. Wanita itu masih terpejam tubuhnya sangat lemas.Terlihat dari wajah Damar tampak sekali mengkhawatirkan keadaan Anna. "Seharusnya aku tidak menghukum mu dengan cara seperti itu, Anna."Damar berdiri di sisi tempat tidur, perasaannya campur aduk saat memandang Anna yang terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa bersalah yang terus membayanginya. Kenapa ia begitu kejam pada Anna? Bagaimana bisa ia membiarkan perempuan itu menderita hingga kondisinya seperti ini? Penyesalan mulai merayap di setiap sudut hatinya.Suara langkah kaki asisten rumah tangga terdengar mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Anna yang masih terpejam di atas tempat tidur.Bibi ikut gelisah, dengan nada cemas. "Tuan Damar. Kenapa tidak membawa Nyonya Anna ke rumah sakit saja? Dokter keluarga belum juga datang. Saya takut kondisinya makin buruk..."Damar terdiam sejenak,
Malam itu di dalam gudang yang pengap, dada Anna terasa sesak. Benar, ia melihat kesana ke mari tidak ada satu pun pantulan cahaya masuk. Tidak ada satupun cela ventilasi. Anna menekan dadanya kuat-kuat. Teramat sakit. "Apakah aku akan selamat di ruangan ini? Rasanya aku tidak bisa bernafas lagi."Terpaksa Anna menggebrak pintu yang terbuat dari ukiran kayu. Beberapa kali namun tak ada yang menyahut. "Tuan Damar ... Tuan ... Tolong buka pintunya ..." Sesekali ia memukul-mukul pintu itu. 'Amar ... Apakah dengan cara kau menyiksaku seperti ini, kau lebih bahagia?' Anna dengan suara serak, putus asa. “Tuan Damar! Tolong… buka pintunya… Aku mohon… Aku tidak bisa bernapas…!"Suaranya terdengar serak dan lemah, bercampur antara tangis dan keputusasaan. Ia berdiri dan mencoba menggedor pintu lagi dengan sisa-sisa tenaganya, meski tahu tidak ada gunanya.Anna menangis, suaranya semakin lemah, "Tuan Damar, kumohon… lepaskanlah aku dari ruangan ini ..."Namun, di ruang utama rumah, Damar
Saat di dalam kamar Damar... Setelah mengeringkan tubuhnya, Damar menj4tuhkan tubuhnya ke ranjang. Menenggelamkan wajahnya dalam bantal. Pikirannya penuh dengan wajah Anna. Sampai ia kesal tubuhnya ia putar posisi menjadi telentang. Melihat langit-langit kamar, hanya ada bayangan wajah Anna saja, bukan Hanna. "Sial!! Bagaimana bisa aku terus memikirkan Anna?" Beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Untuk menghapus bayangan Anna dalam pikiran. Nyatanya tidak sanggup ia lakukan. "Aku benar-benar sudah sinting!" Setelah mengatakan itu, ia tersenyum sendiri. Merasakan Perhatiannya saat di kolam tadi. Rasanya ingin berlama-lama di sana bersama wanita itu. Saat sadar, Damar gegas duduk dan turun dari kasur. Ia menarik jas abu lalu memasangnya. "Dirumah dengannya, aku akan benar-benar gila!" Setelah memberikan perintah, Asisten Lian bersiap menyiapkan sebuah mobil untuknya. Dengan cepat ia berjalan keluar, menarik handle pintu hampir bert4brak4n dengan Anna yang entah sejak
Damar berteriak pada assisten rumah tangga yang mengantarnya ke mari. Beberapa saat kemudian wanita berseragam itu datang dengan tergopoh-gopoh."Bik! Antar dia ke kamar pembantu! Sebelah gudang!"titah Damar dengan nada tinggi.Wanita itu tidak mengerti. Ia mengernyitkan kening heran. "T-tapi Tuan Muda, kamar itu belum saya bersihkan. Banyak debu dan barang-barang yang tidak terpakai masih berserakan di sana. Kasian Nyonya Anna tidak akan bisa istirahat dengan nyenyak." Wajah Damar tidak terlihat ramah. Ia mengangkat tangannya ke atas, berniat men4mpar wajah asisten rumah tangannya."Berani kau memb4ntahku!!" Namun dengan cepat Anna menahannya. Tangan Damar tertahan di udara. Dengan bantuan Anna ia menurunkan kembali."Tolong, jangan bersikap keras pada orang yang tidak bersalah. Baiklah, saya akan pergi ke sana. Saya yang akan membersihkan ruangan itu sebelum saya tempati." Anna menegaskan kembali jika ia tidak keberatan dengan suruhan Damar padanya."Bagus! Kamu mengerti dengan p
Sesampainya di kediaman Wijaya ...Kakek Wijaya memerintahkan pada Asisten rumah tangga untuk mengantarkan Anna ke kamar Damar. "Mari Nyonya ..." ucapnya ramah, ditambah senyumnya yang menawan. Anna menundukkan kepala pada sang Kakek dan mengikuti langkah asisten menaiki anak tangga menuju lantai atas.Manik mata Anna menatap setiap sudut ruangan yang di lewatinya, dan tanpa sadar ia menabrak wanita berseragam itu yang ternyata berhenti tanpa memberikan aba-aba."Maaf Bik.""Silahkan Nyonya ... Ini ruang kamar Tuan Muda."Belum sempat melangkah ke arah pintu, ia mendengar suara Damar berteriak keras."Demi menjaga hubunganku dengan Kakek, aku terpaksa menikahi wanita h1na itu!! Dan lihatlah dia tidak akan kubiarkan bahagia hidup bersamaku!!" Suaranya begitu keras, hingga membuat uang mendengar ikut berdebar."Nyonya ... Maaf saya tinggal ya, banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan. Permisi.""Ya, Bik."Antara maju atau mundur. Sudah jelas-jelas Damar mengatakan demikian. Lalu un