“Halo, Sayang.” Ale yang mengangkat sambungan telepon segera menyapa Dima, suaminya.
“Maaf, Bu. Ini bukan pemilik ponsel.”Suara asing yang terdengar membuat Ale terkesiap. Tentu saja itu membuat Ale bingung. Kenapa orang lain yang mengangkat sambungan telepon tersebut.“Ini siapa?” Ale melempar pertanyaan itu pada orang yang sedang memegang ponsel suaminya.Alca yang mendengar ikut bingung ketika Ale bertanya tentang siapa gerangan orang yang berada di sambungan telepon. Padahal tadi jelas Ale mengatakan jika Dimalah yang menghubungi.“Saya, pengguna jalan, Bu. Saya hanya ingin mengabari jika pemilik ponsel dan mobil ini mengalami kecelakaan di tol 97 km.” Orang di sambungan telepon memberitahu.Tubuh Ale seketika lemas. Jantungnya terasa dihantam batu besar dan terasa begitu sesak. Tangan Ale memegangi dadanya yang terasa sesak. Bersamaan tubuh Ale yang lemas dan terduduk di lantai, air matanya menetes dari mata indahnya.Alca langsung memenangi tubuh Ale yang terduduk di lantai. Dia bingung apa sebenarnya yang didengar Ale, sampai wanita itu lemas.“Ale, ada apa?” tanya Alca menatap Ale.“Dima, Kak, Dima ….” Ale menatap Alca dengan air mata yang terus menetes. Tak bisa keluar kalimat yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Hanya nama suaminya saja yang bisa disebut.“Dima, kenapa?” Alca benar-benar semakin khawatir. Apalagi Ale terus menangis.Alca yang tidak mendapati jawaban dari Ale pun memilih untuk meraih ponsel Ale. Mendapatkan jawaban dari orang yang berada di sambungan telepon.“Halo, ada apa ini?” Alca langsung bertanya pada orang yang berada di sambungan telepon.“Saya ingin memberitahukan Pak. Jika pemilik ponsel dan mobil ini mengalami kecelakaan di tol 97 km. Sekarang akan dibawa ke rumah sakit Pelita Hati. Silakan datang.” Orang di seberang sana memberitahu.Alca terpaku. Dadanya terasa sesak mendapati adik sepupunya kecelakaan. Tentu saja pikirannya melayang memikirkan apa yang terjadi pada adiknya itu.“Baiklah, saya akan ke sana.” Alca berusaha untuk tetap tenang. Karena dalam keadaan seperti ini tentu saja dia harus tetap tenang. Karena jika tidak, semua akan jadi berantakan.“Baik, kami tunggu.” Orang di seberang sana segera mematikan sambungan telepon. *** “Apa ada pasien atas nama Dima Janitra?” tanya Alca. “Ada sedang dalam penanganan dokter.” Perawat memberitahu. Alca dan Ale segera mencari di mana keberadaan Dima. Tubuh Ale seketika lemas. Ketika melihat kaki Dima yang terlihat. Tampak para dokter dan perawat masih mengecek keadaan. “Dima.” Langkah Ale terayun menghampiri. Alca memegangi bahu Ale. Memegangi tubuh adik iparnya yang mulai lemas itu. Dia ikut mengayunkan langkah menghampiri Dima. Air mata Ale tak tertahan lagi. Meluncur, membasahi wajahnya. Apalagi melihat suaminya yang sedang berada dalam keadaan tak berdaya di atas ranjang. “Sayang.” Ale menerobos di antara para perawat yang sedang menangani Dima. Dia menangis sekencang-kencangnya. Suaminya tak sadarkan diri. Wajahnya penuh luka. Darah di mana-mana. Benar-benar membuat Ale hancur. “Maaf, pasien tidak bisa diselamatkan.” Dokter mengatakan itu pada Ale dan Alca. Ale terpaku mendengar apa yang diucapkan dokter. Untuk sejenak dia mencoba mencerna apa yang diucapkan oleh dokter. Ale beralih pada suaminya yang terbujur kaku di atas ranjang pasien. “Tidak.” Ale menggeleng. Dia masih tidak percaya jika suaminya meninggalkannya. Sambil menggoyang-goyangkan tubuh Dima, dia mencoba memanggil suaminya. “Sayang, bangun. Sayang, aku mohon bangun. Yang dikatakan dokter salah. Sayang.” Ale terus menggoyang-goyangkan tubuh Dima. Dia terus menangis memanggil suaminya. Sayangnya tidak ada jawaban sama sekali dari Dima sama sekali. “Sayang.” Ale berteriak ketika panggilannya tak dijawab. Dia masih tidak bisa menerima kenyataan yang ada di hadapannya. Dadanya begitu sesak. Ketika harus kehilangan orang yang dicintainya. Alca mengembuskan napasnya. Jantungnya seolah baru saja dihantam benda tumpul. Rasanya sesak sekali ketika dokter menyatakan jika adik sepupunya itu meninggal dunia. Air matanya juga meluncur begitu saja membasahi wajahnya. Namun, selain dirinya ada Ale yang jauh lebih merasakan sakit atas kematian suaminya. Wanita yang berdiri di samping Dima itu begitu hancur mendapati suaminya sudah tiada. “Al.” Alca mencoba memegangi bahu Ale. Berusaha untuk menenangkan istri adiknya itu. “Kak, tolong bangunkan Dima. Pasti dia akan mendengarkan Kak Alca. Dia selalu dengar apa kata Kak Alca. Dia pasti bangun. Kak, tolong bangunkan dia.” Ale menatap Alca penuh harap. Dia meminta bantuan kakak iparnya itu untuk membangunkan sang suami. “Al, Dima sudah tidak akan bangun.” Alca berat sekali mengatakan itu, tetapi Ale harus menerima kenyataan. “Tidak, dia akan bertahan.” Ale beralih pada suaminya. “Sayang, aku akan minta dokter menyembuhkan kamu.” Ale seperti orang gila yang tidak terima kenyataan. Dia beralih pada dokter. “Dokter, lakukan apa pun. Tolong selamatkan suami saya. Lakukan operasi atau apa pun itu. Kami pasti akan bayar berapa pun.” Ale mencoba meminta bantuan dokter. “Al.” Alca mencoba memanggil Ale yang makin menggila karena meminta bantuan dokter. Padahal sudah dikatakan jika Dima sudah meninggal dunia. “Kak, tolong lakukan apa pun untuk Dima.” Ale menarik tangan Alca untuk meminta bantuan Alca. “Al. Sadarlah jika Dima sudah meninggal.” Alca memegangi bahu Ale untuk menyadarkan istri adik sepupunya itu. Ale sudah benar-benar gila terus berusaha untuk membangunkan Dima. Padahal jelas Dima tidak akan pernah bangun. Ale semakin kencang menangis. Dia memeluk tubuh kaku sang suami. Hancur sudah hatinya melihat sang suami pergi untuk selama-lamanya. ***Pemakaman dihadiri banyak sekali pelayat. Dima adalah pria baik. Orang-orang yang mengenalnya, tentu ingin berbelasungkawa atas berpulang putra dari pemilik Janitra Grup. Di antara para pelayat semua orang tertuju pada wanita yang baru saja dinikahi Dima selama sebulan itu. Mereka semua merasa kasihan sekali. Baru saja merengkuh kebahagiaan bersama, mereka harus terpisahkan oleh maut. Saat jenazah Dima masuk ke liang lahat, Ale menangis kencang. Kehilangan Dima seperti kehilangan separuh hidupnya. Benar-benar hancur sekali hidup Ale. Tidak pernah ada di bayangan Ale akan ditinggal secepat ini oleh suaminya. Orang yang selalu ada untuknya. Orang yang begitu dicintainya itu. “Jangan tinggalkan aku.” Saat jenazah mulai ditutupi tanah, tangis Ale semakin terisak. Dia semakin histeris. Alca berusaha untuk menenangkan Ale. Dia tahu adik iparnya sangat terpukul dengan kematian suaminya. *** Seminggu berlalu dengan cepatnya. Ale masih dalam kesedihan atas meninggalnya sang suami. Selama ini, dia masih mengurung diri di kamarnya. Masih belum terima dengan kematian sang suami.Hari ini, pengacara Dima menghubungi keluarga. Dia ingin membicarakan surat wasiat yang dibuat Dima sebelum meninggal. Keluarga begitu terkejut karena tidak menyangka jika Dima membuat surat wasiat. Di ruang keluarga, semua keluarga berkumpul. Termasuk dengan Ale. Mereka semua menunggu pengacara yang akan membacakan surat wasiat. “Jadi saya ke sini ingin membacakan surat wasiat yang sudah dibuat oleh Pak Dima Janitra sebelum meninggal. Surat wasiat ini dibuat tanggal dua puluh empat bulan lalu.” Pengacara memberitahu. Semua begitu terkejut. Artinya, surat wasiat itu dibuat baru saja. Seminggu setelah pernikahan lebih tepatnya. Entah bagaimana Dima bisa membuat surat wasiat, padahal sedang berbahagia bersama dengan istrinya. Pengacara mulai membacakan surat wasiat. “Dengan ini saya Dima Janitra membuat surat wasiat ini secara sadar dan tanpa paksaan. Beberapa hal yang akan saya sampaikan tentang warisan yang akan saya berikan pada orang-orang terdekat saya jika sampai suatu hari saya meninggal dunia. Pertama saya akan memberikan saham Janitra, rumah, mobil pada istri saya, Alegra Cecilia. Beberapa apartemen dan mobil saya, akan saya berikan pada ibu saya, Mauren Aelin. Jika suatu hari saya meninggal, saya ingin kakak sepupu saya Alcander Janitra menikahi istri saya agar dapat menjaganya. Begitulah surat wasiat saya buat, tanpa paksaan sama sekali.”Selamat datang di novel Myafa. Kunjung Igee Myafa16 untuk info update dan visual
Ale dan Alca begitu terkejut dengan surat wasiat Dima itu. Alca semakin tidak mengerti kenapa adik sepupunya itu begitu lancangnya membuat surat wasiat tanpa memberitahu apa pun padanya. Ini seolah keputusan sepihak saja. “Apa-apaan ini? Aku tidak terima dengan surat wasiat macam ini!” Suara Ale bergetar. Tangisnya pecah ketika mendapati permintaan suaminya itu. Ale menatap pengacara dengan tatapan kekesalan. Dia merasa warisan yang dibuat Dima benar-benar konyol sekali. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak bisa menerima surat wasiat itu. “Apa surat ini asli?” Papa David bertanya pada pengacara. Sebenarnya dia tak kalah terkejut karena anaknya menyiapkan surat wasiat sebelum meninggal.“Surat ini sudah sah secara hukum, Pak. Ini, beliau juga memberikan rekaman sebagai bukti jika memang surat ini buat secara sah.” Pengacara memberikan file rekaman yang dibuat oleh Dima. Alca langsung meraih file itu. Dia segera menyambungkan pada televisi yang berada di ruang keluarga. Saat
Ale menangis di kamar. Suaminya benar-benar menempatkan dirinya di posisi yang tidak nyaman sekali. Menikah dengan kakak sepupu sang suami jelas bukan pilihan untuk Ale. Jika dia boleh memilih, lebih baik dia sendiri seumur hidupnya, dibanding harus menikah lagi. Namun, justru sang suami membuat surat wasiat yang cukup aneh, dan kini surat wasiat sang suami menjadi masalah di dalam keluarga. “Kenapa kamu harus meninggalkan warisan sebanyak itu untukku? Kenapa juga kamu meminta aku menikah dengan Kak Alca.” Ale yang melihat foto suaminya merasa begitu terpukul sekali. Dia tidak mengerti kenapa suaminya harus memintanya hal konyol itu. Dada Ale terasa sesak ketika mendapati kenyataan seperti sekarang. Belum hilang rasa sedihnya kehilangan suaminya, justru bertambah dengan keinginan suaminya menikah dengan sepupu sang suami. Ale terus menangis. “Bolehkah aku menukar semuanya itu. Aku tidak butuh semua itu. Aku hanya mau kamu.” Ale memeluk foto Dima. Dia merasa suaminya begitu jahat
“Baiklah, pernikahan akan dilaksanakan empat bulan sepuluh hari dari hari meninggalnya Dima. Ini sudah sesuai dengan waktu di mana kapan wanita dapat menikah setelah suaminya meninggal.” Papa David menatap keluarga semua yang hadir.Setelah kemarin Ale menyetujui pernikahan dengan Alca, akhirnya semua keluarga segera bertemu. Mereka segera membahas rencana pernikahan yang terjadi antara Ale dan Alca. Pernikahan yang diinginkan oleh Dima. “Baiklah.” Alca setuju dengan semua itu. “Sepertinya tidak perlu ada pesta. Yang terpenting pernikahannya sah saja,” tambahnya. Semua keluarga mengangguk setuju. Lagi pula apa kata orang juga. Baru saja Dima meninggal, tetapi sudah mengadakan pernikahan. Walaupun sebenarnya itu adalah keinginan Dima juga. “Mama akan urus semuanya.” Mama Mauren merasa bertanggung jawab atas pernikahan menantunya. “Jadi sambil menunggu pernikahan ini terlaksana Alca yang akan menjaga Ale.” Mama Mauren menatap Alca. Memindahkan tanggung jawab pada Alca. Al
Ale menunggu alat tes kehamilan terlihat warnanya. Perasaannya campur aduk. Dia bingung karena apa yang harus dilakukannya. Saat dua garis tercetak di alat tes kehamilan, tangis Ale pecah. Dia tidak menyangka jika dirinya akan hamil. Ternyata buah cintanya bersama sang suami hadir juga di rahimnya. “Ale.” Suara panggilan disertai dengan ketukan pintu terdengar. Ale yang mendengar suara pintu segera menghapus air matanya. Dia keluar dari toilet untuk menemui Alca. “Bagaimana?” Pertanyaan pertama yang diberikan Alca pada Ale. “Positif.” Ale menunjukan alat tes kehamilan. Tubuh Alca membeku. Rasanya, dia masih tidak bisa membayangkan akan menikah dengan wanita yang sedang mengandung anak sepupunya itu. Ale dan Alca akhirnya kembali ke ruang perawatan. Di sana sudah ada dokter yang menunggu. Ale segera memberikan alat tes kehamilan pada dokter. Dokter melihat alat tes kehamilan yang menunjukan jika Ale hamil. Karena terdapat dua garis merah di alat tes kehamilan. “Alat tes k
“Huek … huek ….” Ale memuntahkan isi perutnya. Kehamilannya ini benar-benar payah sekali. Padahal sudah masuk empat bulan, tetapi mualnya belum juga hilang. Belum lagi terkadang kepalanya pusing. Setelah isi perutnya keluar barulah Ale merasa lega sekali. Akhirnya lega juga. Dengan segera Ale keluar dari toilet dan membersihkan bibirnya di wastafel di depan kaca toilet. Sebelum keluar dari toilet, Ale merapikan make up-nya terlebih dahulu.Ale keluar dari toilet. Namun, dia dikagetkan dengan kehadiran Alca di dekat toilet wanita. Pria itu berdiri bersandar dengan tembok sambil melipat tangannya di dada. Melihat Alca di sana seketika nyali Ale ciut. Dia justru takut Alca marah. Karena baru saja klien datang Ale tiba-tiba pergi begitu saja. Rasa mualnya, membuatnya tidak sempat berpamitan. “Kak Alca kenapa ke sini? Klien kita ditinggal?” Dengan wajah ragu, Ale bertanya. “Dia sudah pergi.” Alca menjawab ketus. “Kenapa pergi?” Ale menatap Alca dengan rasa penasaran. Alca melepa
Pagi ini Ale bekerja, sayangnya Alca tidak menjemputnya. Karena itu dia memutuskan untuk berangkat bekerja sendiri dengan menaiki taksi. Ale berpikir jika Alca sengaja tidak menjemputnya karena berpikir jika dirinya tidak akan ke kantor. Beruntung pagi ini Ale jauh lebih baik. Jadi bisa datang ke kantor dengan keadaan sehat. Saat sampai di kantor, dia segera ke ruangannya. Kali ini, semangatnya cukup besar untuk ke kantor. Mengingat seharian kemarin dia di rumah. Saat lift terbuka, Ale mengayunkan langkahnya ke meja kerjanya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Anisa, temannya yang berkerja di bagian HRD. “Nisa kenapa di sini?” Ale menatap temannya itu. Penasaran dengan keberadaan sang teman. “Aku dipindahkan ke sini, Al. Memang Pak Alca tidak bilang kamu?” Tubuh Ale membeku. Tidak ada pembicaraan sama sekali tentang hal ini padanya. Jadi tentu saja dia tidak tahu apa-apa. “Maksudnya kamu dipindah sementara ke sini?” tanya Ale memastikan. Nisa sedikit bingung deng
Pernikahan Ale dan Alca diadakan di rumah. Mereka hanya mengadakan acara tersebut dengan sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang. Acara akad nikah pun terlaksana dengan lancar. Tidak ada kendala apa pun. Ale dan Alca kini jadi pasangan suami istri. Keluarga turut senang ketika mereka akhirnya menikah. “Mama titip Ale dan anak Dima padamu, Al.” Mama Mauren memeluk keponakannya. Kini cucunya akan menjadi anak Ale. Tentu saja dia harus menitipkan cucunya pada keponakannya itu. “Alca akan menjaga mereka, Ma. Mama jangan khawatir.” Alca menenangkan Mama Mauren. Ale yang mendengar janji Alca itu hanya dapat mencibir dalam hati. Kadang Ale merasa Alca sering sekali berdusta. Bilang ingin menjaganya, tetapi nyatanya tidak pernah sekalipun Alca menjaganya. Yang ada justru perlakuan ketus yang didapatkan Ale. “Mama tetap jadi mama kamu. Jadi jangan sungkan untuk meminta tolong.” Mama Mauren berpindah pada Ale. Walaupun Ale sudah bukan menantunya karena ditinggal mat
Acara yang selesai menyisakan mama dan papa Alca dan Dima saja. Mereka masih mengobrol banyak hal. “Sebaiknya kamu tinggal di sini saja, Al. Lagi pula rumah ini kosong nanti jika Ale kamu bawa pulang ke rumah.” Mama Mauren memberitahu keponakannya itu. Ale juga berniat untuk tinggal di rumah Dima. Lebih mudah dirinya yang pindah, dibanding Ale yang pindah. “Al, kalau bisa jangan sampai kamu melakukan hubungan suami istri sebelum Ale melahirkan.” Papa Adriel memberitahu anaknya. Mengingat Ale mengandung anak Dima, haram bagi Alca menyentuh Ale. Dahi Alca berkerut dalam, diiringi dengan alis yang bertautan. Dia benar-benar tidak berpikir hal itu. “Aku tidak akan melakukannya, Pa,” jawab Ale malas. “Bagus kalau begitu.” Papa Adriel merasa jauh lebih tenang karena Alca tidak akan melakukan hal yang dilarang. “Kalau begitu kami pulang dulu.” Papa David berpamitan. “Besok akan ada orang yang akan merapikan dekorasi ini.” Dia memberitahu Alca sambil berpamitan. Alca pun mengangguk. B