POV AlyaHujan turun begitu deras, bulir-bulir sebesar biji jagung kini menghujam tubuh. Seharusnya tadi aku bisa lebih cepat sampai jika saja tidak ada pergantian ruangan tempat berdinas. Sedikit tak menyangka jika sekarang durasi bertemu dokter Adam akan semakin bertambah, dengan ditempatkannya aku di ruang ICU. Jika diibaratkan rumah, ICU adakah kamarnya.Fuih!Hari ini pun sudah beberapa kali aku bertemu dengannya. Sedikit jengkel jika Dokter Tania ada juga di ruangan itu. Sepertinya perempuan tersebut menyengaja menampakkan kedekatannya dengan dokter Adam. Bahkan tadi aku melihat dengan mata kepala sendiri, Dokter Tania menyelipkan tangan pada lengan dokter Adam. Apa lelaki itu nggak sadar jika sedang didekati? Oh, pasti sadar donk, namanya sama-sama suka.Ck! Biarlah! Apa peduliku.Sudah sepuluh menit lamanya menerobos hujan, mata sudah terasa perih. Bulir-bulir hujan kian membesar, semakin menyiksa ketika menghantam tubuh. Tak seperti biasa, jarak Jati-Demak, terasa sangat pan
POV RaditSatu jam lebih kami berada dalam satu mobil tanpa saling menyapa, rasanya lebih menyakitkan dari menerima kenyataan akan dipenjara selama puluhan tahun. Jika bukan karena sudah mempersiapkan segalanya, aku tidak mungkin memilih puncak Selam Semliro sebagai tempat yang akan kukunjungi bersama Alya. Sebab diamnya wanita itu seperti panah yang menembus kuat melalui jantung."Kenapa harus sejauh ini sih Mas jika cuma mau bicara? Kasihan Akbar, dia sedang membutuhkan saya?"Perkataan pertama setelah sejaman membungkam mulut. Kutanggapi dengan senyuman, sambil mengeluarkan ponsel. Nomor handphone Bik Ina menjadi tujuan. Semua sudah kusiapkan, termasuk Akbar yang sudah berjanji padaku untuk membuat sedikit drama.[Assalamualaikum Sayang.][Waalaikum salam. Ayah ...]Mendengar suara Akbar yang sengaja aku loadspeaker 'kan, Alya bergidik.[Ayah dimana?]Kuarahkan ponsel yang sedang tersambung video call pada Alya.[Mama ...]Panggilan Akbar berhasil membuat Alya tersenyum, tampak ca
Sampai di ujung koridor, aku berhenti berlari. Menarik napas dalam-dalam sembari menyapu mata. Seharusnya aku tidak menuruti kemauan Mas Radit, sebab tahu akan begini sakit jika kubiarkan diri berbicara empat mata dengannya. Tapi diri ini tak kuasa untuk terus menolak ajakan itu.Kuangkat wajah sejenak, kelebat ucapan Mas Radit kembali membuat dada ini terasa sesak.'Tidak bisakah kita kembali, Dek. Apa sudah tidak ada cinta di hatimu untuk Mas?'Cinta? Tentu ada Mas. Bahkan tidak pernah berkurang sedikit pun. Tapi untuk kembali bersama, saya takut Mas. Saya takut tidak bisa seperti dulu dalam mengabdikan diri. Hiks.Air mata kembali luruh, kuusap bola mata dengan kasar. Tak ingin keadaanku diketahui oleh satu orang pun di rumah sakit ini. Sekuat tenaga kembali aku mengangkat langkah. Namun terhenti oleh sapaan dari seseorang yang suaranya sudah sangat familiar di telinga.Dokter Adam.Kucoba membalikkan tubuh."Alya, tunggu."Dia kembali menjeritkan namaku di kejauhan. Saat sudah
Dokter Adam tampak cemas, jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja. "Tinggal sebentar ya, Dok," tegur Mbak Mifta pada dokter itu. Lalu ia berjalan di depan, sedang aku di belakangnya. Saat tangan rekan kerjaku itu hendak membuka tirai pembatas antar bed, seketika wajah Mas Radit tampak di sebaliknya."Lho Dok, sudah sehatkah?"Mas Radit tersenyum tipis, matanya menatapku."Sudah, tadi cuma kelelahan aja.""Tapi ini mau kemana, Dok?""Mau langsung pulang."Deg!Entah kenapa aku merasa begitu mengkhawatirkan Mas Radit. Inginku melarangnya pulang, beristirahat setidaknya beberapa jam lagi. Tapi semua itu tertahan di tenggorokan."Apa nggak istrihat sebentar lagi, dok. Tekanan darah dokter rendah.""Tidak apa-apa, nanti saya istirahat begitu sampai di Jakarta," ucapnya tegas. Mas Radit memang keras kepala. Dibilangin untuk kebaikan malah membantah. Jika aku masih jadi istrinya, sudah kuceramahi ia panjang lebar.Tapi, haruskah aku memintanya untuk tidak pulang?Kelebat pikiran bercampur ad
"Hihihi ...."Ibunda Dokter Adam tertawa lebar. Sedang di sisinya, aku duduk sembari membelalak. "Jangan serius gitu, Ibu cuma bercanda."Fuih. Kuembuskan napas panjang. Wanita di hadapanku menghentikan tawanya."Dokter Adam anak Ibu satu-satunya?"Entah kenapa aku malah tertarik mengajukan pertanyaan."Bukan, Adam itu bungsu. Mereka semua bertiga, satu sekarang sudah di pulau Sumatera, tepatnya di Aceh. Bekerja di Pabrik Minyak Bumi dan Gas Alam. Yang satu lagi ada di Kota Bandung. Buka Restaurant Nasi Padang, soalnya istrinya itu orang Padang. Dari ketiga anak, Saya lebih nyaman tinggal sama Adam, sudah semenjak dahulu bahkan saat mendiang istrinya masih hidup.""Kalau boleh Ibu tahu, kamu bercerai dari suamimu karena apa?"Sejenak aku menatapnya tanpa kata. Berat jika harus kuceritakan pada orang lain tentang kisah hidupku. Tapi entah kenapa, melihat wanita ini, seperti menatap almarhumah ibu kandungku sendiri."Saya difitnah, Bu."Wanita itu tampak terkejut."Difitnah kenapa?"Ha
"Terima kasih banyak Mbak Alya sudah mau mengantar Bibik ke terminal. In Syaa Allah, Bik Ina tidak akan lama di kampung. Jika sudah selesai urusan, saya akan langsung balik.""Iya, Bik. Tidak apa-apa. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk orang di rumah."Kuberikan beberapa makanan yang tadi sempat terbeli di setengah perjalanan menuju terminal. Wanita paruh baya itu meraih sembari menyalami tanganku."Mbak, sebelum Bibik pergi, ada satu hal yang mau Bibik sampaikan sama sampeyan."Kedua alisku terangkat. Sepertinya Bik Ina sangat serius."Tentang apa, Bik?"Dia menelan saliva, tampak ragu untuk mengutarakan."Katakan saja, Bik.""Surat ini saya temukan saat membersihkan halaman belakang, Mbak. Maaf, saya sudah lancang membuka dan membaca isinya."Aku terhenyak menatap apa yang ada di tangan Bik Ina. Itukan surat dari alhamrhumah Mama mertua yang belum sempat kubaca. Jadi Bik Ina yang sudah menemukannya."Maaf saya lancang Mbak, tapi saya berharap Mbak Alya bisa kembali lagi bersama Mas Rad
Kami menuruni bus lalu menaiki taksi agar sampai di rumah sakit. Di setengah perjalanan, ponselku tiba-tiba berdering. Kurogoh benda itu lalu lekas mencari tahu siapa yang kini sedang menelpon.Dokter Adam.Kuluangkah waktu untuk mengangkat panggilan tersebut.[Assalamualaikum Dok.][Waalaikum salam. Maaf saya tidak menemukanmu di ruangan, kamu sakit?]Kuhela napas panjang. Dokter Adam membuat perasaanku kembali bergejolak.[Saya ijin ke Jakarta, Dok.][Ke Jakarta?]Sejenak bibir ini terasa kelu.[Saya ke Jakarta menjenguk Ayahnya Akbar yang di rawat di rumah sakit, Dokter.]Dia terdiam.[Kamu kembali padanya?][Belum, Dok.][Hem ... Harusnya saya bisa ikut mengantar?][Tidak usah repot-repot, Dok. Saya bisa pergi berdua dengan Akbar.][Boleh saya menyusul?][Untuk apa, Dok?][Hanya untuk memastikan kalian tidak kembali pulang dengan menaiki bus.][Tidak usah, Dok. Kami tidak apa-apa naik bus.]Dia tampak menghela napas.[Yasudah, berhati-hatilah.][Iya.]Kututup telpon dari dokter Ad
Hati sudah tidak tenang semenjak tahu dokter onkologi yang tadi pagi kutelpon ternyata bukan sebatas temannya Mas Radit, tapi juga dokter yang sedang menangani mantan suamiku itu. Seserius itukah penyakit yang dialami Mas Radit? Ya Allah...Tak sanggup lagi menahan diri, akhirnya kuberanikan untuk bertanya."Mas Radit sebenarnya sakit apa?"Dokter berkaca mata di hadapanku terdiam sejenak. Ia hanya tersenyum samar, lalu kembali menoleh pada Mas Radit. "Nanti juga Adek tahu," jawab Mas Radit tenang.Dengan membiarkan pertanyaanku menggantung, Mas Radit justru kembali berbicara pada Dokter Andre."Khusus untuk hari ini, saya ijin pulang, Dre."Dokter Andre tampak terkejut."Pulang?""Saya ingin membawa Akbar keliling Jakarta. Hanya sehari, besok saya janji tidak akan membatalkan lagi janji kita.""Yeeeyy!"Sorakan kegembiraan Akbar mengundang pandangan dokter Adam. Ia ikut tertawa, meski jelas terlihat kecewa."Semua menjadi tanggung jawabmu, Dit."Mas Radit mengangguk."Oke! Hanya unt