Anita duduk di tepi ranjangnya setelah mandi. Meski wajahnya masih kemerahan akibat perawatan di klinik kecantikan, tapi Anita tidak begitu perduli. Dia melihat ke tempat tidur. Cia sedang tidur dengan pulas. Rasanya ingin kembali seperti Cia yang belum memikirkan urusan kehidupan ini. Namun, ada juga rasa iba melihat sang anak yang akan tumbuh tanpa ayah jika dia benar-benar berpisah dengan Bagas. Anita ingat akan perkataan Kendra tadi. Dia kemudian mengambil tas dan merogoh dompetnya untuk menemukan sebuah kartu yang diberikan oleh Kendra. "Kendra Bakti Wirabhuana. Kenapa dia langsung menawariku menikah? Aku juga nggak ngerti dia itu normal apa sinting? Kenapa aku langsung mau janji untuk nikah sama dia setelah cerai? Jangan-jangan aku yang sinting," gumam Anita, menempelkan telapak tangan ke dahinya. Anita berdecak, menggelengkan kepala, tapi tangannya tetap mengetik nomor Kendra di layar ponsel. Dari aplikasi hijau, tampak foto profil Kendra yang terlihat jelas sekarang. "Gant
Beberapa hari kemudian, Anita ditemani oleh Rahma mendatangi kantor urusan agama. Anita mendaftarkan gugatan cerai. "Kamu sudah yakin, kan?" tanya Rahma. "Iya, Bu. Sebenarnya sayang sama pernikahan ini, tapi ... ah, sudahlah. Seorang pria yang memang mencintai istrinya tidak akan melukai istrinya sedalam ini," pupus Anita. "Nita, memang benar. Sejak awal ibu nggak pernah suka kamu menikah dengan Bagas. Entah kenapa insting ibu mengatakan demikian, padahal belum juga kenal sama Bagas waktu itu. Tapi, kamu keburu hamil duluan, jadi–" Rahma mendesah perlahan, berhenti untuk melanjutkan kalimatnya. Miris sekali dengan kejadian dua tahun yang lalu ketika Anita menunduk mengakui segala yang terjadi di hadapannya. Kala itu, Rahma menjadi seorang ibu yang gagal mendidik anaknya. "Maafin Nita, Bu," sesal Anita, menggenggam tangan ibunya. Dia merasakan kekecewaan yang mendalam dari wajah sang ibu. "Iya, ibu selalu memaafkan kamu, Nak. Tapi, ibu nggak terima kamu diperlakukan seperti ini.
"Mbak Anita, kalau ada apa-apa bisa tanya saya," ujar Khansa, orang yang dipercaya sebagai tangan kanan Rahma. "Baik, makasih Mbak Khansa." Anita merasa nyaman berada di ruko yang disewa oleh ibunya. Orang-orang yang bekerja di sana juga ramah padanya. Selain itu, mereka terampil sekali dalam menyelesaikan pesanan jahitan. Rahma pandai memilih tenaga kerja. Anita kagum pada ibunya. Dia harus banyak belajar dari Rahma. Ponsel Anita berbunyi di saat melihat pekerjaan para pekerja. Dia menarik benda pipih itu dari tasnya, lalu membaca pesan yang membuatnya ternganga. "Astaga," desis Anita, menutup mulutnya. "Kenapa, Nit?" tanya Rahma, menangkap keganjilan sikap anaknya. "Eh, nggak apa-apa kok, Bu. Aku permisi sebentar ya, ke belakang?" pamit Anita. Meski merasa aneh, tapi Rahma membiarkan Anita berpindah ke belakang. Di belakang ada sebuah tempat kosong untuk ventilasi udara. Anita tidak sabar menghubungi Kendra. Dia kaget karena Kendra mengundangnya ke rumah bulan depan. Padahal
Anita sangat canggung karena sejak pulang dari ruko, Rahma belum berbincang dengannya. Malah mereka tampak seperti diam-diaman. Rahma menggendong Cia seperlunya, lalu berangkat ke ruko dan tidak juga mengajak Anita. Anita menghela napas. Dia sekarang berdua dengan Cia di rumah, tapi rasanya masih tidak nyaman jika terjadi perang dingin antara dirinya dan ibunya. Kedua bola mata Anita menyapu sekeliling. Rumah itu, adalah rumah ternyaman yang dia tuju. Namun, jika didiamkan oleh ibunya, dia pun jadi tidak nyaman. "Cia, nenek akan mendiamkan mama seperti ini terus, ya? Sampai kapan ya, Nak? Mama bingung harus apa. Kenapa mama menyanggupi menikah lagi? Bodoh sekali," sungutnya sendiri, sedangkan Cia hanya merespon gumaman Anita dengan celotehan ala bayi yang belum jelas. Bayi kecil itu mengira bahwa ibunya sedang mengajaknya bicara. Anita cukup terhibur dengan celotehan Cia. Setiap hari selalu ada saja kemajuan Cia yang membuatnya takjub sebagai ibu muda untuk pertama kalinya. Rasa ba
Bagas menatap sekitar. Di dalam ruangan, terasa ada sesuatu yang berbeda. Bagas menyentuhkan telunjuknya ke meja kaca. Debunya menempel ke jarinya. Bagas mengambil tissue, lalu membersihkan telunjuknya. Saat melempar tissue kotor ke dalam tong sampah, tissue kotor itu tidak bisa masuk karena tong sampah sudah sangat penuh. Bagas menghela napas. Dia kemudian terpaksa bangkit dan memungut tissue itu untuk dia letakkan di tong sampah yang lebih besar di belakang. Namun, ternyata tempat sampah yang lebih besar pun, sudah penuh dan sudah dikerubuti dengan hewan kecil-kecil berterbangan mengitari kulit buah mangga. Bagas menggelengkan kepala. Akhirnya, dia harus berdiri mengambil kresek besar untuk menempatkan sampah-sampah yang menumpuk itu. Setelah membuang sampah-sampah di depan, dia masuk hendak mencuci tangan di wastafel, tapi saat menoleh ke kitchen sink, dia melihat tumpukan piring kotor yang sudah menjamur di dalamnya. Bagas menghela napas. Selain melihat itu, dia pun melihat tump
"Anita, kenapa kamu nggak bikin minum buat Kendra?" Kecemasan Anita serasa mengendor mendengar pertanyaan Rahma. Anita memasang telinga dengan baik-baik. Siapa tahu, dia salah pendengaran. "Ya, Bu?" tanya Anita lagi, melihat Kendra sudah menyusul Rahma mendekat ke arahnya yang berdiri di depan pintu. "Bikinin teh buat Kendra, calon suami kamu," titah Rahma dengan jelas. Anita sekarang yakin dengan perintah ibunya. Apa yang dia bayangkan akan terjadi, sekarang musnah dari kepalanya. Amukan dan amarah ibunya tidak terjadi. "O-oh, baik, Bu." Anita hanya melirik ke arah Kendra yang memasang wajah biasa, mengikutinya untuk masuk. Anita mengernyitkan dahi, bertanya-tanya dalam hati. "Apa yang dia katakan sama ibu?" desisnya sambil berjalan ke dapur guna membuatkan teh hangat untuk Kendra dan Rahma. Dia menoleh sebentar ke ruang tamu dan melihat Kendra duduk bersama dengan Rahma. Sesuatu yang sangat jarang dia lihat ketika bersuamikan Bagas. "Ya Allah, apa mataku masih normal?" guma
Tiba-tiba Kendra mendekat. Tangan Anita otomatis memukul bahu Kendra yang mendekat padanya saat mereka telah duduk di dalam mobil. Kendra menatap heran pada Anita, tapi kemudian menyadari kesalahannya. Dia condong ke samping tanpa memberitahu Anita. "Aku cuma mau benerin seatbelt. Kamu nggak perlu khawatir," ujar Kendra setelah terdengar bunyi klik pada pengait. Wajah Anita memerah seketika. Sempat dia pikir Kendra akan macam-macam, belum juga sampai ke rumahnya. Itu membuatnya sangat malu, GR sekali. Anita hanya diam membuang pandangan ke samping dan merutuki dirinya sendiri betapa bodoh telah berburuk sangka. "Tapi, pukulan kamu lumayan juga, sakit ini lengan," ucap Kendra, membuat Anita meringis. Tentu saja pukulan dadakan tidak dia kira, malah mengeluarkan kekuatan penuh meski tidak seberapa untuk Kendra. "Maaf," sahut Anita lirih, masih dengan memalingkan muka, malu sekali. Kendra menggelengkan kepala tersenyum, lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melaju di kecepatan perla
Sementara itu, Bagas selesai memberesi rumah. Dia menghempaskan tubuh di sofa. Badannya penuh dengan keringat. Rumah seukuran tiga ratus meter itu, dia bersihkan sendiri sejak pagi tadi dan baru selesai sore hari. "Udah selesai?" tanya Tantri tanpa menatap ke arah Bagas, hanya melirik anak lelakinya yang sekarang sedang kipas-kipas duduk di sofa. Bagas melengos. Wajahnya tampak letih sekali. "Itulah yang dilakukan Anita setiap hari, Gas. Dan kamu? Bantuin secuil aja nggak, kan? Setiap hari yang kamu tau cuma baju udah bersih, udah dicuci dan disetrika tinggal pake, makanan juga tinggal makan, kursi rumah diduduki pun nggak risih karena debu udah dibersihin sama Anita. Malah, masih kamu tambah disuruh-suruh. Mana kamu nggak bantuin momong Cia, lagi?" celoteh Tantri. Bagas berdecak kesal dengan apa yang dikatakan oleh ibunya itu. "Ya itu kewajibannya di rumah lah, Bu! Lagian, dia juga nggak kerja, nggak menghasilkan. Jadi ya harus beberes rumah. Kerjaan ibu rumah tangga kan gitu?