“Tidak!”
Dengan lantang Mas Raka menolak menceraikannya, hal itu membuat hatiku semakin sakit.
“Baiklah Mas, tapi jangan harap rumah tangga kini bisa tenang,” sahut ku lirih.
“Semua tergantung kamu, jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja,” ujarnya.
Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami?
Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku.
“Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami.
Walaupun sebenarnya aku tidak mengantuk, aku tetap memejamkan mata tanpa ingin membukanya.
Pagi hari telah datang, baru saja aku membuka mata ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa?
Netraku menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir, dia membuat aku terperangkap di antara benci dan cinta.
Aku menghapus air mataku lalu bangkit menuju kamar mandi, usai mandi aku keluar kamar.
Di meja makan aku duduk sambil makan roti, sehari kemarin aku tidak mengisi perutku sama sekali sehingga pagi ini aku merasa lapar.
Saat asik makan, terdengar bel berbunyi. “Siapa yang datang?” gumamku lalu berjalan membuka pintu.
“Mama, Papa!” Sungguh aku terkejut dengan kedatangan mereka.
Mama Mas Raka langsung memelukku sementara papanya mengusap rambutku dengan lembut.
“Raka mana? Mama dan Papa baru mendengar kabar jika dia habis kecelakaan.” Terlihat kekhawatiran di wajah Mama Mas Raka.
“Mas Raka masih tidur Ma,” jawabku dengan tersenyum.
Lalu ku ajak mereka masuk dan mengobrol di ruang tamu.
Wanita paruh baya itu meletakkan rantang yang dibawa di atas meja, “ini Mama buatkan bubur untuk Raka, dan beberapa makanan yang lain.”
“Terima kasih Ma, Mama repot sekali,” ujarku dengan menatap Mama mertuaku.
Wanita itu menatapku lekat kemudian mendekat, “Amel kamu pucat sekali.” Rasa khawatir yang semula untuk Mas Raka kini beralih untukku.
“Tidak apa-apa Ma, mungkin kelelahan.” Aku berbohong karena tidak mungkin aku bilang yang sebenarnya.
Mama Mas Raka kembali memelukku, “Pasti mengurus Raka sendiri membuat kamu begini.”
Mertuaku sungguh menyayangiku tapi entah mengapa anaknya begitu tega padaku.
Aku menggeleng, kuminta wanita paruh baya itu agar tidak khawatir padaku dan mengatakan mengurus suami adalah kewajiban seorang istri.
Karena ingin mengetahui keadaan Mas Raka, mama dan Papa meminta aku untuk membawa mereka ke kamar.
Anggukan kecil kutunjukkan, setibanya di kamar ternyata Mas Raka sudah bangun, dia terlihat tengah melakukan Video call.
Waktu melihat kedatangan kami dia buru-buru meletakkan ponselnya.
“Mama! Papa!” Dia begitu terkejut.
Mama dan Papanya segera mendekat, mereka bertanya keadaannya namun setelahnya Mama terlihat marah karena Mas Raka tidak hati-hati dalam berkendara.
“Untung lukanya tidak parah.” Kata Mama. “Lihatlah kasian istri kamu.” Sambung Papa.
Seolah tak terjadi apa-apa aku turut berbincang, tak hanya itu aku juga mengambilkan Mas Raka bubur yang dibawa mamanya tadi.
“Tolong suapin sekalian Mel, tanganku masih sakit.” Pintanya.
Aku menatapnya dengan merapatkan gigi lalu menghela nafas, “Baik Mas.” Karena ada mertuaku saja aku mau begini.
Melihat kami, Mama dan Papa bahagia. Mereka senang karena rumah tangga kami sangat baik bahkan Mas Raka nampak manja padaku.
Sungguh aku tak habis pikir dengan Mas Raka, bagaimana bisa mengkhianati kepercayaan kedua orang tuanya.
Setelah buburnya habis, dia memintaku untuk mengambil obat.
Dari kamar kami pindah ke ruang keluarga, disana kami kembali berbincang hingga sudah waktunya mertuaku pulang.
Semua kembali seperti semula, sikap baik tadi hanya pura-pura semata.
“Amel bantu aku kembali ke kamar.” pintanya.
Kutatap dia dengan tatapan kesal, masih memerlukan aku untuk merawatnya tapi mengapa tega menyakiti aku.
Meski kesal dan terpaksa, aku tak memiliki pilihan lain selain membantunya naik ke atas.
“Istirahatlah Mas.” Kataku.
Baru sebentar saja Mas Raka sudah tertidur mungkin pengaruh obat yang dia minum tadi.
Saat beres-beres terdengar ponsel Mas Raka berbunyi, awalnya aku mengabaikan panggilan yang masuk itu namun lama-lama aku kesal pasalnya ponsel itu terus saja berbunyi.
“Siapa sih.” Aku berjalan menuju nakas tempat ponsel itu berada.
Melihat nama yang muncul di layar, hatiku meremang, rasa sakit yang teralihkan karena kedatangan orang tua Mas Raka kini mencuat kembali.
Istriku memanggil, sungguh dia menganggap Renata adalah istrinya sedangkan aku, mungkin aku hanya istri bayangan, yang kehadiranku tak berarti untuknya.
Tanganku tergerak untuk menolak panggilan dari Renata, namun bukannya menyudahi panggilannya wanita ini justru menelpon Mas Raka lagi dan lagi.
“Apa sih maunya!”
Tak ingin terganggu dengan panggilan Renata aku pun meletakkan ponsel Mas Raka di dalam laci.
Senyuman tersungging di bibir ku, biarlah wanita itu menelpon hingga lelah.
Setelah dua jam tidur, Mas Raka bangun. Terlihat dia kebingungan mencari sesuatu.
“Amel kamu tahu dimana ponselku?” Tanyanya.
“Di dalam laci.” Jawabku ketus.
Buru-buru dia membuka laci lalu mengambil ponselnya. Kulihat raut wajahnya berubah, seperti ada kekhawatiran.
“Amel kamu menolak panggilan dari Renata?” Dia menatapku dengan tatapan tajamnya.
Melihat sikapnya hatiku sangat sakit tapi aku tak mau rapuh di hadapannya.
“Tidak, aku hanya menolak panggilan dari istriku.” Aku berdecih, puas melihat reaksinya yang mati kutu. “Renata kamu namai istriku sementara aku cukup nama saja.” Lagi-lagi aku menyindir Mas Raka.
Dari tempatnya dia menatapku tajam, "Kenapa sih kamu suka sekali mempermasalahkan hal-hal kecil! hanya nama kontak saja kenapa jadi masalah!"
Suaranya masih tinggi meski tatapannya sudah tak mengarah padaku. "Baiklah, kalau begitu samakan nama kontak kami!"
Waktu terus berlalu, tak terasa Arkan sudah berumur tujuh bulan, mama yang masih memegang teguh adatnya hendak melakukan syukuran yang disebut "Mudun lemah" atau turun tanah. Di usia tujuh bulan bayi sudah diperbolehkan untuk diturunkan ke bawah mengingat mereka harus belajar berjalan. "Amel persiapannya sudah selesai apa belum?" tanya Mama yang memantau aku di dapur. "Sudah ma, anak ayam yang mama pesan sudah dikirim." Kataku sambil tersenyum. Memang dalam syukuran kali ini kami menggunakan anak ayam, entahlah kenapa ada adat seperti itu. Ayah dan ibuku juga datang untuk membantu, aku yang lelah memutuskan ke kamar sejenak untuk istirahat. Beberapa saat kemudian, Mas Raka menyusulku. Dia yang juga kelelahan turut berbaring di sampingku. "Adat terkadang itu menyusahkan, tinggal syukuran saja kenapa ribet banget yang inilah itulah, lagian kenapa ada acara turun tanah, Arkan tinggal ditaruh bawah kan udah beres." Mas Raka menggerutu sendiri. Mendengar gerutuannya
Mas Raka menatapku tak percaya, "Kamu setuju Sayang?" tanyanya sambil memegang pundakku. "Iya Mas, kuakui aku tak sanggup mengurus Arkan sendirian." Mas Raka langsung memelukku, dia mengecup keningku berkali-kali. Setelah berbincang aku dan Mas Raka memutuskan pulang, sesampainya di rumah Mama menyambutku. Sama seperti Mas Raka mama memelukku dengan erat. Sebenarnya aku heran pada mereka, takut sekali jika aku pergi. "Ma tolong carikan yayasan terbaik, kami akan menggunakan jasa baby sitter." Ujar Mas Raka. Mama sangat senang mendengar kabar ini lalu beliau menghubungi Yayasan yang sudah diakui para majikan. Beberapa foto calon baby sitter mama tunjukkan padaku, dan pilihanku jatuh pada baby sitter yang sudah berumur. Aku sengaja mencari yang tidak manarik karena takut Mas Raka akan tergodo seperti di film-film. Keputusan kami buat, dan besok orangnya akan dikirim ke rumah. Malam itu, Mas Raka lah yang menidurkan Arkan, dia juga menemani aku begadang meng
"Iya Bu, Amel akan memikirkannya lagi." Kataku sambil menatap ibuku. Arkan menangis, ibu memintaku untuk menyusuinya langsung karena asi yang aku pompa kemarin sudah habis. Setelah aku menyusui Arkan, ibu meminta bayiku kembali. Ibuku memang ibu terbaik di dunia. Beliau tidak ingin aku lelah. "Enak ya digendong nenek." Aku mengusap pipi Arkan. Dari depan terdengar suara mobil berhenti, bibirku menyunggingkan senyuman saat tahu yang berhenti adalah mobil Mas Raka. Mas Raka berjalan mendekat dan bersamaan Arkan muntah sehingga aku berlari masuk ke dalam. Dari belakang aku mendengar Mas Raka memanggilku. "Sayang." Mas Raka mengekori aku yang ingin mengambil tisu. Dia langsung memelukku. "Maafkan aku." Dia berbisik. Aku melepas pelukannya bukan tidak senang dengan kedatangannya tapi aku harus mengusap muntah Arkan. Ibu segera meminta tisu dariku, lalu beliau lah yang mengusap bibir Arkan. Setelah bersih dari muntahan, aku menatap suamiku yang sudah memasan
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn