Share

2. Nasihat Elang

Bab 2 Nasihat Elang

"Mama jangan gitulah, waktu Mama lihat tadi mungkin saja istriku lagi belanja ke pasar, Ma," sahut Elang mencoba berkilah.

"Belanja apaan? Bukannya selama ini si Miya belanja di warung? Atau pun belanja di tukang sayur? Sejak kapan dia belanja di pasar?" Suara Olga kembali terdengar mencemooh. "Kamu jangan lembek, Lang. Kamu itu terlalu memanjakan dia, makanya dia itu membuat ulah di belakang kamu! Jadi suami dan laki-laki kok, ndak ada wibawanya sedikitpun?!"

Elang memijat pelipisnya yang terasa pening, segala seruan yang Olga keluarkan semakin membuat telinganya berdengung. Miya bilang dia hanya main ke tempat tetangga, lalu Olga mengatakan kalau Miya keluyuran di pasar. Terus yang benar, yang mana?

"Sudahlah, Ma. Nanti aku akan memastikan hal ini lagi sama Miya, sekarang aku mau istirahat dulu," kata Elang pada akhirnya.

"Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu wajib mencari tahu mengenai tingkah laku istrimu di luaran sana. Jangan sampai membuat malu keluarga kita!" ujar Olga dengan penuh penekanan.

Tuttt! Tuttt! Tuttt!

Bahkan Elang belum sempat menjawab, tapi Olga sudah mematikan panggilan mereka secara sepihak. Lelaki tampan itu kembali memijat pelipisnya, pusingnya semakin terasa dan kian membuat kepalanya berdenyut.

"Mas, ini tehnya."

Miya datang sambil membawa secangkir teh dengan irisan lemon di dalamnya, wangi dan juga sukses membuat kepala Elang kembali terasa enteng setelah menyesapnya. Setelah meletakkan cangkir teh yang dia pegang ke atas meja, Elang menarik tangan Miya untuk duduk di sampingnya.

"Dek, Mas mau ngomong serius sama kamu!" Elang berujar tegas.

"Ngo—ngomong apa, Mas?" tanya Miya gugup.

"Masalah kamu yang kelu—"

"Bukannya aku udah bilang nggak akan mengulanginya, Mas?" potong Miya cepat, matanya mengerjap beberapa kali. Dia terlihat kaget, karena Elang kembali membahas tingkahnya yang sering keluyuran dan Elang bisa melihat kegugupan itu dengan sangat jelas.

"A—aku nggak akan keluyuran lagi, Mas," ujar Miya lagi, seolah meyakinkan Elang untuk mempercayai kata-katanya.

Elang menghembuskan nafas berat, dia mencintai Miya dengan amat sangat. Dia mau Miya nyaman hidup di rumah ini, bisa melakukan apa yang dia mau, makanya Elang melarang dia untuk bekerja dan mencukupi segala kebutuhannya dan juga kebutuhan mertuanya di kampung sana.

Sebelum menikah dengannya, Miya bekerja di sebuah restoran. Posisinya juga sudah sangat bagus, seorang manajer dengan gaji yang lumayan setiap bulannya. Tetapi setelah menikah, Miya dia meminta untuk tinggal di rumah saja. Menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya, bahkan Elang juga tidak segan menggantikan Miya untuk menghidupi mertuanya di kampung sana.

Elang jadi berpikir, apa Miya keluyuran karena bosan di rumah? Secara segala kebutuhannya sudah Elang penuhi, tapi dia tidak bisa selalu bersama Miya. Pasti istrinya ini merasa bosan, Elang yakin itu.

"Kamu bosan di rumah?" tanya Elang tiba-tiba.

Miya diam, dia menunduk demi menghindari tatapan tajam Elang.

"Kalau bosan, kamu bisa ngomong sama Mas, Dek. Kamu mau apa? Hm? Biar nggak bosan di sini sendirian," kata Elang lembut. "Ponsel ada, televisi ada, buku kamu juga banyak, terus kamu mau apa? Hm? Bilang sama Mas, biar Mas penuhi apa yang kamu mau," lanjut Elang lagi.

"A—aku nggak butuh apa-apa, Mas," kata Miya pada akhirnya.

Elang mengangguk, dia tidak mau suasana yang sudah dia bangun ini hancur begitu saja. Miya sudah mau diajak bicara, kalau kemarin-kemarin mana mau istrinya ini bicara. Setiap ditanya, selalu menangis.

"Pokoknya kalau kamu butuh apapun, ngomong sama Mas. Kalau kamu butuh uang, ngomong juga. Mas kan nggak tahu, apa uang yang Mas kasih buat kamu itu cukup atau nggak. Kamu sih, nggak pernah mau ngomong sama Mas." Elang merajuk, berusaha membuat Miya kembali berbicara.

"Cu—cukup kok, Mas. Terimakasih banyak," kata Miya sambil menatap Elang dengan senyum kecil yang tersungging di bibirnya.

Elang balas tersenyum, setiap hari dia pulang sekitar jam sembilan sampai jam sepuluh malam. Dia sengaja mengambil lembur agar gajinya semakin banyak, sebab Elang tahu kalau beban yang ditanggungnya banyak.

Selain menanggung beban keluarganya, dia juga harus menanggung beban Miya dan juga keluarga istrinya itu. Kasarnya, Elang bekerja untuk memberi makan tiga periuk.

"Kalau kurang, kamu bisa ngomong sama Mas. Mas kerja buat kamu, buat keluarga kita. Mas nggak mau kamu kekurangan, dan kita juga sepertinya harus segera program hamil, Dek. Biar kamu ada temennya di rumah, dan nggak sering keluar rumah lagi," kata Elang dengan nada tegas.

"Ta—tapi, program hamil itu mahal, Mas," kata Miya sambil kembali menunduk.

"Memangnya kenapa? Demi punya keturunan, banyak yang bahkan rela menguras harta benda mereka, Dek. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, nanti Mas yang akan mengurusnya. Kamu cukup nurut sama Mas, dan jangan keluar rumah tanpa izin Mas lagi. Istirahat yang banyak, dan santai. Tugas kamu cuma itu," kata Elang sambil menjawil dagu Miya, dan wanita itu langsung mengangguk setelahnya.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Elang, dia melepaskan pelukannya pada tubuh Miya dan mengambil ponselnya yang ada di meja. Setelah melihat pesan yang ternyata dikirim oleh Ibunya itu, Elang langsung menghela nafas panjang.

[Udah kamu tanya si Miya? Tanya yang jelas, jangan sampai kamu kecolongan. Bisa saja dia selama ini punya lelaki lain di luaran sana!]

*******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status