Istri hanya Status
Bab 2. Anggraini Memiliki Rahasia.
"Abian. Wanita ini telah gila. Aku saja tidak mengenalnya. Kenapa dia seperti punya dendam kesumat padaku? Jangan-jangan dia cemburu. Kasih pelajaran dia dong! Bisa jadi jus ini telah dikasih racun olehnya."
Aku tersenyum saat mendengar ocehan perempuan itu. Dia seolah-olah tidak mengenalku. Mau mencoba menghilangkan jejak rupanya. Eh, memang benar dia tidak mengenalku. Namun, aku sangat mengenalnya.
"Kurang ajar kamu, Silvia. Rasakan ini!" Mas Abian sudah siap melayangkan tangan.
Aku tak boleh takut. Selama aku tidak bersalah maka akan aku lawan.
"Silakan tampar pipiku sekarang. Agar aku tak ragu untuk menggugat cerai secepatnya. Biar saja ibumu tahu perlakuan anak semata wayangnya padaku."
Pria yang menyandang gelar suami itu segera menurunkan tangannya yang telah berada di udara.
"Sudahlah, Abian, lebih baik aku pulang saja daripada di sini merusak suasana hatiku. Gara-gara istrimu yang cemburu." A
nggraini merajuk. Dia pura-pura mengalah demi mendapatkan simpati mas Abian.
Aku tersenyum sinis ke arahnya.
Anggraini langsung menyambar tas tangannya. Dia berlalu meninggalkan rumah ini.
"Kamu tidak pantas cemburu pada Anggraini. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mencintaimu. Jangan mimpi aku akan memperlakukanmu seperti kekasihku. Sadar posisimu hanya istri di status saja. Paham! Kalau sampai ada apa-apa dengan pacarku maka kamu yang harus tanggung jawab!"
Mas Abian segera berlari menyusul kekasihnya yang telah ke luar duluan.
Sakit sekali rasanya hati ini mendengar ucapannya barusan. Akhirnya pertahananku kembali jebol. Tak apalah menangis selagi tak ada pria itu di hadapanku.
Aku tak menyangka akan bertemu manusia yang tak punya perasaan itu di sini.
~~~ POV Abian.
"Sayang, tunggu aku!"
Aku segera memeluk wanita yang berdiri di depan pintu. Pacarku melipatkan kedua tangannya.
Aku segera melepaskan pelukannya. Khawatir di lihat tetangga dan dilaporkan ke ibu. Bisa berabe urusannya.
"Ayo kita jalan-jalan, sekalian mencari sarapan. Aku belum makan."
"Kirain kamu sudah tidak peduli dengan aku dan memilih istrimu."
"Mana mungkin aku seperti itu, Sayang. Dia itu istri hanya di status. Cintaku padamu tidak akan pernah berkurang sedikit pun."
"Bener, ya. Awas kalau bohong! Kamu harus janji padaku. Jangan pernah tidur dengannya. Aku hanya ingin pusakamu itu untukku seorang."
Aku tergelak mendengar permintaannya.
"Siap, Sayang. Akan aku penuhi permintaan tuan putri. Sekarang jangan ngambek lagi, ya. Yuk, jalan!"
Aku menuntun Anggraini ke mobil. Membukakan pintu depan — samping sopir.
"Ini bekas duduk perempuan kampung itu, ya?"
"Bukan, Sayang. Tempat duduknya di belakang." Aku menunjuk kursi tengah.
"Bagus. Jangan sampai dia duduk di tempatku. Aku tidak pernah mau memakai bekasnya. Termasuk kamu!"
"Aku tidak akan pernah menjadi bekasnya, Sayang. Kan tidak akan pernah menyentuhnya. Sudahlah, kamu jangan merusak suasana hatiku karena terus membahas wanita udik itu. Sekarang kita mau makan di mana?"
"Terserah. Saat ini aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu."
"Baiklah, tuan putri." Aku membelah jalanan kota Metro. Menuju salah satu tempat makan yang hits di kota ini.
"Sayang. Kenapa mukamu sedih begitu?" tanyaku di sela acara makan kami.
"Aku sedih. Kemarin saat reunian dengan teman-teman sekolah ada yang menghinaku. Hiks hiks."
Anggraini mulai menangis. Dia terlihat sangat sedih. Aku paling tidak bisa menyaksikannya mengeluarkan air mata. Ini kelemahanku.
"Memangnya apa yang mereka katakan?"
"Aku kucel dan bajunya itu-itu saja. Tidak pernah ganti model baju, padahal pacarnya pengusaha. Aku sedih banget, Abian. Tadi ke rumahmu ingin menenangkan diri malah kembali direcokin gundikmu."
"Jangan sedih lagi ya, Sayang. Setiap mau ada acara sama teman kamu tinggal ngomong. Nanti aku transfer supaya bajumu selalu baru. Kalau perlu beli gelang, cincin, sama kalung sekalian."
Aku tidak tega mendengar dia dihina begitu. Memang sudah seharusnya aku memberikan modal pada Anggraini untuk mempercantik diri.
"Siang ini boleh nggak, aku minta dibelikan baju?"
"Boleh banget, Sayang. Nanti kita mampir ke Chandra. Beli apa saja yang kamu mau."
Aku harus bisa membahagiakan Anggraini. Kasihan, kekasihku sudah ditinggal nikah kini harus menghadapi cibiran temannya.
Selesai sarapan aku segera melajukan kuda besi ke arah Chandra. Salah satu supermarket di kota kami.
Butuh waktu satu jam untuk mencari barang kebutuhan Anggraini. Dia membeli baju sepuluh stel, belum lagi sandal dan sepatunya. Tak apalah aku habis uang banyak yang terpenting pacarku bahagia. Inilah caraku menebus kesalahan karena mengkhianatinya.
Kini tangan Anggraini penuh dengan tentengan belanjaan. Dia terlihat sangat senang. Senyumnya adalah bahagiaku.
"Abian, terima kasih, ya. Kamu masih peduli sama aku. Biasanya lelaki akan meninggalkan kekasihnya setelah memiliki yang baru. Aku sempat takut akan hal itu," ucapnya sebelum masuk ke dalam rumah.
"Kamu jangan khawatir, Sayang. Silvia istri yang hanya di status. Sedangkan kamu adalah kekasih di hatiku. Kamu adalah prioritasku, Sayang. Jangan risau, ya."
"Aku belum yakin seratus persen. Buat aku percaya dengan ucapanmu."
"Caranya?"
"Segera lamar aku."
Aku terperangah mendengar ucapan Kekasihku.
"Saat ini aku nggak bisa, Sayang. Nanti kalau sudah ada waktu yang tepat." Aku menolaknya secara halus.
"Kamu pasti ingin mempertahankan wanita itu, kan?"
"Aku harus memenangkan hati ibu dulu Sayang. Baru nanti melamar kamu, ya."
"Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Aku tahu resiko yang harus dijalani. Terima kasih banyak atas belanjanya," ujarnya sebelum kami berpisah.
~~~~~~~`
Jam lima sore aku baru sampai rumah.
Aku kaget saat masuk ke dalam rumah. Ada yang berbeda setelah aku menampung perempuan itu. Sekarang semuanya menjadi bersih. Mungkin seharian kerjaan Silvia bersih-bersih rumah.
~~~
Sinar matahari telah berganti dengan redumnya cahaya bulan. Terlihat jelas dari jendela kamarku yang belum di tutup.
"Mas, makan malam dulu. Sudah siap di meja makan," ucap Silvia dari balik pintu kamarku.
Aku segera membuka pintu. Ingin mencari jawaban atas pertanyaan yang ada di kepala.
"Sil, ada yang mau aku tanyakan padamu. Mengapa kamu kelihatan begitu benci dengan Anggraini?" tanyaku setelah berhasil membuka pintu.
"Bukankah sudah tertulis bahwa tidak boleh mencampuri urusan masing-masing? Ini urusanku sendiri dengan Anggraini."
"Jangan bilang karena aku suamimu sehingga kamu berhak cemburu padaku."
"Jangan kepedean, Mas! Aku sadar posisiku hanya seorang istri yang ada di status saja. Tidak mungkin aku cemburu pada wanita murahan macam Anggraini."
Kurang ajar! Beraninya bilang Kekasihku wanita murahan! Kepalanya saja ditutupi, giliran mulutnya sangat tajam.
"Apa kamu bilang? Wanita murahan? Sebutan itu pantasnya buat kamu. Bahkan kamu saja menjual diri seharga hutang m bapakmu. Masih berani bilang wanita murahan pada Anggraini? ngaca dong!" Aku menatapnya nyalang.
"Terserah, Mas mau bilang apa. Percuma juga aku jelaskan. Toh, tidak akan pernah didengarkan. Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai lama-lama akan tercium juga. Begitupun dengan kekasihmu itu. Cepat atau lambat pasti akan terbongkar topengnya. Tak perlu aku kasih tahu siapa dia."
"Awas saja kalau kamu berani mengusik kekasihku! Siap-siap kubuat menderita."
"Aku sudah terbiasa dengan penderitaan, Mas. Tidak perlu, Mas mengajari tentang hal itu."
Sial! Bukannya takut Silvia malah terus membantah.
Aku bisa stress bila berhadapan dengan wanita macam ini tiap hari. Mendingan aku keluar untuk mencari makan. Peduli amat sudah di masakan oleh Silvia. Siapa suruh dia masak.
"Mas Abian yang tadi pagi belanja istrinya bukan?" tanya tetangga saat aku sedang menunggu nasi goreng. Rumahnya hanya berselang dua rumah dari tempatku.
"Eh, iya, Bu." Istri hanya di status, asal ibu tahu!
"Alhamdulillah, dia memang tidak secantik pacar mas Abian. Tetapi insya Allah dia lebih baik dari pada cewek yang tadi pagi dibawa jalan itu."
Dasar tetangga suka kepo. Tunggu dulu, dari mana dia tahu kalau Silvia lebih baik dari Anggraini?
"Memangnya ibu mengenal istri saya?"
"Jelaslah. Dia kan teman sekolahnya Astari. Alumni MAN 1. Silvia selalu berprestasi di sekolahnya. Anakku suka menceritakan kebaikan istri Mas Abian."
Aku baru tahu tentang ini. "Terus ibu apa sudah mengenal pacar saya?"
"Saya memang tidak mengenalnya. Akan tetapi …."
Bu Harisa memutuskan ucapannya karena cucunya menangis dan
pesanannya telah selesai. Semakin membuatku penasaran. Mengapa semua orang menjelekan Anggraini?
Istri hanya StatusBab 3. Kembali Kehilangan.Dering ponselku mengusik gendang telinga. Siapa menelpon tengah malam begini. Aku lihat jam yang menempel cantik di atas tembok, telah menujukan pukul dua belas malam. Mas Andi– Kakak iparku. Ada apa? Ya Allah ini pasti permintaan mbak ku yang belum aku penuhi."Assalamualaikum, Mas.""Innalilahi wa innaillahi rojiun." Tangisku pecah seketika. Lututku langsung lemas, rasanya aku tidak sanggup menginjak bumi. Ya Allah mengapa Engkau kembali mengambil satu-satunya keluarga yang aku miliki? Padahal tadi siang masih berbalas pesan denganku. Saat kutanya kabar dia jawab baik-baik saja. Kini aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Mengapa Engkau menggariskan hidupku seperti ini ya Allah?"Iya, Mas. Malam ini aku akan segera ke sana. Assalamualaikum."Penyesalan selalu datang terlambat. Mengapa aku tidak segera memenuhi permintaan mbak Ana? Dan itu penyesalan terbesarku. Mbak ku meningal dalam keadaan punya keinginan yang belum tersampaik
Istri hanya StatusBab 4. Bulan Madu. Kapan ibu datang? Apa yang harus aku lakukan agar beliau tidak mengetahui kalau kami pisah kamar. Ah, entahlah. Saat ini aku harus menemui ibu dulu. Selama ini ibu tinggal di Lampung Barat. Beliau sendiri yang mengelola rumah makan miliknya di sana. Ting!Tanda ada pesan masuk. [Kamu jadi pulang hari ini kan? Barang-barangmu sudah aku pindahkan ke kamarku. Jangan geer! Ini karena ada ibu di rumah. Aku tidak mau beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingat! Kamu harus bisa menjaga nama baikku di depan beliau. Jangan pernah menceritakan apa pun tentang kita!]Segitu bodohnya kah aku di matanya? Sehingga perkara seperti ini pun harus diajarin? Aku tahu bagaimana cara menyelamatkan muka suamiku. Minta nama baiknya dijaga? Sedangkan dia suka bertindak semaunya sendiri! Manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri! Aku menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Aku harus terlihat bahagia pulang ke rumah suami."Assalamualaikum, Ibu. Kapan
"Ibu." Aku mendekati dan mencium punggung tangannya.Beliau menatapku penuh selidik. Rasa gugup menyelimuti perasaan. "Nanti jelaskan pada ibu!" bisiknya di telingaku. Suaranya penuh penekanan. Aku hanya bisa mengangguk. Selama kajian berlangsung, kami tidak saling berbicara satu sama lain. Orang lain mungkin khusyuk mendengarkan ceramah. Aku? Jangan tanyakan, karena otakku tak mampu menyerap materi kajian. Sibuk menyusun kalimat apa yang tepat untuk menjelaskan semua ini pada ibu. Masalah ini begitu rumit untukku.Tanpa terasa telah berada di ujung acara. Kajian sudah ditutup dengan doa kafaratul majlis. Ibu menarikku ke mobilnya. Kami berbicara di dalam kendaraan roda empat ini. Sopirnya entah ke mana. Mungkin sedang cari makan. Sehingga kami leluasa berbicara.Degup jantungku tak berirama. Rasa takut dan bingung melebur menjadi satu. "Kenapa kamu ada di sini, Silvia? Di mana suamimu?" Suaranya meninggi, sorot Matanya menyimpan amarah. Mungkin dikiranya aku yang membangkang d
"Ibu benar-benar kecewa dengan Abian. Ibu … hiks hiks hiks." Tangis ibu pecah. Sangat terluka.Aku pun ikut menangis melihat ibu begitu tersayat. Aku mengusap air mata yang menetes di pipi mertua. Beliau tidak hanya mertua tapi juga ibu keduaku. Deritanya adalah lukaku. Kami menangis bersama hingga sopir ibu terlihat panik saat mendekati mobil. Dikiranya kami kenapa-kenapa.Ibu pun mengangkat tangannya sebagai isyarat. Sepertinya Pak Paimo paham, sehinga sopir itu pun kembali menjauh dari kami."Sejak kapan kamu mengetahui pernikahan mereka? Kenapa kamu menutup semua ini dari ibu?" tanya ibu setelah berhenti menangis. "Silvia baru tahu pernikahan mereka, ketika dalam perjalanan menuju rumah Anggriani, Bu. Silvia sengaja tidak mau memberitahu, karena takut membuat ibu bersedih seperti ini. Maafkan Silvia, Bu." Cukup lama aku dan ibu terdiam. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Ibu berulang kali mengurut dadanya seraya beristighfar. Mungkin untuk meredakan emosinya. "Selama i
"Ngapain kalian ke sini?" tanya ibu. Sepasang mata paruh baya itu menatap ke arah anaknya. Sorotnya melukiskan kesedihan, kekecewaan, amarah yang melebur menjadi satu.Mas Abian seolah membaca sorot mata itu. lekas, anak tunggal itu mendekat dan berlutut di hadapan ibu. Ibu bergeming bahkan membuang muka. "Bu. Maafkan Abian." Pria itu mengambil tangan ibu. "Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Bukankah aku ini bukan siapa-siapa kamu?" tanya ibu, pelan tapi cukup menikam bagiku. "Kok, Ibu ngomong seperti itu? Sampai kapan pun Abian adalah anak, Ibu.""Ibu yang tidak dihargai! Ibu yang telah melahirkan anak tak tahu diri seperti kamu! Ibu yang tak dianggap! Sehingga tak perlu berpamitan padaku ketika menikahi perempuan itu!" Ibu meninggikan suaranya beberapa oktaf. Wanita peruh baya yang terlihat masih cantik itu benar-benar meluapkan emosinya. Suaranya bergetar hebat. Napas ibu terlihat memburu. Saat ini kedua mata indah itu mulai berkaca-kaca. Ibu terlihat sangat terluka. Merasa
Istri hanya Status Bab 8Silvia Ternodai? Apa tujuan dia ke sini?Dia maju ke arahku. Aku sangat takut. Dari gesturnya dia sedang marah. Aku mencoba menghindari, tapi sudah terlambat. Parahnya lagi pintu kamar ini dikunci. Anak kuncinya tidak menggantung. Artinya Mas Abian telah mengambilnya.Aku tidak bisa maju. Dia berusaha keras menghadangku. Aku ke kiri dia pun mengikuti. Sengaja. Aku semakin ketakutan. Mau apa dia?Mas Abian berhasil membuat aku terdiam di pojokan kamar. Pria itu tersenyum menyeringai.Jarak kami hanya sejengkal. Tangannya menempel pada tembok. Tubuhnya mengunci aku agar tak pergi. "Tolong bujuk ibu untuk memaafkan aku dan menerima Anggraini sebagai menantunya. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan menyentuhmu sekarang juga. Asal lakukan apa yang aku mau. Jangan ragu aku akan memberikan imbalan yang selama ini kamu inginkan." Dia tersenyum sinis. Tangannya mulai kurang ajar. Mengelus pipiku, segera aku tangkis. Namun, tak menghentikan ulahnya. "Jang
Plak! Kini tangan ibu menampar pipi Abian yang sebelah lagi. Setelah satunya aku tampar. "Kamu apakan Silvia, Abian? Aku tidak pernah mendidikmu untuk kasar dengan perempuan. Terlebih ia istrimu. Bapakmu pasti akan merasa sedih kalau melihat anak kebanggaannya tidak bisa menghargai wanita." Abian tertunduk sambil memegangi pipinya yang kenapa tampar ibu. Pasti sangat panas dan sakit. Belum lagi rasa malu karena ibu melakukannya di depanku. Ingin rasanya aku tertawa di atas deritanya. Ibu mendaratkan tangan ke pipi Abian dengan sekuat tenaga. Suaranya terdengar nyaring."Mas, kamu ngga papa?" Tiba-tiba Anggraini sudah muncul di depan kamar. Tangannya mengelus pipi suami sirinya."Ibu kenapa tega menampar anaknya sendiri, demi menantu kampungan seperti dia?" Kini Anggraini menatap ibu dengan nyalang. Dia seberani itu pada mertuanya? Apa dia lupa siapa lawannya? Dasar manusia tak punya akhlak!"Aku tidak akan pernah menyesali perbuatanku karena telah menampar anak yang tidak tahu di
Mungkinkah dia dokter keluarga ibu? Apa aku tidak salah lihat? Ah, benar dia orang yang selama ini aku coba lupakan. Ternyata dunia sesempit ini. Kami dipertemukan lagi dengan kondisi seperti ini. "Assalamualaikum, Silvia." Suaranya memutuskan lamunanku.Astaghfirullah. Mengapa aku tak berkedip saat menatap manusia di depanku."Waalaikummussallam," jawabku gugup. "Kamu benar-benar Silvia, kan?" Pria berseragam putih itu ragu. Aku hanya mengangguk, pelan."Mari, sudah ditunggu ibu di dalam kamarnya," ucapku santun. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Tanpa banyak bicara, orang itu berjalan di depanku. Ini salah satu kebiasaannya sedari dulu. Tidak mau berjalan di belakang perempuan. Salah satu adab di dalam Islam. Sebab, saat laki-laki berjalan dibelakang wanita, maka tidak bisa dipungkiri, ia akan melihat lekuk tubuh wanita, dan akan memperhatikan bagaimana cara jalannya. Jika sudah seperti itu, maka kemungkinan untuk terjadi kemaksiatan selanjutnya. "Bu Anis, Abian ke mana?